Sindikalisme: Ancaman Modern bagi Kapitalisme

Fitur yang membedakan Sindikalisme dari mayoritas filsafat adalah bahwa ia mewakili filsafat revolusioner kaum pekerja yang dikandung dan lahir dalam perjuangan yang sebenarnya dan dialami oleh kaum pekerja sendiri — bukan dalam universitas, kampus, perpustakaan, atau dalam otak beberapa ilmuwan. Filsafat revolusioner kaum pekerja, itulah makna vital dan sebenarnya dari Sindikalisme.

 
Dengan fakta bahwa gagasan-gagasan dalam Sindikalisme telah dipraktikkan oleh para pekerja selama setengah abad terakhir, bahkan tanpa latar belakang kesadaran sosial; fakta bahwa di negara ini, lima orang yang mendukung Sindikalisme sebagai metode terefektif perlawanan kaum pekerja terhadap kapital harus membayar keyakinannya dengan nyawa; dan bahwa Sindikalisme telah dipraktikkan secara sadar oleh para pekerja di Perancis, Italia dan Spanyol sejak 1985, maka saya agak terhibur menyaksikan bagaimana orang-orang di Amerika dan Inggris sekarang memperlakukan Sindikalisme seolah-olah ia adalah tawaran yang baru dan belum pernah didengar sebelumnya.
Sungguh mengherankan betapa naifnya orang-orang Amerika, betapa tidak matang dan tidak dewasanya mereka dalam kepentingan internasional. Saat mereka menyombongkan hal-hal praktiknya, penduduk Amerika umumnya paling terlambat dalam mempelajari makna dan taktik-taktik modern dalam perjuangan besar di masanya. Mereka selalu tertinggal dalam gagasan-gagasan dan metode-metode yang berhasil dipraktikkan oleh para pekerja di Eropa.
Tentu saja ini masih bisa disanggah dengan alasan bahwa perjuangan bangsa Amerika masih belia. Memang indah memiliki pemikiran yang belia, masih segar untuk menerima dan memahami sesuatu. Sayangnya, pemikiran Amerika tersebut nampaknya tak pernah tumbuh dewasa dan mengkristal.
Mungkin itu juga sebab seorang revolusionis Amerika dapat menjadi politisi pada saat bersamaan. Itu jugalah alasan para pemimpin Pekerja Industrial Dunia (Industrial Workers of the World/I.W.W) dapat tetap bekerja di Partai Sosialis, yang tentu bertentangan dengan segala prinsip dan aktivitas I.W.W sendiri. Itu jugalah mengapa seorang Marxis yang kaku dapat menganjurkan para Anarkis untuk bekerja sama dengan faksi yang dulu memulai kariernya dengan menganiaya salah seorang perintis Anarkisme, Mikhail Bakunin, secara keji dan jahat. Singkatnya, dalam pikiran kaum radikal Amerika yang tanpa sikap dan tak pasti, penggabungan gagasan-gagasan serta metode-metode yang paling kontradiktif adalah hal yang bisa dilakukan. Hasilnya adalah kekacauan yang menyedihkan dalam gerakan radikal, semacam kemabukan intelektual yang tak pernah memiliki cita rasa maupun kepribadian.
Hanya pada saat inilah Sindikalisme dianggap sebagai masa lalu dari banyak orang-orang Amerika yang hebat, yang disebut-sebut sebagai kaum intelektual itu. Ini bukan berarti mereka tahu apa pun tentang Sindikalisme selain beberapa otoritas besar seperti Sorel, Lagardelle, Berth dan yang lainnya, tetapi, percayalah, karena orang Amerika membutuhkan segel otoritas tersebut. Jika tak ada otoritas macam itu, mereka tak akan menerima sebuah gagasan betapa pun benar dan berharganya gagasan tersebut.
Majalah-majalah borjuis kita dipenuhi dengan disertasi tentang Sindikalisme. Salah satu dari kolega kita yang konservatif bahkan melanjutkannya hingga mempublikasikan karya salah satu muridnya tentang subjek ini, yang telah disetujui juga oleh seorang profesor. Semua ini bukanlah karena Sindikalisme merupakan sebuah kekuatan dan berhasil dipraktikkan oleh para pekerja Eropa, namun – seperti yang saya katakan sebelumnya – karena karya itu punya persetujuan otoritatif yang resmi.
