A.5 Apa saja contoh-contoh “aksi anarki”?

[sc:afaq1]

A.5 Apa saja contoh-contoh “aksi anarki”?

[toc]

Anarkisme lebih dari yang lain, adalah mengenai usaha jutaan perubahan revolusioner dunia dalam dua abad terakhi ini. Pada bagian ini kita akan membicarakan beberapa poin penting dari gerakan ini, semuanya bersifat anti kapitalis.

Anarkisme adalah sesuatu mengenai mengubah dunia secara radikal, bukan hanya membuat sistem yang ada menjadi lebih manusiawi dengan mendorong maksud-maksud anarkistis di dalamnya untuk tumbuh berkembang. Meski belum terjadi revolusi yang benar-benar anarkis, telah banyak revolusi dengan karakter dan tingkat partisipasi anarkis yang tinggi. Dan meski semua itu telah dihancurkan, dalam setiap kasus yang menjadi penyebab kehancuran itu adalah kekuatan luar yang melawan mereka (ditunggangi oleh komunis atau kapitalis), bukan karena masalah internal dalam anarkisme ssendiri. Revolusi-revolusi ini meski gagal untuk bertahan hidup di hadapan kekuasaan yang sangat besar, telah menjadi inspirasi bagi kaum anarkis serta bikti bahwa anarkisme adalah teori sosial yang dapat terus berjalan juga dapat dipraktekkan dalam skala yang besar.

Penting ditunjukkan di sini bahwa contoh-contoh ini merupakan eksperimen sosial skala besar dan tidak menunjukkan bahwa kami mengabaikan aliran dalam praktek anarkis yang ada dalam kehidupan sehari-hari, meskipun di bawah kapitalisme. Baik Peter Kropotkin (dalam Mutual Aid) maupun Collin Ward (dalam karyanya Anarchy in Action) telah mendokumentasikan banyak cara di mana rakyat biasa, yang sering tidak menyadari akan anarkisme, telah bekerja sama dalam kesetaraan untuk memenuhi kepentingan bersama. Seperti pendapat Collin Ward, “suatu masyarakat anarkis, masyarakat yang mengatur dirinya tanpa kekuasaan, selalu ada, seperti benih di bawah salju, terpendam di dalam kekuatan negara dan birokrasinya, kapitalisme dan sampahnya, hak istimewa dan ketidakadilannya, nasionalisme dan loyalitas pengorbanan dirinya, perbedaan agama dan pemisahan tahkyul mereka.” (Anarchy in Action, hal 14)

Anarkisme bukan hanya mengenai masyarakat masa depan, namun juga mengenai perjuangan sosial yang terjadi saat ini. Anarkisme bukan suatu keadaan melainkan sebuah proses yang kita ciptakan melalui aktifitas dan pembebasan diri kita sendiri.

Namun, sejak tahun 60-an banyak komentator yang menuliskan gerakan anarkis sebagai sesuatu dari masa lalu. Bukan hanya fasisme yang membasmi gerakan anarkis Eropa di tahun-tahun sebelum dan selama perang, namun pada periode pasca perang gerakan-gerakan ini dihambat perkembangannya oleh kapitalis barat di satu sisi dan Leninis Timur di sisi lainnya. Masih dalam periode waktu yang sama, anarkisme ditekan di AS, Amerika Latin, China, Korea (di mana revolusi sosial dengan muatan anarkis dipadamkan sebelum perang Korea), dan Jepang. Bahkan dalam satu atau dua negara yang terhindar dari penindasan kejam, perpaduan perang dingin dan isolasi internasional memunculkan serikat liberal, seperti SAC Swedia, sebagai kaum reformis.

Namun dekade 60-an merupakan dekade perjuangan baru, dan di seluruh dunia “kiri baru” menoleh ke anarkisme seperti halnya di tempat lain karena pemikirannya.Banyak tokoh terkemuka ledakan besar-besaran pada Mei 1968 di Prancis menganggap dirinya sebagai kaum anarkis. Meski gerakan-gerakan itu sendiri mengalami kemunduran, mereka yang muncul darinya menjaga keberlangsungan cita-cita tersebut dan mulai membangun gerakan-gerakan baru. Kematian Marco di tahun 1976, memunculkan kelahiran kembali anarkisme Spanyol secara massif, dengan 500.000 orang yang menghadiri rapat umum CNT yang pertama pasca Franco. Kembalinya beberapa negara Amerika Selatan di akhir 70-an dan 80-an memunculkan suatu pertumbuhan dalam anarkisme di sana. Akhirnya, di akhir 80-an kaum anarkis menghembuskan serangan pertama terhadap Uni Sovyet Leninis, dengan barisan protesnya yang pertama sejak 1928 yang di adakan di Moskow oleh kaum anarkis 1987.

Dewasa ini gerakan kaum anarkis, meski masih lemah, mengorganisir puluhan ribu revolusioner di banyak negara. Spanyol, Swedia, dan Italia semua memiliki gerakan serikat liberal yang mengorganisir 250.000 an di antara mereka. Sebagian besar negara Eropa lainnya memiliki beberapa ribu anarkis yang aktif. Kelompok-kelompok anarkis telah menghilang sejak pertama kalinya di negara-negara lain, termasuk Nigeria dan Turki. Di Amerika Selatan gerakan anarkis telah dipulihkan secara besar-besaran. Selembar kertas kontak yang diputarkan oleh kelompok aanrkis Venezuela Corrio A mendaftar lebih dari 100 organisasi di hampir setiap negara.

Barangkali pemulihan berjalan paling lambat di Amerika Utara, hanya di sana , semua organisasi liberal tampaknya juga mengalamii pertumbuhan yang sulit. Karena pertumbuhannya yang cepat, banyak lagi contoh aksi anarki yang akan tercipta dan akan lebih banyak lagi rakyat yang akan turut serta dalam aktivitas dan organisasi anarkis, sehingga pembuatan bagian FAQ ini menjadi semakin berkurang pentingnya.

Namun demikian, memang esensial menyoroti contoh-contoh massa anarkisme yang bekerja pada skala besar untuk menghindari tuduhan “utopianisme”. Karena sejarah ditulis oleh si pemenang, contoh-contoh aksi kaum anarkis seringkali disembunyikan dari buku-buku sejarah. Jarang sekali mereka disebutkan dalam sekolah-sekolah dan universitas (atau jika disebutkan, terdapat penyimpangan). Tak perlu dikatakan lagi, bahwa contohj-contoh yang kita berikan sangatlah sedikit.

Anarkisme memiliki sejarah panjang di banyak negara, dan kita tak dapat mendokumentasikan setiap contoh, selain yang kami anggap penting. Kami juga minta maaf jika contoh-contoh ini tampak eurosentris. Mnegingat pertimbangan waktu dan tempat, kami harus mengabaikan revolusi sindikalis (1910-1914) dan gerakan pelayan toko di Inggris (1917-1921), Jerman (1919-1921), Portugal (1974), Revolusi Mexico, kaum anarkis pada revolusi Kuba, perjuangan di Korea melawan imperialisme Jepang (kemudian AS dan Rusia) selama dan setelah perang dunia kedua, Hongaria (1956), revolusi “penolakan bekerja” di akhir 60-an (khususnya pada “musim semi yang panas” di Italia, 1969), pemogokan penambang di Inggris (1984-1985), perjuangan melawan Poll Tax di Inggris (1988-1992), pemogokan di Perancis (1986-1995), gerakan COBAS di Italia di tahun 80-an dan 90-an, dan banyak lagi perjuangan-perjuangan besar lainnya yang melibatkan gagasan anrkis mengenai pengelolaan diri (gaagasan yaang biasanya berkembang dari gerakan itu sendiri, tanpa kaum anarkis perlu memainkan peran utama, atau “memimpin”)

Bagi kaum anarkis, revolusi dan perjuangan massa merupakan “festival kaum tertindas”, ketika rakyat biasa bertindak untuk diri mereka sendiri dan melakukan perubahan baik pada dirinya maupun dunia.

