Kesetaraan Gender: Manifestasi dan Perspektifnya dalam Anarkisme

kesetaraan
 

“Seorang perempuan tidak harus selalu menutup mulutnya sementara membiarkan rahimnya terbuka.”- Emma Goldman[1]

Tak banyak memang konflik yang melibatkan perempuan sepenuhnya. Namun, lihat saja di Rembang, ibu-ibu bertahan di tenda selama hampir 2 tahun untuk melawan tambang karst dan pendirian pabrik semen di daerah tersebut. Kita bisa menengok Rojava, daerah otonom di Suriah, yang melahirkan YPJ (Yekîneyên Parastina Jin/Unit Pertahanan Perempuan), sayap militer Kurdistan di Suriah yang  beranggotakan milisi perempuan. Mereka mengangkat senjata untuk melindungi Rojava dari Pemerintahan Bashar al-Assad, al-Nusra Front (afiliasi Al-Qaeda) dan ISIS. Jauh sebelum itu, perempuan sudah banyak terlibat dalam bebagai macam aksi. Tilik lagi demonstrasi besar perempuan di Petrograd pada tahun 1917. Kelaparan dan kelangkaan pangan membuat mereka menuntut dan meruntuhkan rezim Tsar. Pada November 1929, terjadi perang perempuan di Nigeria. Ribuan perempuan memprotes dan memberontak terhadap pembatasan peran mereka dalam pemerintahan. Selain itu, pada tahun 1936, sebuah organisasi anarkis perempuan dibentuk di Spanyol. Mujeres Libres lahir dari amarah terhadap hierarki dan dominasi laki-laki. Para pendiri Mujeres Libres adalah perempuan-perempuan yang terlibat dalam organisasi anarko-sindikalis di Spanyol, meskipun para laki-laki tidak mengakui peran perempuan dalam ranah publik atau politik.[2] Mujeres Libres lahir sebagai upaya pembebasan perempuan. Mereka juga terlibat dalam Perang Sipil Spanyol untuk melawan kudeta militer yang dipimpin Jenderal Franco. Di Jerman, pada tahun 1987, juga pernah terjadi serangan terhadap pertokoan Adler oleh organisasi gerilya perempuan bersenjata, Rote Zora (RZ).  Aksi tersebut merupakan dukungan RZ terhadap mogok buruh perempuan Korea yang menuntut kenaikan upah terhadap pabrik tekstil Adler.
Di Indonesia, pada zaman kolonial, perempuan turut andil dalam merebut kemerdekaan dari penjajah. Rezim kolonial mendapat perlawanan dari perempuan-perempuan pada masanya. Saat itu, gagasan mengenai kesetaraan gender belum ada dan sama sekali belum menjadi kesadaran. Mereka berjuang karena merasa terenggut haknya. Mereka melawan lewat kekuatan serta pikiran sendiri, bahkan ada yang mati di tiang gantungan. Sebut saja Keumalahayati atau yang lebih dikenal sebagai Malahayati. Dia memimpin 2.000 orang pasukan Inong Balee—para janda pejuang yang ditinggal mati suaminya—melawan tentara kolonial Belanda. Bahkan, dalam pertempuran satu lawan satu, Malahayati berhasil membunuh Jendral Cornelis de Houtman. Contoh lain adalah HR. Rasuna Said, seorang orator ulung. Dia berjuang lewat organisasi dan diplomasi. Pidato-pidatonya seringkali menyebarkan ajakan perlawanan terhadap rezim kolonial dan menyerukan persamaan hak antara perempuan dan laki-laki. Semasa hidupnya, Rasuna Said juga tergabung dalam organisasi Sarekat Rakyat dan Nippon Raya (masa pendudukan Jepang). Ada pula Martha Christina Tiahahu, perempuan muda berusia 17 tahun yang berasal dari Nusalaut, Maluku. Bersama ayahnya, dia berjuang melawan tentara Belanda hingga akhirnya ditangkap kemudian diasingkan oleh pemerintahan kolonial.