Seolah-olah Sindikalisme ditemukan oleh filsuf Bergson atau wacana-wacana teoritis dari Sorel dan Berth, dan belum pernah ada serta dihidupi oleh para pekerja jauh sebelum orang-orang ini menulis tentang gagasan tersebut. Fitur yang membedakan Sindikalisme dari mayoritas filsafat adalah bahwa ia mewakili filsafat revolusioner kaum pekerja yang dikandung dan lahir dalam perjuangan yang sebenarnya dan dialami oleh kaum pekerja sendiri — bukan dalam universitas, kampus, perpustakaan, atau dalam otak beberapa ilmuwan. Filsafat revolusioner kaum pekerja, itulah makna vital dan sebenarnya dari Sindikalisme.
Sudah semenjak tahun 1848, sebagian besar para pekerja menyadari kesia-siaan aktivitas politik sebagai cara untuk membantu mereka dalam perjuangan ekonomi. Pada saat itu, tuntutan mereka telah maju ke arah tindakan ekonomi yang lebih langsung, cara yang berseberangan dengan pemborosan energi dalam jalur-jalur politik. Ini bukan hanya terjadi di Perancis, bahkan lebih dulu daripada yang terjadi di Inggris tempat Robert Owen sang Sosialis revolusioner sesungguhnya tengah mempropagandakan gagasan-gagasan serupa.
Setelah bertahun-tahun agitasi dan eksperimen, gagasan tersebut dimasukkan ke dalam konvensi internationale yang pertama di tahun 1867. Dalam resolusi itu disebutkan bahwa emansipasi ekonomi harus menjadi tujuan utama semua revolusi, sementara semua tujuan lain diprioritaskan setelahnya.
Faktanya, posisi radikal inilah yang akhirnya memecah gerakan revolusioner saat itu lalu membaginya menjadi dua faksi: yang pertama, bersama Marx dan Engels, yang menyasar penaklukkan secara politik; yang lainnya bersama Bakunin dan para pekerja Latin, yang terus membangun jalur-jalur Sindikalis dan industrial. Perkembangan lanjut dua sayap ini tak asing bagi semua orang yang bisa memprediksinya: yang pertama berangsur-angsur tersentralkan menjadi sebuah mesin yang besar, dengan tujuan tunggal untuk menaklukkan kekuasaan politik di Negara Kapitalis yang ada; sementara yang satu lagi menjadi faktor revolusioner yang bahkan lebih vital, ditakuti oleh musuh dan dianggap sebagai ancaman terbesar bagi kekuasaannya.
Pada tahun 1900, selagi menjadi perwakilan dalam Kongres Anarkis di Paris, saya pertama kali menjumpai Sindikalisme yang tengah bergolak. Pers Anarkis telah membahas subjek ini selama bertahun-tahun sebelumnya sehingga kami, para Anarkis, tahu beberapa hal mengenai Sindikalisme. Namun, mau tidak mau, kami yang hidup di Amerika harus puas dengan bagian teoritisnya saja.
Namun, pada tahun 1900, saya melihat dampaknya terhadap pekerja di Perancis: kekuatan, antusiasme, dan harapan yang Sindikalisme inspirasikan pada para pekerja. Saya juga beruntung dapat belajar tentang seseorang yang paling banyak bekerja mengarahkan Sindikalisme ke kanal-kanal yang berfungsi: Fernand Pelloutier. Namun, sayang sekali, saya tidak dapat menjumpai pemuda luar biasa ini karena saat itu dia sakit kanker. Namun, ke mana pun saya pergi, dengan siapa pun saya berbicara, pengabdian dan cinta pada Pelloutier sangat besar. Semua orang setuju, dialah yang mengumpulkan kekuatan-kekuatan yang resah di gerakan pekerja Perancis dan memberikan mereka kehidupan dan tujuan yang baru, yaitu tujuan dan hidup dari Sindikalisme.
Setelah kembali ke Amerika, saya segera mulai menyebarkan gagasan-gagasan Sindikalis, terutama Aksi Langsung dan Pemogokan Umum. Namun, melakukan hal ini terasa seperti berbicara pada gunung berbatu — tak ada pemahaman, bahkan di antara elemen-elemen yang lebih radikal, dan di antara pekerja yang tingkat kerjanya serupa.