A.5.1 Paris Commune

Paris Commune 1871 memainkan peran penting dalam perkembangan pemikiran dan gerakan anarkis. Seperti komentar Bakunin saat itu,

“sosialisme revolusioner (contohnya anarkisme) telah mengusahakan pemogokan dan demonstrasi praktisnya yang pertama di Paris Commune” (Bakunin on Anarchism, hal 263)

Paris Commune dibuat setelah Perancis di kalahkan oleh Prusia dalam perang Perancis-Prusia. Pemerintah Perancis mengirim pasukan untuk mendapatkan kembali meriam Parisian National Guard  dan mencegahnya jatuh ke tangan penduduk. Para serdadu menolak menembaki kerumunan massa yang bersorak dan mengarahkan senjata mereka ke para perwira. Saat itu tanggal 18 Maret; komune telah dimulai.

Dalam pemilihan umum yang disebut Parisian National Guard, warga kota Paris memilih dewan yang terdiri dari mayoritas Jacobin dan Republican serta minoritas sosialis (sebagian besar aliran Blanquis— sosialis otoriter– dan pengikut anarkis Proudhon). Dewan ini menyatakan otonomi Paris  dan ingin menjadikan Perancis sebagai konfederasi komune-komune (contohnya komunitas). Di dalam komune, orang-orang dalam dewan terpilih dapat di recall dan dibayar dengan upah rata-rata. Sebagai tambahan, mereka harus memberikan laporan kepada rakyat yang memilihnya.

Alasan mengapa perkembangan tersebut mengambil imajinasi kaum anarkis sangat jelas– perkembangan ini memiliki persamaan yang besar dengan gagasan anarkis. Pada kenyataannya, contoh Paris komune ini dalam banyak hal sama dengan Prediksi Bakunin mengenai bagaimana sebuah revolusi seharusnya terjadi– kota besar mengumumkan dirinya otonom, mengatur dirinya sendiri, dipimpin oleh orang yang menjadi teladan, dan mendorong tempat-tempat lain untuk mengikutinya. (lihat “Letter to Albert Richard” dalam Bakunin on Anarchism). Paris Commune memulai menciptakan masyarakat baru, yang diatur dari bawah ke atas.

Banyak kaum anarkis yang berperan di dalam komune– contohnya Louise Michel, Reclus bersaudara, dan Eugene Varlin (yang disebut terakhir terbunuh dalam represi setelah Paris Commune). Karena perbaikan diawali oleh komune, seperti halnya pembukaan kembali tempat kerja yang kooperatif, kaum anarkis dapat melihat gagasannya mengenai buruh yang terorganisir mulai terealisasi. Dalam kebutuhan komune akan federalisme dan otonomi, kaum anarkis melihat “pengaturan sosial masa depan mereka… terjadi dari bawah ke atas, dengan asosiasi bebas atau federasi pekerja yang diawali dengan asosiasi, lalu ke dalam komune, wilayah -wilayah, bangsa-bangsa, dan akhirnya, berpuncak pada federasi internasional dan universal yang besar.” (Bakunin, ibid., hal 270)

Namun demikian, bagi kaum anarkis, komune tidak cukup jauh berjalan. Tidak ada penghapusan negara dalam komune hanya dihapuskan di luar komune. Komunat mengatur dirinya “dalam tata cara Jacobin” (menggunakan penggalan term Bakunin). Seperti halnya yang ditunjukkan Peter Kropotkin, komune tidak “memutuskan tradisi negara, pemerintahan perwakilan, dan tidak berusaha mewujudkan dalam komune bahwa organisasi dari yang sederhana sampai yang kompleks dimulai dengan pernyataan kebebasan dan federasi bebas komune-komune.” (Fighting the Revolution,vol. 2, hal 16)

Tambahan lagi usahanya dalam perbaikan ekonomi tidak mencapai banyak kemajuan, tak ada usaha untuk mengubah semua tempat kerja ke dalam bentuk koperasi dan membentuk asosiasi-asosiasi dari koperasi-koperasi ini untuk mengkoordinasi dan mendukung aktifitas ekonomi satu sama lain. Namun, karena kota di bawah pengepungan terus-menerus tentara Perancis, dapat dipahami jika komunat memiliki pemikiran-pemikiran lain dalam otaknya.

Daripada menghapus negara dalam komune dengan mengorganisir federasi dewan rakyat demokratis yang langsung, seperti “kaum” Parisian dalam revolusi 1789-1793 (untuk lebih jelasnya lihat Great Frech Revolution karya Kropotkin), Paris Commune malah meneruskan pemerintahan representatif dan menderita karenanya. “Bukannya bertindak untuk diri sendiri… rakyat, mempercayai gubernur mereka, mempercayakan kesempatan mengambil inisiatif kepada gubernur.” (Kropotkin, Kropotkin’s Revolutionary Pamphlets, hal 19), sehingga dewan menjadi “halangan terbesar bagi revolusi.” (Bakunin, op.cit., hal.241)

Dewan menjadi semakin terisolasi dari rakyat yang memilihnya, sehingga semakin tidak relevan. Dan seiring dengan tumbuhnya ketidakrelevanan tersebut, kecenderungan otoriter semakin berkembang, dengan pembuatan suatu “Komite Keamanan Rakyat” oleh kelompok mayoritas Jacobin untuk “mempertahankan” (dengan teror) “revolusi”. Komite ini ditentang oleh kaum minoritas sosialis liberal dan, untungnya, dalam prakteknya komite tersebut dibaikan oleh penduduk Paris sebagaimana mereka mempertahankan kebebasan mereka melawan tentara Perncis, yang menyerang mereka atas nama “kebebasan” dan peradaban kapitalis. Pada tanggal 21 Mei, tentara pemerintah memasuki kota yang dilanjutkan dengan pertempuran besar yang tragis selama tujuh hari. Pasukan serdadu dan kaum borjuis bersenjata menjelajahi jalanan, membunuh dan membut cacat orang-orang yang ada dengan semaunya. Lebih dari 25.000 orang tew dalam pertempuran ini, banyak yang terbunuh setelah mereka menyerah dan mayat mereka ditimmbun dalam kuburan massal.