Pada masa itu, patriarki sangat kental dan meliputi seluruh aspek kehidupan. Politik etis kolonial, politik balas budi pemerintahan kolonial untuk mensejahterakan pribumi, dengan tiga pokok utama yaitu, imigrasi, edukasi, irigasi adalah contohnya. Seharusnya pelaksanaan politik etis dapat menyasar semua lapisan masyarakat, baik laki-laki maupun perempuan. Namun, realitasnya banyak penyimpangan dalam politik tersebut. Pendidikan hanya diberikan bagi laki-laki dari golongan pribumi ningrat dan mampu saja. Laki-laki pribumi melarat hanya mendapat pendidikan kelas II. Pendidikan ditujukan untuk mendapatkan pegawai yang cakap dan murah. Perempuan pribumi masih tidak mendapat kesempatan untuk mengenyam pendidikan. Tugas mereka hanya berada di wilayah domestik, kasur, sumur, dapur. Manak, masak, macak merupakan ungkapan-ungkapan misoginis yang kental dalam masyarakat. Seperti yang tertulis dalam surat-surat Kartini, seorang perempuan golongan ningrat Jawa, yang kemudian dijadikan bukti ‘keberhasilan’ politik etis pemerintah kolonial Belanda melalui tulisan-tulisan yang menunjukkan intelektualitasnya. Surat-surat Kartini kepada sahabatnya menguak feodalisme serta bentuk kesenjangan antara perempuan dan laki-laki pada masanya.
Manifestasi gender terhadap perempuan
Perubahan peradaban manusia dari kehidupan nomaden, berburu dan meramu ke dalam pertanian menetap mengubah konstruksi peran gender. Pertanian menetap memerlukan proses pembukaan lahan. Pembukaan lahan, proses produksi dan pengolahan lahan dikerjakan oleh laki-laki. Hal tersebut mereduksi peran kerja perempuan. Perempuan kemudian bekerja dalam ranah-ranah domestik yang tidak dikerjakan laki-laki. Pembagian kerja kemudian terstruktur bahwa laki-laki mengerjakan pekerjaan yang lebih “berat” sementara perempuan mendapat peran kerja yang “lebih ringan” dan minim resiko, seperti menjaga ternak atau mengasuh anak. Secara perlahan namun pasti, perempuan makin dijauhkan dari tugas produksi dan didomestikasi. Sejak saat itu, lahirlah patriarki!
Gender merupakan pembedaan antara perempuan dan laki-laki berdasarkan konstruksi sosial maupun kultural masyarakat, bukan kondisi biologis manusia. Perbedaan gender sebenarnya tidak menimbulkan menjadi masalah selama ketidakadilan gender, baik untuk laki-laki maupun untuk perempuan, tidak ada. Gender dalam pengertian ilmu sosial diartikan sebagai pola relasi perempuan dan laki-laki yang didasarkan pada ciri sosial masing-masing. Tercakup di dalamnya adalah pembagian kerja, pola relasi kuasa, perilaku, peralatan, bahasa, persepsi yang membedakan perempuan dengan laki-laki. Sebagai pranata sosial, gender bukanlah sesuatu yang baku dan tidak berlaku universal.[3]
Dalam praktiknya, perempuan mendapat stereotip atau pelabelan negatif bahwa perempuan lemah, ringkih, irasional dan emosional. Atas dasar stereotip itulah, peran perempuan dalam pengambilan keputusan diragukan. Pekerjaan layak yang disematkan pada perempuan adalah pekerjaan yang bersifat keibuan serta penuh kelemahlembutan. Sementara itu, laki-laki dikonstruksikan untuk tangguh, lebih rasional, jantan dan bercitra kuat.
Banyak ketimpangan yang masih berlaku dalam sistem kerja bagi perempuan, khususnya para pekerja-pekerja pabrik dan sektor rendah lainnya. Upah pekerja perempuan lebih rendah daripada pekerja laki-laki meskipun jam kerjanya sama. Dengan pembenaran bahwa perempuan melakukan pekerjaan ringan, jam kerja yang sama tersebut tetap dianggap tidak sepadan dengan pekerjaan laki-laki.
Selain itu, ada tiga sistem kekerabatan atau garis keturunan di Indonesia, yaitu matrilineal, patrilineal dan bilateral. Meskipun demikian, ketiga sistem tersebut masih menempatkan perempuan sebagai pengurus keluarga. Posisi perempuan dalam politik maupun pengambilan keputusan juga tidak diakui. Masyarakat meletakkan posisinya di bawah laki-laki.
Subordinasi peran gender perempuan dalam masyarakat menimbulkan beberapa masalah yang menyebabkan posisi perempuan semakin inferior. Perspektif biner bahwa laki-laki kuat dan perempuan lemah menginfiltrasi berbagai sektor, termasuk ruang kerja.