Pada tahun 1907, saya berpartisipasi sebagai perwakilan di Kongres Anarkis di Amsterdam, dan selagi di Paris, bertemu dengan Sindikalis yang paling aktif dalam organisasi Confédération Générale an Travail: Pouget, Delesalle, Monatte, dan banyak lagi. Lebih dari itu, saya berkesempatan melihat bagaimana Sindikalisme berjalan sehari-hari, dalam bentuk-bentuknya yang paling konstruktif dan inspiratif.
Saya menceritakan hal ini untuk menandakan bahwa pengetahuan saya mengenai Sindikalisme tak berasal dari Sorel, Lagardelle, atau Berth, namun dari interaksi sesungguhnya dengan para pekerja dan dari pengamatan akan kerja luar biasa yang dilakukan oleh para pekerja di Paris di berbagai tingkatan Konfederasi tersebut. Perlu satu volume buku sendiri untuk menjelaskan Sindikalisme yang dilakukan mereka secara mendetail. Di pers-pers Amerika, hanya ada bahasan soal metode perlawanan mereka, mogok kerja dan sabotase dalam konflik pekerja melawan kapital. Hal-hal ini tentu sangat penting. Namun, nilai-nilai utama dari Sindikalisme jauh lebih dalam lagi. Nilai-nilai tersebut ada dalam efek konstruktif dan mendidik dalam kehidupan serta pemikiran massa.
Perbedaan fundamental antara Sindikalisme dan metode serikat buruh yang lama adalah: saat serikat-serikat pekerja lama, tanpa pengecualian, bergerak dalam sistem upah dan kapitalisme, dan menganggap kapitalisme sebagai sesuatu yang tak terhindarkan, Sindikalisme menolak dan bahkan mengutuk tata industrial saat ini sebagai sesuatu yang tidak adil dan bersifat kriminal, dan tak mengharap sistem ini memberikan hasil yang menjanjikan untuk jangka panjang bagi para pekerja.
Tentu saja Sindikalisme, seperti halnya serikat buruh yang lama, berjuang untuk meraih target-target jangka pendek, namun ia tak cukup bodoh untuk berpura-pura bahwa pekerja bisa mengharapkan kondisi yang manusiawi dari pengaturan ekonomi yang tidak manusiawi di masyarakat. Karena itu, ia bergulat dengan musuh hanya untuk mendapatkan semua yang bisa diambil darinya. Namun, secara keseluruhan, tujuan Sindikalisme serta tempat konsentrasi energinya adalah sepenuhnya meruntuhkan sistem upah. Sindikalisme berlanjut lebih jauh: ia bertujuan untuk membebaskan para pekerja dari setiap institusi yang tidak menginginkan pembangunan produksi yang bebas demi kebaikan seluruh umat manusia. Singkatnya, tujuan utama dari Sindikalisme adalah untuk membangun kembali masyarakat dari keadaannya kini yang tersentralisir, otoritatif dan brutal menjadi sistem yang berlandaskan kelompok-kelompok pekerja yang berfederasi dan bebas dengan kebebasan sosial dan ekonomi.
Maka dari itu, Sindikalisme bekerja dalam dua arah: pertama, dengan merongrong institusi-institusi yang ada. Kedua, dengan mengembangkan dan mendidik para pekerja serta menumbuhkan semangat solidaritasnya untuk mempersiapkan mereka untuk kehidupan yang utuh dan bebas, ketika pada akhirnya kapitalisme telah dihapuskan.
Sindikalisme adalah, pada intinya, ekspresi ekonomi dari Anarkisme. Keadaan itulah yang menyebabkan begitu banyak Anarkis hadir di dalam gerakan Sindikalis. Seperti halnya Anarkisme, Sindikalisme mempersiapkan para pekerja dalam jalur ekonomi langsung, sebagai faktor yang disadari di dalam perjuangan besar hari ini, sebagaimana juga ia merupakan faktor yang disadari di dalam tugas untuk membangun kembali masyarakat sepanjang jalur industri yang otonom, sebagai perlawanan terhadap ruh sentralisasi yang melumpuhkan dan yang memiliki mesin birokrasi yang penuh dengan korupsi, dan selalu akan terjadi di dalam partai-partai politik.