Bagi kaum anarkis, peristiwa Paris Commune memberi tiga pelajaran. Pertama, konfederasi komunitas yang terdesentralisasi merupakan bentuk politik yang diperlukan masyarakat bebas. Kedua, “lebih tidak beralasan bagi berdirinya pemerintahan dalam komune dibandingkan pemerintahan di atas komune.” (Peter Kropotkin, Fighting the Revolution, vol.2, hal 19) Artinya bahwa suatu komunitas anarkis akan didasarkan pada konfederasi warga dan majelis tempat kerja yang bekerja bersama dengan bebas. Ketiga, penyatuan revolusi ekonomi dan politik ke dalam suatu revolusi sosial dipandang sangat penting.” Mereka mencoba mengkonsolidasikan komune sebagai langkah pertama dan menunda revolusi sosial hingga saatnya, padahal satu-satunya cara untuk memulainya adalah mengkonsolidasikan komune dengan jalan revolusi sosial!” (Peter Kropotkin, op.cit., hal. 19)

A.5.2 Para Martir Haymarket

Festival sosialis May Day, meski dibajak oleh Leninis tahun-tahun sekarang ini, berasal dari eksekusi empat anarkis di Chicago di tahun 1886 karena mengorganisir pekerja dalam memperjuangkan delapan jam kerja sehari. Federasi Buruh Amerika telah mengeluarkan seruan untuk mogok di 1 Mei 1886, untuk mendukung tuntutan ini. Di Chicago, kaum anarkis merupakan kekuatan utama gerakan serikat, dan secara terppisah sebagai akibat keberadaan mereka, serikat-serikat menterjemahkan hal ini ke dalam pemogokan di 1 Mei. Sebuah pertemuan diadakan untuk memprotes kebrutalan polisi dalam hal pemogokan ini. (Polisi menyerang para anggota serikat pekerja yang menjaga pemogokan, dan membunuh satu orang). Pertemuan tersebut dihentikan karena diserang oleh polisi. Sebuah bom dilemparkan ke dalam barisan polisi, yang mulai menembaki kerumunan. Setelah itu, semua anarkis terkenal ditangkapi, polisi dikatakan “menggerebek terlebih dahulu dan melihat hukum sesudahnya” oleh pernyataan pengacara.

Delapan anarkis diadili karena perlengkapan untuk membunuh. Tak ada pretensi yang dibuat bahwa beberapa orang dari terdakwa telah melaksanakan atau bahkan merencanaakn pemboman. Malah kepada juri dikatakan “Hukum sedang mendapat peradilan. Anarki sedang mendapat peradilan. Orang-orang ini telah terpilih, diambil oleh dewan juri, dan dituduh karena mereka merupakan para pemimpinnya. Mereka tidak lebih bersalah dibandingkan lebih dari puluhan ribu orang yang mengikutinya. Juri yang terhormat: hukum orang ini, jadikan ini sebagai peringatan bagi mereka, gantung mereka dan anda akan menyelamatkaan institusi kita, masyarakaat kita.” Juri terdiri dari para pengusaha dan keluarga polisi-polisi yang terbunuh, sehingga tidak heran jika para terdakwa dinyatakan bersalah. Tujuh orang dihukum mati, dan seorang 15 tahun penjara.

Suatu kampanye internasional memberi hasil dua orang dicabut dari hukuman mati dan diganti dengan hukuman seumur hidup. Dari kelima orang sisanya, seorang menipu algojo dan bunuh diri di malam eksekusi. Kempat sisanya digantung pada 11  November 1887. Dalam sejarah pekerja, mereka dikenal sebagai para Martir Haymarket.

Albert Spies (salah seorang martir) menegur pengadilan setelah ia dijatuhi hukuman mati:

“Jika anda berpikir dengan menggantung kami anda dapat memadamkan gerkan buruh…gerakan yang berasal dari jutaan orang yang tertindas, jutaan oraang yang bekerja keras dalam kesengsaraan dan keinginan mereka, hanya unutk keselamata–jika ini merupakan pendapat anda, silakan gantung kami! Di sini anda hanya menginjak percikan api, namun di sana, di belakan anda–dan di depan anda, serta di mana saja, api menyala berkobar-kobar. Api itu adalah api yang berada di bawah tanah. Anda tak dapat memadamkannya.”

Di waktu dan tahun mendatang, tuntutan negara dan kapitalisme adalah memenangkan ribuan untuk anarkisme, khususnya di AS sendiri..

Untuk memahami mengapa negara dan kelas pengusaha sangat ingin menggantung kaum anarkis Chicago, perlu disadari bahwa mereka dianggap sebagai “pemimpin” gerakan serikat radikal. Pada tahun 1884, kaum anarkis Chicago menghasilkan koran harian anarkis yang pertama, Chicagoer Arbeiter-Zeiting. Koran ini ditulis, dibaca, dimiliki, dan diterbitkan oleh gerakan kelas pekerja imigran Jerman. Jumlah sirkulasi harian ini plus mingguan (Vorbote) dan edisi hari Minggu (Fackel) lebih dari dua kali lipat, dari 13.000 per terbitan di tahun 1880 hingga 26. 980 di tahun1886. Koran mingguan kum anarkis juga diperuntukan bagi kelompok etnis lainnya.

Kaum anaekis sangat aktif dalam Serikat Buruh Pusat di Eropa, menjadikannya, menggunakan istilah Albert Parsons (salah seorang Martir), “kelompok embrio ‘masyarakt bebas’ masa depan” Sebagai tambahan dalam pengorganisiran serikat mereka, gerakan anarkis Chicago juga mengorganisir masyarakat-masyarakat sosial, tamasya, memberi ceramah, tari-tarian, perustakaan aktivitas-aktivitas lainnya. Semua ini membantu menempa budaya revolusioner kelas pekerja yang berbeda-beda di jantung “Mimpi Amerika”. Ancaman bagi kelas penguasa dan sistem mereka terlalu besar untuk meneruskannya (khususnya dengan ingatan akan pemberontakan buruh besar- besaran 1877 yang masih segar–lihat Mogok! karya J. Brecher untuk lebih klanjut mengenai gerakan pemogokan seperti halnya peristiwa Haymarket). Karena itu represi, pengadilan yang tidak sah, dan pembunuhan oleh negara dan kelas kapitalis mengarah pada para “pemimpin” gerakan.

A.5.3 Membangun serikat-serikat sindikalis

Tepat sebelum pergantian abad di Eropa, gerakan anarkis mulai menciptakan satu usaha yang paling sukses untuk menerapkan gagasan organisasional anarkisd aalam kehidupan sehari-hari. Hal ini merupakan tanggapan  bagi periode “propaganda melalui aksi” yang membawa malapetaka, di mana pada periode itu anarkis individu membunuh pemimpin pemerintahan untuk memunculkan pemberontakan rakyat dan sebagai balas demdam atas pembunuhan para komunat. Dalam menanggapi kegagalan dan kampanye yang tidak produktif ini, kaum anarkis kembali ke akar mereka dan pemikiran Bakunin, mereka mulai membangun serikat revolusioner massa (sindikalisme dan anarko sindikalisme)

Dalam periode dari 1890-an hingga perang dunia pertama, kaum anarkis membangun serikat-serikat revolusioner di sebagian besar negara-negara eropa, yang paling luas persebarannya di Italia dan Perancis. Sebagai tambahan kaum anarkis Amerika Utara dan Selatan juga berhasil dalam mengorganisir serikat-serikat sindikalis. Hampir semua negara industri memiliki gerakan sindikalis, meskipun Eropa dan Amerika Selatanlah yang terbesar dan terkuat. Serikat-serikat ini diatur dalam tata cara konfederasi dari bawah ke atas disepanjang garis anarkis. Mereka melawan kapitalis dari hari ke hari dengan isu-isu utama upah dan kondisi lebih baik, namun mereka juga berusaha menghancurkan kapitalisme melalui pemogokan umum revolusioner.