Berbagai perbedaan dan ketidaksetaraan gender diwujudkan dalam berbagai hal. Pertama, perbedaan tersebut menyebabkan pemiskinan perempuan. Banyak lapangan kerja yang “tidak diperuntukkan” baginya. Posisi inferior perempuan dalam ekonomi menjadikan peran perempuan dalam mencari nafkah hanya dianggap sebagai tambahan atas nafkah yang dihasilkan suami. Laki-laki dipandang sebagai pencari nafkah utama karena dianggap lebih punya waktu luang dan dapat diandalkan. Bagi perempuan pekerja yang sudah menikah, beban ganda tak lepas darinya. Pekerja perempuan yang sudah menikah harus memikul tanggung jawab untuk melayani suami, merawat anak dan mengurus rumah saat tidak bekerja. Bayangkan jika perempuan tersebut berasal dari etnis minoritas. Bukan hanya beban ganda yang akan disandangnya namun juga beban berlapis-lapis lain di pundaknya, seperti banyak perempuan minoritas yang kepercayaannya tak diakui. Semua hal tersebut adalah hasil dari konstruksi sosial masyarakat.
Karena pekerjaan perempuan dianggap ringan, hanya berada di wilayah domestik, seringkali perempuan diupah lebih rendah. Contohnya, seorang sopir dan pekerja rumah tangga, atau seorang penjahit dalam pabrik dan seorang operator mesin. Gaji sopir seringkali lebih tinggi daripada pekerja rumah tangga. Gaji operator mesin lebih tinggi dari gaji seorang penjahit padahal jam kerjanya sama (kadang lebih). Selain itu, tidak ada yang dapat memastikan bahwa menyopir itu lebih sulit dan membutuhkan tenaga daripada memasak, mencuci atau pun mengasuh bayi.
Faktor ekonomi menjadi salah satu pemicu kuat dalam marjinalisasi perempuan. Namun, bagi perempuan yang berasal dari kalangan ekonomi kelas atas, pekerjaan domestik dialihkan kepada pekerja rumah tangga. Hal ini dapat diartikan sebagai pemindahan marjinalisasi, subordinasi dan beban kerja kepada perempuan lain yang datang dari kelas ekonomi rendah. Lambat laun tercipta struktur dan sistem ketidakadilan yang diterima, dianggap wajar, dan tidak lagi dianggap sebagai sesuatu yang salah oleh masyarakat. Persoalan ini bercampur dengan kepentingan kelas. Itulah mengapa justru banyak perempuan kelas menengah terpelajar yang ingin mempertahankan sistem dan struktur tersebut.[4]
Perwujudan kedua adalah kekerasan. Perbedaan gender sering membawa perempuan ke dalam konflik dengan laki-laki. Kekerasan dapat terjadi di mana saja, kepada siapa saja dengan  berbagai faktor. Namun, dari hasil yang tercatat, korban terbanyak adalah perempuan. Itulah mengapa perempuan sering disebut sebagai kelompok rentan kekerasan. Kekerasan ini mencakup kekerasan fisik, psikis, dan ekonomi.
Banyak kekerasan yang terjadi karena stereotip yang menganggap perempuan lemah. Kekerasan terjadi karena timpangnya relasi kuasa antar perempuan dengan laki-laki serta faktor budaya serta ekonomi. Banyak jenis kekerasan yang bersifat pelecehan malah dianggap wajar dan tidak disadari oleh korban.
Ruang-ruang aman bagi perempuan dalam ranah kerja maupun wilayah publik lainnya tidak tercipta. Banyak kasus pemerkosaan yang terjadi di ruang-ruang publik, seperti terminal, angkutan kota, tempat kerja, dan jalan raya, tetapi tidak sedikit pula, kasus kekerasan yang terjadi di ruang privat dan dilakukan oleh orang terdekat.
Belum lama, saya dikejutkan dengan berita mengenai perempuan yang ditelanjangi dan diarak keliling kampung karena dituduh mencuri sandal. Sandal tersebut diambil, dan dikalungkan ke leher RS. Gadis yang baru duduk di kelas I SMP itu dipaksa menanggalkan pakaian. Dalam kondisi tanpa busana, RS diarak melewati jalan desa sejauh 1 kilometer.[5]