Dengan menyadari bahwa kepentingan kapital dan pekerja yang secara diametrikal bertentangan tak akan pernah bisa didamaikan, Sindikalisme menolak metode serikat buruh yang begitu tua dan berkarat, lalu mendeklarasikan perang terbuka terhadap rezim kapitalis, sebagaimana juga terhadap setiap institusi yang saat ini mendukung serta melindungi kapitalisme.
Sebagai konsekuensi logisnya, Sindikalisme, dalam perang hariannya terhadap kapitalisme, menolak sistem kontrak, karena sistem tersebut tidak menganggap pekerja dan kapital sebagai hal yang setara, dan karena itu tak akan sepakat jika kapital punya kuasa untuk menentukan, sementara pekerja harus mematuhinya.
Untuk alasan-alasan yang serupa, Sindikalisme menolak negosiasi di dalam perseteruan kerja, karena prosedur seperti itu hanya memberikan waktu bagi musuh untuk merancang hasil akhir yang ia inginkan. Dan karena itu, negosiasi membuat para pekerja gagal meraih objek yang ingin dicapainya. Selain itu, Sindikalisme juga setuju dengan spontanitas sebagai penjaga kekuatan tarung para pekerja dan karena spontanitas membuat para musuh lebih tidak siap, dan karenanya mendorong mereka untuk menuruti kesepakatan-kesepakatan yang cepat atau yang membuatnya rugi besar.
Sindikalisme menentang kas serikat buruh yang besar karena uang adalah elemen korupsi dalam tingkatan pekerja, sebagaimana dalam kapitalisme. Kami, di Amerika, tahu hal ini sangatlah benar. Apabila gerakan pekerja di negara ini tidak didukung oleh pendanaan yang sangat besar, mungkin ia tidak akan sekonservatif sekarang, juga para pemimpinnya mungkin tak akan begitu korup. Namun alasan utama penolakan Sindikalisme terhadap kas berjumlah besar adalah fakta bahwa ia menciptakan jarak kelas dan kecemburuan di dalam tingkatan-tingkatan pekerja. Ini sangat merugikan bagi semangat solidaritas. Pekerja yang organisasinya memiliki simpanan dana yang lebih besar menganggap dirinya lebih superior dibandingkan saudaranya yang lebih miskin, sama seperti ia menganggap dirinya lebih baik dibandingkan seseorang yang hanya dapat menghasilkan lima puluh sen lebih sedikit darinya.
Nilai etis utama Sindikalisme menekankan pentingnya para pekerja untuk menyingkirkan elemen pertikaian, parasitisme dan korupsi di dalam tingkatannya. Ia bertujuan untuk menumbuhkan pengabdian, solidaritas dan antusiasme, yang jauh lebih penting dan vital dalam perjuangan ekonomi dibandingkan dengan uang.
Seperti yang telah saya nyatakan, Sindikalisme tumbuh dari kekecewaan para pekerja terhadap metode politik dan parlementer. Dalam proses perkembangannya, Sindikalisme belajar mengetahui di dalam Negara —  dengan corongnya, yaitu sistem representatif —  salah satu dukungan terkuat bagi kapitalisme; seperti halnya Sindikalisme telah mempelajari bagaimana tentara dan gereja menjadi pilar utama Negara. Karena itulah Sindikalisme meninggalkan mesin politik dan parlementariatisme, dan menuju arena ekonomi tempat sang Pekerja, sang gladiator sendiri, dapat mengalahkan musuhnya.
Pengalaman historis membuat para Sindikalis bertahan dalam oposisi tanpa kompromi terhadap parlementariatisme. Banyak yang pernah masuk ke dalam kehidupan politik, dan karena tak ingin tergerogoti oleh atmosfir tersebut, memilih untuk keluar dari jabatannya lalu mengabdikan diri mereka pada perjuangan ekonomi —  Proudhon, revolusioner Belanda Nieuwenhuis, Jogn Most dan banyak lagi. Sementara itu, orang lain yang memilih tetap berada di parlemen akhirnya mengkhianati kepercayaan yang diberikan pada mereka, tanpa menghasilkan apa pun yang menguntungkan para pekerja. Tidak berlebihan jika mengatakan bahwa para Sindikalis menjadi anti-parlementariat karena pengalaman pahit mereka.