Teknik-teknik organisasional kaum anarkis mendorong partisipasi anggota, pemberdayaan dan militansi, dan bahwa mereka juga  berhasil dalam melakukan perlawanan untuk memperbaiki dan meningkatkan kesadaran kelas, dapat dilihat dalam pertumbuhan serikat-serikat anarko sindikalis dan pengaruh mereka pada gerakan buruh. Pekerja Industri se-Dunia, sebagai contoh, masih diilhami aktifis-aktifi serikat dan telah, sepanjang sejarah, menyediakan banyak slogan dan lagu-lagu serikat.

Sebagian besar serikat sindikalis telah beberapa kali ditekan selama perang dunia pertama, namun dalam tahun-tahun pasca perang mereka mencapai puncak. Gelombang militansi ini di kenal sebagai tahun-tahun merah di Italia, yang mencapai puncaknya dengan penguasaan pabrik (lihat A.5.5 kaum anarkis dalam penguasaan pabrik di Italia). Namun ditahun-tahun ini juga terjadi kerusakan serikat-serikat dari negara satu ke negara lain. Di satu sisi, keberhasilan yang tampak dari revolusi Rusia membuat banyak aktifis berbalik ke politik otoriter. Partai-partai komunis dengan sengaja menghancurkan serikat-serikat liberal, dengan mendorong pertikaian dan perpecahan. Namun, yang lebih penting lagi, pada tahun-tahun ini kapitalisme menjadi ofensif dengan sebuah senjata baru– fasisme. Fasisime muncul di Italia dan Jerman sebagai suatu usaha oleh kapitalisme untuk menghantam secara fisik meluasnya organisasi-organisasi kelas pekerja yang telah terbangun. Dalam kedua negara ini, kaum anarkis dipaksa masuk ke dalam penajara, dilenyapkan dari pandangan, atau menjadi korban pembunuhan atau kamp-kamp konsentrasi. Di Amerika Serikat, IWW dihantam oleh gelombang represi yang sepenuhnya dibackingoleh media, negara, dan kelas kapitalis.

Namun di Spanyol, CNT, serikat anarko sindikalis terus berkembang, dan megkalim anggotanya sebanyak satu setengah juta di tahun 1936. Kelas kapitalis mendukung fasisme untuk menyelamatkan kekuasaan mereka dari orang-orang miskin, yang percaya akan kekuasaan dan hak mereka untuk mengatur kehidupan mereka (lihat A.5.6 anarkisme dan revolusi Spanyol). Di tempat lain, kaum kapitalis mendukung negara-negara otoriter untuk menghancurkan gerakan buruh dan membuat negara mereka aman bagi tumbuhnya kapitalisme. Hanya Swedia yang tidak terpengaruh akan tren ini, di mana serikat sindikalis SAC masih tetap mengorganisir pekerja (dan, pada kenyataannya, seperti halnya serikat-serikat sindikalis lainnya, tumbuh karena para pekerja meninggalkan serikat-serikat birokratik di mana para pemimpinnya tampak lebih tertarik untuk melindungi hak istimewa mereka daripada membela anggota mereka).

A.5.4 Kaum anarkis dalam revolusi Rusia

Revolusi Rusia 1917 memperlihatkan perkembangan luar biasa anarkisme di negara itu dan banyaknya eksperimen dalam gagasan-gagasan kaum anarkis. Namun demikian, dalam budaya rakyat revolusi Rusia tidak dilihat sebagai gerakan massa dengan perjuangan rakyat biasa demi kebebasan namun sebagai sarana yng digunakan Lenin untuk memaksakan kediktaktorannya di Rusia. Revolusi Rusia, seperti sejarah pada umumnya, merupakan contoh yang baik dari pepatah “sejarah ditulis oleh mereka yang menag”. Baik sejarah kapitalis maupun Leninis pada periode antara 1917-1921 mengabaikan apa yang disebut oleh seorang anarkis yaitu Voline sebagai “revolusi yang tak diketahui”— revolusi yang muncul dari bawah oleh aksi rakyat biasa.

Penggulingan Tsar awalnya datang dari aksi langsung massa, dan revolusi berlangsung dalam tingkat akar rumput hingga negara “sosialis” baru cukup kuat untuk menghentikannya. Bagi kaum kiri, berakhirnya Tsarisme adalah titik kulminasi tahun-tahun perjuangan kaum sosialis dan anarkis di manapun, yang menggambarkan sayap progresif pemikiran manusia yang mengakhiri penindasan tradisional, dan juga diinginkan oleh kaum kiri di seluruh dunia.

Di tempat kerja, jalanan, dan lahan , semakin banyak rakyat yang diyakinkan bahwa penghapusan feodalisme secara politik tidak cukup. Penggulingan Tsar membuat perbedaan kecil yang nyata jika eksploitasi feodal masih tetap ada dalam perekonomian, sehingga para pekerja bersiap merebut tempat kerjanya dan petani merebut lahannya. Di seluruh Rusia rakyat biasa mulai membangun organisasi, serikat, koperasi, komite dan dewan pabrik (atau “soviets” dalam bahasa rusia) sendiri. Organisasi-organisasi ini awalnya diatur dalam model anarkis, dengan delegasi yang dapat direcall dan terfederasi satu sama lain.

Kaum anarkis ikut serta dalam gerakan ini, mendorong semua kecenderungan untuk mengelola dirinya sendiri. seperti catatan Jacques Sadoul (seorang pejabat Perancis) di awal 1918:

“Kelompok anarkis paling aktif, paling militan diantara kelompok-kelompok oposisi dan mungkin yang paling merakyat…. Kaum Bolshevik merasa cemas.” (dikutip oleh Daniel Guerin, Anarchism, hal. 95-96)

Kaum anarkis aktif, khususnya, dalam gerakan untuk pengelolaan sendiri para pekerja terhadap produksi (lihat M. Brinton, The Bolsheviks and Worker Control).

Namun di awal 1918, kaum sosialis otoriter dalam partai Bolshevik, setelah merebut kekuasaan, mulai menekan secara fisik kaum anarkis yang menjadi musuh mereka. Awalnya, kaum anarkis mendukung Bolshevik, karena para pemimpin Bolshevik menyembunyikan ideologi pembentukan negara mereka dibalik dukungan mereka terhadap soviets.

Namun, dengan cepat dukungan ini “memburuk” ketika Bolshevik menunjukkan bahwa mereka, pada kenyataannya tidak mengusahakan sosialisme sejati melainkan malah menyelamatkan kekuasaan untuk diri sendiri dan bukan mendorong kepemikikan kolektif atas tanah dan sumber-sumber produktif melainkan untuk kepemilikan pemerintah. Kaum Bolshevik sebagai contoh, secara sistematik menghancurkan gerakan kontrol para pekerja, meski mereka telah berhasil meningkatkan produksi di dalam keadaan yang sulit.

Lenin menekan kontrol para pekerja atas dasar yang tidak masuk akal bahwa hal itu akan mengurangi produktifitas buruh– suatu argumen yang kemudian akan tampak salah jika melihat kasus-kasus di mana kontrol pekerja dibangun. (lihat bagian C.2.4) Menarik untuk dicatat, bahwa pembela kaum kapitalis saat ini, yang seringkali mengkalim kontrol pekerja akan mengurangi produktifitas, secara aktual menggunakan argumen Leninis yang tidak relevan.