Ini sungguh merupakan sebuah bentuk relasi kuasa laki-laki terhadap perempuan yang telah mengakar dengan sangat kuat di masyarakat dan menjadi budaya: laki-laki behak memperlakukan perempuan dengan cara apa pun sesuai keinginannya.
Lain cerita mengenai femicide yang dialami buruh-buruh di pabrik Maquiladoras, Ciudad Juarez, Meksiko. Ratusan buruh perempuan dibunuh oleh kelompok orang yang tidak dikenal. Pembunuhan seringkali diawali dengan perampokan dan kekerasan seksual. Motif pembunuhan ditandai oleh reaksi patriarkal laki-laki terhadap minimnya lapangan kerja bagi mereka. Lebih banyaknya perempuan yang memasuki angkatan kerja telah mengubah dinamika gender tradisional dan menciptakan situasi konflik antara kedua jenis kelamin. Secara keseluruhan, dalam mempertimbangkan motif dalam potensi kekerasan gender terhadap perempuan, akademisi Mercedes Olivera berpendapat bahwa femicide adalah mekanisme dominasi, kontrol, penindasan, dan kekuasaan atas perempuan.[6]
Perasaan traumatis yang tertinggal karena manifestasi kekerasan fisik menimbulkan kekerasan psikis bagi perempuan. Kondisi ini berisiko bagi otonomi diri perempuan. Hak perempuan semakin direduksi akibat perlakuan yang mengambil haknya sebagai individu yang utuh.
Ketiga, stereotip dan subordinasi. Pernikahan dan peran dalam keluarga sangat dilekatkan kepada tubuh perempuan. Stereotip bahwa perempuan adalah pengurus keluarga menghilangkan kesempatan perempuan untuk menentukan pilihan hidupnya sendiri. Banyak budaya dalam masyarakat yang membangun stereotip bahwa perempuan berumur dan belum menikah adalah aib. Tekanan bagi anak perempuan untuk cepat menikah merupakan kewajaran yang terjadi di masyarakat.
Jika menengok kembali ke Rojava, seperti terbentuk peraturan tidak tertulis bahwa mereka tidak menginginkan menikah sampai revolusi tercapai. Hal seperti ini juga pernah terjadi dalam perang kemerdekaan Indonesia. Mereka berpendapat bahwa perkawinan dan pertunangan bertentangan dengan sifat revolusi yang menjadi-jadi.[7] Dalam konstitusi Rojava, mereka bahkan membuat pasal yang menyebutkan bahwa pernikahan di bawah umur tidak diperbolehkan.[8] Salah satu alasan perempuan di Suriah bergabung dengan milisi YPJ adalah karena tuntutan menikah dalam budaya mereka.
 “Saya tidak mau menikah atau mempunyai anak atau pun tinggal di rumah sepanjang hari, saya ingin bebas. Jika saya tidak menjadi seorang gerilyawan YPJ, saya pikir jiwa saya akan mati. Menjadi seorang gerilyawan berarti menjadi bebas—inilah yang saya maksud benar-benar bebas”. Jenderal Zelal, 33 tahun, gerilyawan YPJ.[9]
Dalam sistem kapitalisme, penindasan terhadap perempuan terus dijalankan, dan patriarki tidak dianggap sebagai masalah. Berbagai alasan yang menguntungkan diajukan guna melanggengkan sistem tersebut. Pekerja perempuan dianggap lebih menguntungkan karena berupah murah. Upah buruh murah mempercepat akumulasi keuntungan para kapitalis. Buruh perempuan juga dianggap lebih menguntungkan karena diposisikan sebagai tenaga cadangan yang tak terbatas. Walaupun perempuan banyak berperan dalam perjuangan melawan penjajah maupun bertarung dalam sektor ekonomi, kesetaraan gender tetap belum diakui dan patriarki masih menjadi norma umum sampai saat ini.
Anarkisme dan pembebasan perempuan
Lantas bagaimana pembebasan perempuan dalam anarkisme?
Tak ada nabi junjungan dalam anarkisme yang pemikirannya selalu dibenarkan. Tak ada kitab suci, tak ada metode dan tahap-tahap perubahan yang mesti diikuti dengan buta. Saya tidak memungkiri, ada pemikir anarkisme yang seksis seperti Proudhon atau rasis seperti Bakunin semasa muda misalnya. Itu harus diakui!