Dengan cara serupa, pengalaman mereka telah menghasilkan sikap anti-militer. Dari waktu ke waktu, tentara telah digunakan untuk menembaki mereka yang melakukan mogok kerja dan untuk menanamkan gagasan patriotisme yang menjijikkan, dengan tujuan memecah-belah para pekerja, dan memudahkan sang majikan untuk tetap menikmati hasil rampasannya. Serangan-serangan yang dilakukan agitasi Sindikalis terhadap takhayul patriotisme terbuktikan dari kelas penguasa yang takut kalau-kalau loyalitas tentara goyah, dan penerapan hukuman keras terhadap mereka yang anti-militer. Tentu saja – karena kelas penguasa jauh lebih menyadari ketimbang para pekerja bahwa, ketika tentara menolak mematuhi atasan mereka, seluruh sistem kapitalisme akan celaka.
Lagipula, mengapa para pekerja harus mengorbankan anak-anak mereka hanya untuk digunakan untuk menembaki orang tuanya sendiri kelak? Karena itu, Sindikalisme tidak hanya logis dalam agitasinya yang anti-militer, tetapi juga paling praktis dan menjangkau lebih jauh karena ia merampas senjata terkuat para musuh yang sering digunakan untuk melawan para pekerja.
Metode-metode yang digunakan oleh Sindikalisme – Aksi Langsung, Sabotase, dan Mogok Umum.
AKSI LANGSUNG.—Usaha individu atau kolektif yang secara sadar dilakukan untuk memprotes, atau memperbaiki kondisi sosial melalui pernyataan sistematis yang tegas dari kekuatan ekonomi para pekerja.
Sabotase dianggap kriminalitas, bahkan oleh mereka yang disebut-sebut sebagai Sosialis revolusioner. Tentu saja, bila Anda setuju bahwa properti – yang menyingkirkan produsennya sendiri dari penggunaannya – adalah hal yang dapat dibenarkan, maka sabotase adalah kriminalitas. Namun, kecuali kaum Sosialis berhenti percaya pada moralitas borjuis –moralitas yang membuat segelintir orang memonopoli seluruh bumi dengan mengorbankan begitu banyak orang – maka mereka tak dapat terus beranggapan bahwa properti kapitalis adalah sesuatu yang tidak dapat diganggu-gugat. Sabotase merongrong bentuk kepemilikan pribadi ini. Karena itu, bisakah ia dianggap sebagai tindakan kriminal? Justru sebaliknya, ia sangatlah etis karena ia membantu masyarakat untuk menyingkirkan musuh terjahatnya, yaitu faktor yang paling merusak dari kehidupan sosial.
Sabotase pada intinya berpegang pada aksi penghambatan, dengan metode apapun yang memungkinkan, proses produksi yang teratur, dan juga menunjukkan sikap yakin para pekerja untuk memberikan sesuai dengan yang mereka terima, dan tidak lebih. Misalnya, pada saat pemogokan jalur rel kereta api di Perancis pada tahun 1910, barang-barang yang cepat busuk dikirimkan dalam kereta yang lambat, atau kereta yang menuju arah yang berlawanan. Siapa yang dapat menganggapnya kriminalitas selain kaum filistin yang paling awam? Apabila pekerja rel sendiri kelaparan, dan publik yang “tak bersalah” tak memiliki cukup perasaan solidaritas untuk turut mendesak bahwa para pekerja tersebut harus mendapatkan haknya supaya dapat terus hidup, maka publik sendiri telah kehilangan simpati dari para pemogok dan pasti menerima konsekuensinya.
Selama mogok ini, bentuk sabotase lain juga dilakukan dengan menempatkan kotak-kotak berat di atas barang-barang yang ditandai “Perlakukan dengan hati-hati”, pecah belah dan keramik Cina dan anggur-anggur yang mahal. Dari sudut pandang hukum, hal ini mungkin merupakan tindakan kriminal. Namun, dari sudut pandang kemanusiaan yang sewajarnya, ini adalah hal yang masuk akal. Hal yang sama berlaku saat pekerja mengacaukan kerja mesin tenun, atau bekerja sesuai dengan kalimat-kalimat hukum yang prosedur birokratisnya kaku, seperti yang dilakukan oleh para pekerja rel Italia, yang karenanya mengakibatkan kebingungan dalam pelayanan rel kereta api. Dengan kata lain, sabotase hanyalah sebuah senjata pertahanan dalam perang industrial, yang lebih efektif karena ia menyentuh kapitalisme pada titiknya yang paling vital, yaitu kantong uangnya.