Meski menghapuskan gerakan kontrol pekerja, kaum Bolsheviks juga secara sistematik menghalangi, menangkapi dan membunuhi lawan-lawan mereka yang paling vokal, kaum anarkis, seperti halnya membatasi kebebasan massa yang mereka klaim akan dilindungi. Serikat independen, partai-partai politik, hak untuk melakukan pemogokan, pengelolaan sendiri dalam tempat kerja dan lahan–semua dihansurkan atas nama “sosialisme”. Bagi orang dalam, revolusi telah mati beberapa bulan setelah Bolshevik mengambil alih. Bagi dunia luar, Bolsheviks dan Uni Sovyet menggambarkan “sosialisme” bahkan ketika mereka secara sistematis menghancurkan basis sosialisme dunia. Kaum Bolesheviks membasmi elemen-elemen sosialis liberal dalam negara mereka, dengan memadamkan pemberontakan dan di Ukrania mempercepat kematia sosialisme dan penakhlukan sovyets.

Pemberontakan Kronstatd Februari 1921, bagi anarkis, merupakan sesuatu yang sangat penting. Karena pemberontakan tersebut pemberontakan besar pertama oleh rakyat biasa untuk sosialisme dunia.

“Kronstatd adalah usaha pertama yang benar-benar independen dari rakyat untuk memerdekakan dirinya dari semua kontrol dan mengadakan revolusi sosial: usaha ini dibuat secara langsung …oleh kelas pekerja sendiri tanpa pemandu politis, tanpa pemimpin, atau pembimbing.” (Voline, The Unknown Revolution, dikutip oleh Guerin, Ibid., hal. 105)

Di Ukrania, gagasan kaum anarkis sebagian besar sukses diterapkan. Di wilayah di bawah perlindungan gerakan Makhnovis, orang-orang kelas pekerja mengorganisir kehidupan mereka sendiri secara langsung, bedasarkan pada pemikiran dan kebutuhan mereka–penentuan sendiri kehidupan sosial mereka. Di bawah kepemimpinan Nestor Makhno, petani yang menndidik dirinya sendiri, gerakan tidak hanya berjuang melawan kediktatoran merah dan putih nemun juga melawan nasionalis Ukrania.

Dalam perlawanan terhadap apa yang disebut “penentuan sendiri nasib bangsa”, contohnya negara Ukrania baru, Makhno malah membangkitkan penentuan nasib sendiri kelas pekerja di Ukrania dan seluruh dunia. Kaum Makhnovis mengorganisir konferensi pekerja dan petani (beberapa kaum Bolshevik mencoba mengahlanginya) seperti halnya soviets, serikat-serikat, dan komune-komune yang bebas. Makhno dikenal sebagai Robin Hood” Ukraina.

Kaum Makhnovis berargumen bahwa “kebebasan para pekerja dan petani adalah miliknya, dan bukannya patuh pada batasan apapun. Terserah pada pekerja dan petani untuk melakukan tindakan, mengatur dirinya sendiri, memberikan kesepakatan di antara kalangan mereka sendiri dalam semua aspek kehidupan, karena mereka melihatnya bermanfaat dan sesuai keinginan…Kaum Makhnovis tak dapat lagi melakukan sesuatu yang memberikankan bantuan dan nasihat…Dalam keadaan apapun mereka tidak akan, ataupun ingin, memerintah.” (Peter Arshinov, dikutip oleh Guerin, ibid., hal. 99)

Di Alexandrovsk, kaum Bolshevik memberika  tawaran pada aksi Makhnovis– Revkom (Komite revolusioner) akan mengurus masalah politik dan Makhnovis yang mengurus militer. Makhno menyuruh mereka “untuk pergi dan menjalankan perdagangan yang jujur dari pada berusaha memaksakan kehendak mereka pada pekerja,” (Peter Arshinov, dalam The Anarchist Reader, hal 141)

Kaum Makhnovis menolak kecurangan Bolshevik dalam soviet dan malah menganjurkan “sistem soviet yang benar-benar independen dan bebas bagi rakyat pekerja tanpa kekuasaan dan hukum yang sewenang-wenang.” Proklamasi mereka menyatakan bahwa “simgkatnya rakyat pekerja sendiri harus bebas memilih sovietnya, yang melaksanakan kehendak dan keinginnan rakyat pekerja. Bersifat ADMINISTRATIF, bukan menguasai soviet.” Secara ekonomi, kapitalisme tidak akan dihapuskan bersama negara–lahan dan tempat kerja harus dimiliki oleh kaum pekerja , oleh mereka yang bekerja di dalamnya, singkatnya, tanah dan tempat kerja harus dijadikan milik sosial.” (the History of the Makhnovis Movement, hal 271,273)

Eksperimen kaum anarkis mengenai pengelolaan sendiri di Ukraina berakhir dengan pertumpahan darah ketika kuam Bolshevik menyerang kaum Makhnovis (bekas sekutu mereka dalam melawan “kaum putih”, atau pro Tsar) saat mereka tidak lagi terlalu dibutuhkan.

Gerakan terakhir kaum anarkis sebelum tahun 1987 dilaksanakan di Moskow dan  mengambil tempat di pemakaman Kropotkin tahun 1921, ketika sepuluh ribu kaum anarkis brbaris di belakan petinya. Banyak dari mereka yang dibebaskan dari penjara untuk hari itu dan dibunuh oleh pengikut Lenin pada tahun berikutnya. Sejak tahun 1921, kaum anarkis mulai menggambarkan uni soviet sebagai bangsa “kapitalis negara” untuk menunujukkan bahwa meski majikan individu telah dihapus, birokrasi negara Soviet memainkan peran yang sama seperti halnya majikan-majikan individu di Barat. Sebagai tambahan informasi mengenai revolusi Rusia dan peranan yang dimainkan oleh kaum anarkis, berikut adalah buku-buku yang direkomendasikan: The Unknown Revolution karya Voline; The Guillotine at Work karya G.P Maximov; The Bolshevik Myth dan The Russian Tragedy karya Alexander Berkman; The Bolshevik snd Workers Control karya  M. Brinton; The Kronstadt Uprising karya Ida Mett; The History of the Makhnovis Movement karya Peter Arsinov. Banyak dari buku-buku ini ditulis oleh kaum anarkis yang aktif selama revolusi, banyak juga yang dipenjarakan oleh Bolshevik dan dideportasi ke Barat  karena tekanan internasional yang digunakan oleh wakil-wakil anarko sindikalis di Moskow yang mana kaum Bolshevik selalu berusaha mengalahkannya demi Leninisme. Mayoritas delegasi ini tetap membenarkan politik liberal mereka dan meyakinkan serikat-serikat mereka untuk menolak Bolshevikisme dan memutuskan hubungan dengan Moskow. Sejak awal 1920-an semua konfederasi serikat anarko sindikalis telah bergabung dengan kaum anarkis untuk menolak “sosialisme” di Rusia karena hal tersebut mereka  nilai sebagai kapitalisme negara dan kediktaktoran partai.