Konsep hierarki merupakan akar permasalahan yang dilawan oleh anarkisme. Patriarkisme sebagai anak turunnya juga merupakan hierarki. Patriarkisme adalah sistem sosial yang menempatkan derajat laki-laki lebih tinggi daripada perempuan dan segala sesuatu yang lain, termasuk alam, bumi dan air. Laki-laki menjadi poros sentral dalam ruang publik atau pun domestik.
Anarkisme melihat patriarki sebagai manifestasi kekuasaan hierarki yang dipaksakan, yang mesti diganti oleh asosiasi merdeka yang desentralis. Anarkisme melihat bahwa perjuangan melawan patriarki merupakan bagian penting dari konflik kelas dan perjuangan anarkis melawan Negara. Dalam kalimat L. Susan Brown, “anarkisme adalah filsafat politik yang menentang segala relasi kekuasaan, dan dengan sendirinya sangat feminis.”
Bagi anarkisme, perempuan berhak penuh atas otoritas tubuh dan orientasi seksualnya, berhak untuk menentukan menikah atau tidak, memiliki anak atau tidak, melibatkan diri dalam pengasuhan anak atau tidak. Perempuan juga berhak untuk terlibat dalam organisasi atau serikat buruh, dan dalam peran politik atau publik. Perempuan juga berhak untuk memilih alat kontrasepsi. Segala otonomi dan ekspresi gender bagi perempuan ditentukan oleh perempuan sendiri. Meminjam istilah kaum feminis radikal, “hal personal adalah hal politis” (the personal is political).
Emma Goldman, seorang anarkis perempuan yang memperjuangkan pembebasan perempuan dari dominasi laki-laki, adalah salah satu orang pertama yang mengampanyekan penggunaan alat kontrasepsi bagi perempuan sebagai bentuk otonomi bagi tubuh perempuan.
Sejarah menyebutkan bahwa perlawanan lahir di jalanan. Banyak akses yang saat ini dapat dinikmati adalah hasil dari perjuangan, demonstrasi di jalanan, bukan hanya sekedar perjuangan pada tataran legal-formal. Harus disadari bahwa negara adalah musuh yang menyebabkan penindasan terhadap perempuan. Maka dari itu, sangat kontradiktif jika kita meminta perlindungan dan berharap kepada negara untuk menghentikan kekerasan dan penindasan terhadap perempuan (ataupun laki-laki). Negara dan kapitalisme adalah konjugasi yang tak dapat dipisahkan. Negara dan sistem kapitalisme adalah sumber penindasan bagi perempuan dan laki-laki.
Seperti yang diungkapkan oleh Milly Witkop, seorang anarko-sindikalis kelahiran Ukraina, perempuan proletar dieksploitasi tidak hanya oleh kapitalisme seperti pekerja laki-laki, tetapi juga oleh rekan-rekan laki-laki mereka. Oleh karena itu, dia berpendapat bahwa perempuan harus secara aktif memperjuangkan hak-hak mereka, seperti pekerja harus berjuang melawan kapitalisme.[10]
Perjuangan perempuan tak bisa dipisahkan dari perjuangan kelas. Gerakan pembebasan perempuan merupakan bagian dari perjuangan pekerja yang lebih luas melawan hierarki dalam kelas ekonomi, sosial dan gender. Perjuangan perempuan tidak pula dapat dilepaskan dari perjuangan untuk mengambil alih alat produksi serta hasilnya dari tangan perorangan ke tangan masyarakat karena perebutan kendali tersebut tidak akan berhasil jika perempuan belum terbebaskan.
Namun, pembebasan perempuan bukanlah bertujuan untuk merebut posisi laki-laki dan menciptakan sistem matrialkal baru. Ia bertujuan untuk menciptakan tatanan baru tanpa hierarki, dominasi, subordinasi dan domestikasi.
“Intinya adalah bukan perempuan mengambil kekuasaan dari tangan laki-laki, karena hal itu tidak akan merubah apa-apa di dunia. Justru permasalahan yang paling penting adalah menghancurkan kekuasaan,” kata Simone de Beauvoir.