Dengan Pemogokan Umum, Sindikalisme bermaksud untuk melakukan penghentian kerja, gencatan kerja. Pemogokan seperti ini tidak harus menunggu hingga semua pekerja di tempat atau negara tertentu siap melakukannya. Seperti yang telah ditunjukkan oleh Pelloutier, Pouget, orang-orang lainnya, dan terutama oleh kejadian-kejadian baru-baru ini di Inggris, Pemogokan Umum dapat dimulai oleh satu industri dengan mengerahkan kekuatan besar. Ini ibarat seseorang mendadak berteriak “Hentikan si pencuri!” Dengan segera, yang lainnya akan ikut berteriak hingga udara dipenuhi oleh suara mereka. Pemogokan Umum, yang dimulai oleh sebuah organisasi yang telah ditentukan, oleh satu industri atau oleh sebuah minoritas kecil yang memiliki kesadaran di antara para pekerja, adalah teriakan industrial “Hentikan si pencuri!” yang akan segera disambut oleh banyak industri lain, menyebar seperti kebakaran dalam waktu yang sangat singkat.
Penolakan politisi pada Pemogokan Umum didasari dengan salah satu alasan bahwa para pekerja juga akan rugi karena kebutuhan hidupnya terganggu. Pertama-tama, para pekerja lebih tahu rasanya kelaparan. Kedua, jelas Pemogokan Umum memicu kesepakatan yang lebih pasti ketimbang pemogokan biasa. Tengoklah pemogokan transportasi dan penambang di Inggris: betapa cepatnya tuan-tuan Negara dan kapital dipaksa berdamai! Lagipula, Sindikalisme menyadari hak para produsen atas barang yang mereka buat; misalnya, para pekerja berhak mengambil barang-barang hasil produksi mereka sendiri untuk mencukupi kebutuhannya apabila pemogokan tidak segera mencapai kesepakatan yang diinginkan.
Ketika Sorel menekankan bahwa Pemogokan Umum merupakan inspirasi penting bagi masyarakat untuk memberikan arti pada hidup mereka, ia tengah mengekspresikan sebuah pemikiran yang tak pernah lelah ditekankan oleh para Anarkis. Meskipun begitu, saya tidak sepakat dengan Sorel bahwa Pemogokan Umum merupakan “mitos sosial” yang mungkin tak akan pernah terwujud. Saya pikir, Pemogokan Umum akan terwujud ketika para pekerja memahami nilainya sepenuhnya — nilainya yang destruktif sekaligus konstruktif, sebagaimana yang mulai disadari oleh para pekerja di seluruh dunia.
Beberapa pihak mungkin menganggap berbagai gagasan dan metode Sindikalisme ini sepenuhnya negatif meskipun efeknya pada masyarakat hari ini jauh dari negatif. Namun, Sindikalisme memiliki aspek positif secara langsung. Pada kenyataannya, lebih banyak upaya dan waktu dicurahkan untuk fase ini dibandingkan fase yang lain. Berbagai bentuk aktivitas Sindikalis dirancang untuk mempersiapkan para pekerja, meski dari dalam kondisi sosial dan industrial saat ini, untuk menyambut kehidupan masyarakat yang baru dan lebih baik. Ke arah tujuan itulah massa dilatih dalam semangat saling bantu dan persaudaraan, membangun inisiatif dan kemandiriannya, serta mempertahankan semangat kelompok (esprit de corps) yang rohnya adalah solidaritas tujuan dan komunitas yang terbangun dari kepentingan kaum proletariat internasional.
Hal yang utama dari aktivitas-aktivitas ini adalah mutualitées, atau masyarakat yang saling membantu (mutual aid), yang didirikan oleh para Sindikalis Perancis. Tujuan yang mereka dahulukan adalah mengamankan pekerjaan bagi anggota-anggota yang menganggur, dan  terus mendorong semangat saling bantu yang bersandar pada kesadaran identitas kepentingan para pekerja di seluruh dunia.
Dalam tulisannya “Gerakan Pekerja di Perancis,” L. Levine menyatakan bahwa sepanjang tahun 1902, lebih dari 74.000 pekerja dipilih dari 99.000 pelamar dan disediakan pekerjaan oleh kelompok-kelompok masyarakat ini tanpa dipaksa tunduk pada pemerasan seperti yang dilakukan oleh para predator biro pekerjaan.