A.5.5 Kaum anarkis dalam penguasaan pabrik di Italia

Setelah Perang Dunia Kedua berakhir terdapat radikalisasi besar-besaran di seluruh Eropa dan dunia. Keanggotaan serikat meledak, dengan pemogokan, demonstrasi dan agitasi yang mencapai tingkat masif. Hal ini sebagian berhubungan dengan perang, dan sebagian berhubungan dengan kesusksesan revolusi Rusia. Keantusiasan ini bagi revolusi Rusia bahkan dicapai seorang anarkis individualis seperti Joseph Labadie. yang seperti kaum anarkis lainnya, melihat “merah di timur (yang memberi) harapan bagi hari yang lebih cerah” dan kaum Bolshevik karena membuat “yang usaha patut dipuji setidaknya mencoba beberapa macam jalan untuk keluar dari neraka perbudakan industri.” (dikutip oleh Carlotta R. Anderson, All-American Anarchist, hal. 225 dan 241)

Di seluruh Eropa, gagasan kaum anarkis menjadi lebih popular lagi dan serikat-serikat anarko sindikalis tumbuh besar. Contohnya di Inggris, pergolakan menghasillkan gerakan pelayan toko dan pemogokan di Cydeside; di Jerman, muncul IWW yang terilhami oleh perserikatan indusrti dan bentuk liberal dari Marxisme yang disebut “Komunisme Dewan”, di Spanyol muncul pertumbuhan besar-besaran dalam anarko sindikalis CNT. Sebagai tambahan, sayangnya, selain itu juga muncul bangkitnnya dan perkembangan partai-partai komunis dan sosial demokratik. Italia tidak terkecuali.

Pada bulan Agustus 1920, terdapat pemogokan dalam skala besar di Iitalia untuk menanggapi pemotongan gaji dan pelarangan bekerja. Pemogokan ini dimulai di pabrik-pabrik mesin dan dengan segera menyebar ke jalan-jalan kereta api, transportasi darat, dan perusahaan lainnya, dengan petani yang menguasai lahan. Namun demikian, pemogok tak hanya sekedar menguasai tempat kerja mereka, mereka menempatkan dirinya di dalam pengelolaan sendiri para pekerja. Segera lebih dari 500.000 “pemogok” bekerja, memproduksi untuk dirinya sendiri. Errico Malatesta, yang turut serta dalam peritiwa ini, menulis:

“Pekerja baja memulai gerakan untuk kenaikan gaji. Pemogokan ini merupakan pemogokan jenis baru. Daripada meninggalkan pabrik, gagasannya adalah tetap di dalam tanpa bekerja…Sepanjang Italia terdapat sebuah semangat revolusioner di antara para pekerja dan dengan segera menuntut perubahan peran mereka. Para pekerja berpikir bahwa momen sekali ini siap untuk mengambil kepemilikan (dan) untuk alat produksi. Mereka bersenjata untuk bertahan… dan mulai mengatur produksi sendiri… Pada kenyataannya hal ini merupakan penghapusan hak kepemilikan…; sebuah rejim baru, bentuk baru kehidupan sosial sedang dihantarkan. Dan pemerintah dibiarkan tetap berdiri karena dirasa tidak mampu memberikan perlawanan.” (Life and Ideas, hal. 134)

Selama periode ini, Serikat Sindikalis Italia (USI) tumbuh pesat, anggotanya hampir mencapai satu juta orang dan pengaruh  Serikat Anarkis Italia (UAI) dengan 20.000 orang anggotanya dan koran harian (Umanita Nova) juga mengalami hal yang sama. Seperti kata sejarawan marxis Welsh Gwyn A. Williams “Kaum anarkis dan sindikalis revolusioner merupakan kelompok kiri yang paling konsisten dan revolusioner secara total…ciri yang paling jelas dari sejarah sindikalisme dan anarkisme di tahun 1919-1920: terus menerus tumbuh secara cepat dan benar…Kaum sindikalis mampu mengartikulasikan pendapat dari kelas pekerja militan, sementara gerakan sosialis gagal melakukannya.” (Proletarian Order, hal.194-195)

Daniel Guerin memberikan kesimpulan yang menarik mengenai perluasan gerakan :

“Pengelolaan pabrik… dikerjakan oleh komite pekerja administratif dan teknis. Pengelolaan mandiri sunguh-sungguh menempuh jalan yang panjang: dalam awal periode bantuan didapat dari bank, namun ketika bantuan itu ditarik mundur, sistem pengelolaan tersebut mengeluarkan uang sendiri untuk membayar upah pekerja. Disiplin diri yang sangat ketat dibutuhkan, penggunaan minuman beralkohol dilarang, dan patroli bersenjata diorganisir sebagai pertahanan diri. Solidaritas yang sangat erat terjalin di antara pabrik-pabrik di bawah pengelolaan mandiri. Bijih besi dan batu bara dijadikan milik kelompok dan dibagi dengan adil.” (Anarkisme, hal 109)

Semua perusahaan yang dikuasai mengibarkan “bendera-bendera merah hitam” karena “gerakan dewan di luar Turin secara esensial merupakan anarko sindikalis.” (Williams, op.cit., hal 241,193) Pekerja kereta api menolak membawa pasukannya, pekerja melakukan pemogokan melawan tatanan serikat reformis dan para petani menguasai lahan. Kegiatan seperti itu, baik dipimpin secara langsung maupun tidak, terinspirasi oleh anarko sindikalis.” (ibid., hal 193) Hal ini tidak mengherankan karena “penguasaan pabrik-pabrik dan lahan sangat sesuai dengan program aksi kita.” (Malatesta, op.cit., hal 135)

Namun, setelah empat minggu penguasaan, para pekerja memutuskan meninggalkan pabrik-pabrik. Hal ini terjadi karena tindakan partai sosialis dan serikat-serikat dagang reformis. Mereka melawan gerakan dan bernegosiasi dengan negara untuk kembali ke dalam “keadaan normal” dan ditukar dengan  janji meningkatkan kontrol pekerja segara sah, dalam hubungannya dengan para majikan. Janji ini tidak ditepati. Kurangnya organisasi antar pabrik yang independen membuat para pekerja tergantung pada birokrat serikat dagang untuk informasi mengenai apa yang terjadi di kota lain, dan mereka menggunakan kekuasaan ini untuk mengisolasi pabrik, kota, dan pabrik-pabrik lainnya. Hal ini membuat mereka kembali bekerja, “meski perlawanan dari anarkis individu disebarkan diantara pabrik-pabrik. Konfederasi serikat sindikalis lokal tidak mampu memberikan kerangka kerja yang dibutuhkan bagi gerakan penguasaan yang terkoordinasi secara penuh, hal ini disebabkan karena serikat-serikat reformis menolak untuk bekerja bersama mereka; dan meski kaum anarkis adalah minoritas yang besar, mereka tetaplah minoritas.

Perode sejarah Italia ini menjelaskan pertumbuhan fasisme di Italia. Seperti yang dijelaskan oleh Tobias Abse, “bangkitnya fasisme di Italia tak dapat dilepaskan dari peristiwa biennio rosso, dua tahun yang merah 1919 dan 1920 yang mendahuluinya. Fasisme merupakan suatu counter revolusi yang preventif… dilancarkan sebagai hasil dari revolusi yang  gagal” (“The Rise of Facism in an Industrial City”, hal 54, dalam Rethinking Italian Facism, David Forgacs (ed.), hal 52-81). Term “counter revolusi yang preventif” asalnya diciptakan oleh pemimpin anarkis Luigi Fabbri.