 
Sumber:
[1] Salah satu kalimat dalam pidato Emma Goldman di hadapan ratusan orang di New York pada 28 Maret 1915. Kalimat-kalimat yang diungkapkan dalam pidato tersebut mengancam Amerika sehingga dia dijebloskan ke dalam penjara setelahnya, http://www.pacifict.com/ron/Emma.html diakses 26 januari 2016.
[2] Martha A. Ackelsberg. Free Women of Spain. AK Press, Hal.117.
[3] https://phierda.wordpress.com/2012/12/18/perempuan-gender-dan-budaya-patriark/
[4] Mansour Fakih. 2008. Analisis Gender dan Transformasi Sosial. Insist Pers. Hal. 81
[5] https://beritagar.id/artikel/berita/netizen-kecam-aksi-mengarak-remaja-putri-tanpa-busana-di-sragen, diakses 30 januari 2016.
[6] Olivera, Mercedes (2006). “Violencia Femicida : Violence Against Women and Mexico’s Structural Crisis”. Latin American Perspectives 33, Hal.114.
[7] Soe Hok Gie. 1997. Orang-orang di Persimpangan Kiri Jalan. Bantang Budaya. Hal.136.
[8] http://civiroglu.net/the-constitution-of-the-rojava-cantons/, diakses pada 30 jaunari 2016.
[9] http://www.marieclaire.com/culture/news/a6643/these-are-the-women-battling-isis/, diakses pada 30 Januari 2016.
[10] https://en.wikipedia.org/wiki/Anarcha-feminism, diakses pada 31 januari 2016.

You may also like...

2 Responses

  1. June 21, 2020

    […] menjadi anarkis saja tidak cukup, seorang anarkis sudah semestinya menjadi feminis. Seorang anarkis memahami penindasan yang dialami perempuan dan menumbuhkan kesadaran dalam dirinya […]

  2. July 5, 2020

    […] “Seorang perempuan tidak harus selalu menutup mulutnya sementara membiarkan rahimnya terbuka.”- Emma Goldman[1] […]

Leave a Reply