Tindakan para predator biro pekerjaan ini merupakan sumber dari kemunduran terparah, selain merupakan eksploitasi yang tidak tahu malu terhadap para pekerja. Terutama di Amerika, tempat para biro pekerjaan seringkali juga merupakan biro detektif yang menyamar, mereka menyuplai para pekerja yang sedang membutuhkan pekerjaan untuk menyerang daerah-daerah, berbekal janji palsu akan pekerjaan tetap yang menguntungkan.
Konfederasi Perancis telah lama menyadari peran picik dari para biro pekerjaan sebagai lintah-lintah yang hidup dari para pekerja yang menganggur dan dari memelihara borok. Dengan ancaman Pemogokan Umum, para Sindikalis Perancis telah memaksa pemerintah untuk melarang keberadaan para predator biro pekerjaan ini, dan kelompok mutualitées yang dimiliki oleh para pekerja telah hampir sepenuhnya menggantikan posisi mereka demi keuntungan moral dan ekonomi yang sangat besar bagi para pekerja.
Di samping kelompok mutualitées, para Sindikalis Perancis membuat aktivitas lain yang bertujuan untuk menguatkan ikatan solidaritas dan saling bantu di antara para pekerja. Di antaranya adalah berbagai upaya untuk membantu para pekerja melakukan perjalanan dari tempat satu ke yang lainnya. Nilai praktis maupun etis bantuan seperti ini sungguh tak terhingga. Ia membantu mempertahankan jiwa persahabatan dan memberikan rasa aman di dalam kesatuan keluarga pekerja yang besar. Hal ini adalah salah satu efek vital dari semangat Sindikalis di Perancis dan di berbagai negara Latin. Betapa upaya seperti itu sangatlah dibutuhkan di negara ini! Apakah ada yang bisa meragukan pentingnya momen saat para pekerja yang datang dari Chicago, misalnya, ke New York, yakin mereka akan disambut para kameradnya dengan tempat tinggal dan makanan untuk sementara waktu sampai mereka mendapatkan pekerjaan? Bentuk aktivitas semacam ini sepenuhnya asing bagi badan-badan pekerja negara ini, dan akibatnya seorang pekerja yang tengah melakukan perjalanan untuk mencari pekerjaan — “buruh-buruh yang menggelandang” — terus berada di bawah belas kasihan para polisi dan aparat, menjadi korban hukum-hukum yang mengatur gelandangan, dan menjadi makhluk malang, yang ketika akhirnya mereka direkrut, karena berbagai tekanan akan kebutuhan, menjadi kelompok buruh yang menolak ikut mogok dan malah menggantikan kerja para buruh yang tengah mogok.
Saat berada di markas Confédération, saya berulang kali menyaksikan beberapa contoh aktivitas ini. Ketika pekerja dari berbagai daerah di Perancis, dan bahkan dari beberapa negara lain di Eropa, datang membawa kartu serikatnya, mereka disuplai dengan makanan dan tempat tinggal, didukung dengan semangat persaudaraan, dan dibuat kerasan oleh para pekerja lainnya di Confédération. Akhirnya, akibat dampak dari aktivitas-aktivitas ini, pemerintah Perancis terpaksa membayar tentara untuk menghentikan pemogokan karena hanya sedikit sekali pekerja yang mau sukarela melakukan hal tersebut berkat upaya dan taktik Sindikalisme seperti ini.
Hal yang tak kalah penting dengan aktivitas bantuan mutual dari para Sindikalis adalah kerjasama yang mereka bangun antara kota-kota, batas negara, para pekerja pabrik dan buruh tani atau petani. Para buruh tani atau petani memberi makan para pekerja selagi pemogokan berlangsung, atau membantu mengurus anak-anak para pekerja yang tengah melakukan mogok. Bentuk praktis solidaritas ini telah dicoba untuk pertama kalinya di negara ini saat pemogokan Lawrence terjadi, dan hasilnya menginspirasi.