Seperti pendapat Malatesta pada saat penguasaan pabrik,  “jika kita tidak mencapai tujuan, kita akan membayarnya dengan air mata darah atas ketakutan karena kita masih ada dalam masyarakat borjuis.” (dikutip oleh Tobias Abse, op.cit., hal 66) Peristiwa-peristiwa selanjutnya membuktikan bahwa ia benar, karena kaum kapitalis dan para pemilik tanah yang kaya ada di belakang kaum fasis untuk memberi pelajaran kepada kelas pekerja di tempat mereka. dalam kata-kata Tobis Abse:

“Tujuan kaum fasis dan mereka yang ada dibelakangnya seperti para industrialis dan pemilik tanah di tahun 1921-1922 adalah sederhana: menghancurkan kekuatan pekerja dan petani yang terorganisir, sebisa mungkin, untuk menyapu bersih, dengan peluru dan pentungan, bukan hanya yang dicapai oleh para ‘biennio rosso’, namun semua yang dicapai oleh kelas yang lebih bawah… antara peralihan abad dan Perang Dunia Pertama.” (Op. Cit., hal. 54)

Pasukan fasis menyerang dan menghancurkan tempat-tempat pertemuan, pusat-pusat sosial, pers-pers radikal kaum anarkis beserta kaum sosialis dan Camera del Lavoro (dewan-dewan serikat perdagangan lokal). Namun, bahkan dalam hari-hari kegelapan yang penuh dengan teror fasis, kaum anarkis melawan kekuatan totalitarianisme. “Bukan suatu kebetulan bahwa resistansi kelas pekerja yang paling kuat terhadap fasisme berada…di desa atau kota yang memiliki tradisi anerkis, sindikalis atau anarko sindikalis yang kuat.” (Tobias Abse, Op. Cit., hal.56)

Kaum anarkis ikut serta di dalam, dan seringkali mengorganisir bagian-bagian, Arditi del Popolo, organisasi kelas pekerja yang mengabdikan diriny pada pertahanan diri kepentingan kelas pekerja. Arditi del Popolo mengorganisir dan mendorong resistansi kelas pekerja terhadap pasukan kaum fasis., seringkali mengalahkan kekuatan fasis yang lebih besar (sebagai contoh, “Penghinaan total terhadap ribua pasukan Italo Balbo oleh beberapa ratus Arditi del Papolo yang dibacking oleh penduduk distrik kelas pekerja” dalam kubu kaum anarkis di Parma pada bulan Agustus 1922 [Tobias Abse, Op. Cit., hal. 56])

Arditi del Papolo merupakan kelompok Italia yang paling dekat dengan gagasan kesatuan, front kelas pekerja revolusioner melawan fasisme, seperti yang telah disarankan oleh Malatesta dan UAI. Gerakan ini “membangun garis-garis anti borjuis dan anti fasis, serta ditandai dengan kebebasan wilayah-wilayah lokal.” (Red Years, Black Years: Anarchist Resistance to Facism in Italy, hal. 2) Arditi bukan hanya menjadi organisasi “anti fasis”, Arditi “bukanlah gerakan mempertahankan demokrasi yang abstrak, melainkan organisasi kelas pekerja yang dengan esensial mengabdikan dirinya pada mempertahankan kepentingan pekerja industri, buruh pelabuhan, sejumlah besar seniman dan pengrajin.” (Tobias Abse, Op.Cit., hal. 75)

Namun beik partai sosiali maupun komunis menarik diri dari organisasi tersebut. Kaum sosialis menandatangani “Pakta Pasifikasi” dengan kaum fasis pada bulan Agustus 1921. Kaum kommunis “lebih suka menarik mundur anggotanya dari Arditi del Papolo daripada membiarkan mereka bekerja dengan kaum anarkis” (Red Years, Black Years, hal. 17) Seperti yang dicatat Abse, “ Penarikan dukungan oleh kaum sosialis dan komunis pada tingkat nasional melumpuhkan” Arditi (Op. Cit., hal. 74). Para pemimpin kaum sosialis otoriter lebih memilih kalah dan menjadi fasisme daripada pengikut mereka “terifeksi” oleh anarkisme. Jadi, “kekalahan reformis sosialis dan sektarianisme komunis menjadikan tidak mungkin terbentuknya oposisi bersenjata yang memperluas dan karenanya efektif; dan hal-hal yang terisolasi dari reistensi rakyat tak dapat disatukan dalam strategi yang berhasil.” (Red Years, Black Years, hal 3).

Akhirnya kekerasan kaum fasis berhasil dan kaum kapitalis dapat mempertahankan kekuasaannya:

“Kehendak dan kebenarian kaum anarkis tidak cukup untuk melawan kaum fasis, yang diperkuat dengan bantuan materi dan senjata, didukung oleh organ-organ represif negara. Kaum anarkis dan anarko sindikalis bersikap tegas dalam beberapa wilayah dan industri, tetapi fasisme hanya dapat dihentikan dengan kesamaan pilihan untuk aksi langsung dari partai sosialis dan Konfederasi Umum Buruh (serikat dagang refoormis).” (op.cit., hal 1-2)

Setelah membantu mengalahkan revolusi, kaum marxis membantu memastikan kemenangan fasisme.

Bahkan setelah negara fasis terbentuk, kaum anarkis melakukan perlawanan baik di dalam mupun diluar Italia. Banyak orang Italia baik kaum anarkis maupun non-anarkis, melawat ke Spanyol untuk melawan Franco di tahun 1936 (lihat Remembering Spain: Italian Anarchist Volunteers in the Spanish Civil War karya Umberto Marzochhi untuk lebih jelasnya). Selama perang dunia kedua, kaum anrkis memainkan peran utama dalam gerakan Partisan Italia. Sudah menjadi kenyataan bahwa gerakan anti fasis yang didominasi oleh elemen -elemen anti kapitalis telah membuat Amerika dan Inggris menempatkan tokoh` fasis terkenal dalam posisi pemerintahan di tempat-tempat yang  mereka “rebut” (seringkali di kota yang telah dikuasai partisan, mengakibatkan pasukan sekutu “membebaskan” kota itu dari penduduknya sendiri!).

Mengetahui sejarah perlawanan fsisme di Italia, hal yang mengejutkan bahwa beberapa fasisme italia merupakan hasil atau bentuk sindikalisme. Bahkan hal ini juga diklaim  oleh beberapa anrkis. Menurut Bob Black “Kaum sindikalis sebagian besar beralih ke fasisme”, dan ia juga mereferensikan The Syndicalist Tradition and Italian Fascism karya David D. Roberts 1979 untuk mendukung klaimnya. Peter Sabatini dalam tulisannya pada Social Anarchism membuat pernyataan yang sama, dengan mengatakan bahwa “kegagalan utama” sindikalisme adalah bahwa “transformasinya menjadi kendaraan fasisme.” (Social Anarchim, no. 23, hal.99) Sejauh mana kebenaran  klaim-klaim ini?

Melihat referensi Black, kita ketahui bahwa pada kenyatannya sebagian besar sindikalis Italia tidak beralih ke fasisme, di sini yang  dimaksud dengan sindikalis adalah angota-anggota USI (Serikat Sindiklis Italia). Roberts menyatakan bahwa:

“Mayoritas dari pekerja yang terorganisir gagal menanggpi seruan kaum sindikalis dan terus melawan interveensi (Italia dalam perang dunia I), menghindari apa yang tampak sebagai perang kapitalis semata. Kaum sindikalis sama sekali gagal dalam meyakinkan mayoritas dalam USI…Mayoritas memilih netralisme Armando Borghi, pemimpin kaum anarkis dalam USI. Perpecahan terhadi ketika De Ambris memeimpin minoritas intervensionis keluar dari konfederasi.” (The Syndicalis Tradition and Italian Fascism, hal. 113).