Semua aktivitas Sindikalis ini diwarnai dengan semangat kerja pendidikan yang dilakukan secara sistematis dalam kelas-kelas sore dengan membahas semua topik vital dari sudut pandang libertarian yang tidak bias — bukan “pengetahuan” tercemar yang dijejali ke otak kita di sekolah-sekolah publik. Cakupan pendidikan ini benar-benar fenomenal.   Pendidikan ini juga membahas topik seperti kebersihan seks, perawatan bagi perempuan pada masa hamil dan persalinan, perawatan rumah dan anak, sanitasi dan kebersihan umum; Faktanya, semua cabang pengetahuan manusia — ilmu pengetahuan alam, sejarah, seni — mendapatkan perhatian yang menyeluruh berikut penerapan praktisnya di perpustakaan, klinik, konser dan festival yang telah dibangun oleh para pekerja, tempat para seniman dan penulis memandang bahwa partisipasi di dalamnya adalah sebuah kehormatan.
Salah satu upaya Sindikalisme yang paling vital adalah mempersiapkan para pekerja, sekarang, untuk peran mereka di dalam masyarakat yang bebas kelak. Karena itulah organisasi-organisasi Sindikalis memberi para anggotanya buku-buku pelajaran mengenai setiap perdagangan dan industri, buku pelajaran yang dapat membantu  para pekerja menjadi handal dalam bidang pilihannya, mumpuni dalam karyanya, yang bertujuan mengakrabkan diri mereka dengan semua cabang industri, sehingga ketika para pekerja berhasil mengambil alih produksi dan distribusi, mereka akan sepenuhnya siap untuk mengelola urusan-urusan mereka dengan berhasil.
Keefektifan kampanye pendidikan Sindikalisme ini dibuktikan oleh para pekerja rel di Italia, yang sangat hebat menguasai bidang transportasi dalam setiap detail sehingga mereka dapat mengajukan tawaran pada pemerintah Italia agar para pekerja mengambil alih jalur rel di negara tersebut dan menjamin jalannya operasi dengan lebih sedikit kecelakaan dan dampak ekonomi yang lebih besar dibandingkan dengan saat ini yang masih dipegang oleh pemerintah.
Terkait dengan pemogokan pekerja pembuat kaca di Italia, para Sindikalis telah membuktikan sendiri kemampuan yang menakjubkan dalam melanjutkan produksi. Alih-alih sekadar menganggur saat pemogokan berlangsung, para pekerja memutuskan untuk tetap melanjutkan produksi kaca. Semangat solidaritas yang mengagumkan ini merupakan hasil propaganda Sindikalis yang membuat mereka mampu membangun sebuah pabrik kaca dalam waktu yang luar biasa singkat. Sebuah bangunan tua disewa dan disiapkan selama beberapa minggu agar dapat berfungsi untuk tujuan tersebut—umumnya proses ini memakan waktu berbulan-bulan. Proses ini dibantu oleh solidaritas para pemogok, yaitu kamerad-kameradnya yang ikut bekerja bersama mereka seusai jam kerja. Kemudian, para pemogok tersebut mulai mengoperasikan pabrik kaca, dan rencana kerja dan distribusi koperatif mereka selama pemogokan pun terbukti begitu memuaskan dalam semua hal sehingga pabrik eksperimental tersebut akhirnya jadi permanen. Satu bagian industri kaca di Italia kini berada di tangan organisasi kooperatif para pekerja.
Metode pendidikan terapan ini tidak hanya melatih para pekerja dalam perjuangan hariannya, namun juga mempersiapkan dirinya untuk pertarungan besar dan masa depan, saat mereka mengambil tempatnya di masyarakat sebagai makhluk yang cerdas, berkesadaran dan merupakan produsen yang berguna, ketika kapitalisme telah dihapuskan.
Hampir semua Sindikalis yang maju setuju dengan para Anarkis bahwa masyarakat yang bebas hanya akan dapat terwujud melalui asosiasi sukarela, dan bahwa keberhasilannya yang paling utama tergantung pada pengembangan intelektual dan moral para pekerja yang akan menggantikan sistem upah dengan tatanan sosial baru yang dilandaskan pada solidaritas dan kemakmuran ekonomi bagi semua orang. Inilah Sindikalisme dalam teori dan praktik.


Terjemahan dari “Syndicalism – the Modern Menace to Capitalism” karya Emma Goldman yang diterbitkan oleh Mother Earth Publishing Association di New York pada tahun 1913.

You may also like...

2 Responses

  1. galismask says:

    Tanks. Sangat bermanfaat.

  2. zmrdphlms says:

    apa terjemahan di atas itu keseluruhan dari isi teks dalam buku “Syndicalism – The Modern Menace to Capitalism,” by Emma Goldman?

Leave a Reply