Namun, jika kita mengartikan “sindikalis” dengan para “pemimpin” dan intelektul gerakan sebelum perang, yang terjadi adalah “mereka memimpin kaum sindikalis untuk segera keluar dari intervensi dan disetujui hampir dengan suara bulat” (Roberts, op.cit., hal.106) setelah perang dunia dimulai. Banyak dari “pemimpin sindikalis” yang pro perang menjadi fasis. Namun, hanya dengan melihat pada sedikit “pemimpin” tersebut  (orang-orang yang bahkan tidak diikuti oleh mayoritas!) dan kemudian memberi pernyataan bahwa hal ini menunjukkan  “sebagian besar kaum sindikalis Italia berbalik ke fasisme” sungguh aneh untuk dipercaya. Padahal, seperti yang tampak di atas, kaum anarkis dan sidikalis Italia adalah pejuang-pejuang yang sukses dan paling berdedikasi dalam melawan fasisme. Akibatnya, Black dan Sabatini telah memfitnah seluruh gerakan.

Hal yang juga menarik adalah bahwa “para pemimipion sindikalis ini bukan anarkis dan juga bukan anarko sindikalis sepertii tulisan Roberts “kaum sindikalis sesungguhnya ingin– dan mencoba– bekerja di dalam tradisi marxis.” (op.cit.,hal 79) Menurut Carl Levy, dalam tulisannya mengenai anarkisme Italia, “tak seperti gerakan sindikalis lainnya, gerakan sindikalis di Italia memadukan macam-macam kelompok dalam partai Internasional Kedua. Pendukungnya secara terpisah darikaum sosialis yang memiliki pendirian  kukuh … intelektual sindikalis selatan yang menyatakan diri republikanisme… Komponen lain… merupakan sisa dari Partito Operaio.” (“Italian Anarchism : 1870-1926” dalam For Anarchism: History, Theory, and Practice, David Goodway (ed), hal 51)

Dengan kata lain kaum sindikalis Italia yang berbalik ke fasisme merupakan, pertama, minoritas kecil intelektual yang tak dapat meyakinkan mayoritas di dalam serikat sindikalis untuk mengikutinya, dan kedua, kaum marxis dan republik, dan bukannya kaum anarkis, anarko sindikalis atau malah sindikalis revolusioner.

Menurut Carl Levy, karya Roberts “hanya melihat cendekiawan sindikalis” dan bahwa “beberapa intelektual sindikalis… membantu memunculkan, atau secara simpatik menyokong, gerakan nasionalis baru… yang mempertahankan kesamaan retorika republik dan kerakyatan dari intelektual-intelektual sindikalis selatan.” Ia berpendapat bahwa terdapat “penekanan yang terlalu jauh pada pengatur nasional dan intelektual-intelektual sindikalis” dan bahwa sindikalisme “sedikit mengandalkan kepemimpinan nasional untuk vitalitas jangka panjang.” (Op. Cit., hal 77, hal. 53, dan hal. 51) Jika benar-benar mencermati keanggotaan USI, kita tidak akan menemukan kelompok yang sebagian besar anggotanya berbalik ke fasisme, melainkan sekelompok orang yang berjuang mati-matian melawan fasisme dan yng patuh kepada kekerasan fasisme yang luas.

Sebagai kesimpulan, fasisme Italia tidak melakukan apapun terhadap sindikalisme dan, seperti yang terlihat di atas, USI melawan kaum fasis dan dihancurkan olehnya bersama dengan UAI, partai sosialis, dan kaum radikal lainnya. Bahwa sejumlah kecil kaum sindikalis marxis masa sebelum perang di kemudian hari menjadi fasis dan meminta sebuah “sindikalisme naasional” tidak berarti bahwa sindikalisme dan fasisme behubungan (beberapa orang anarkis yang kemudian menjadi marxis menjadikan anarkisme sebagai “kendaraan” bagi Marxisme!)

Tidak terlalu mengejutkan bahwa kaum naarkis merupakan musuh fasisme yang pling sukses dan konsisten. Dua geraakn tak dapat dipisahkan lebih jauh lagi, yang satu hadir  melawan negara-isme yang membantu kapitalisme sedangkan yang lain untuk masyarakat non kapitalis yang bebas. Tidak pula mengejutkan bahwa ketika hak istimewa dan kekuasaan mereka sedang dalam bahaya, kaum kapitalis dan para pemilik tanah berbalik ke fasisme untuk menyelamatkannya. Proses ini merupakan ciri umum dalam sejarah (contohnya Italia, Jerman, Spanyol dan Chili).

A.5.6 Anarkisme dan revolusi Spanyol

Spanyol di tahun 1930-an memiliki gerakan anarkis terbesar di dunia. Pada aawal perang “sipil” Spanyol, lebih dari satu setengah juta pekerja dan petani yang menjadi anggota CNT (Konfederasi Nasional Buruh), sebuah federasi serikat anarko sindikalis, dan 30.000 orang menjadi anggota FAI (Federasi Anarkis Iberia). Saat itu jumlah populasi di Spanyol 24 juta.

Revolusi sosial menghadapi kudeta kaum fasis 18 Juli 1936 adalah eksperimen terbesar sosialisme liberal hingga saat ini. Di sini massa serikat sindikalis yang terakhir, CNT, tidak hanya mencegah kebangkitan kaum fasis melainkan juga mendorong meluasnya pengambilalihan tanah dan pabrik. Lebih dari 7 juta orang, termasuk 2 juta anggota CNT, mempraktekkan pengelolaan mandiri dalam keadaan yang paling sulit dan secara aktual memperbaiki kondisi kerja sekaligus hasil produksi.

Dalam suasana yang panas setelah 19 Juli, inisiatif dan kekuasaan benar-benar terletak di tangan rakyat jelata anggota CNT dan FAI. Memang rakyat biasalah, tanpa diragukan lagi dibawah pengaruh Faistas (anggota FAI) dan militan CNT, yang setelah mengalahkan kebangkitan kaum fasis, memulai kembali proses produksi, distribusi, dan konsumsi (di bawah susunan yang lebih egaliter tentunya), seperti halnya mengorganisir dan dengan sukarela (sekitar 10.000-an) bergabung dengan milisi-milisi, untuk dikirim membebaskan daerah-daerah Spanyol yang masih berada di bawah kekuasaan Franco. Dalam setiap cara yang mungkin, kelas pekerja Spanyol dengan usaha mereka sendiri menciptakan dunia baru yang didasarkan pada cita-cita mereka mengenai kebebasan dan keadilan sosial– cita-cita ini terinspirasi, tentu saja, oleh anarkisme dan anarko sindikalisme.

Laporan saksi mata, George Orwell, mengenai semangat revolusioner di Barcelona pada akhir Desember 1936, memberikan gambaran jelas mengenai transformasi sosial yang telah dimulai:

“Kaum anarkis masih mengendalikan Catalonia dan revolusi masih dalam ayunan penuh. Bagi siapapun yang ada di sana sejak awal mula mungkin mengira periode revolusioner akan berakhir pada bulan desember atau Januari; ketika seseorang datang langsung dari Inggris aspek Barcelona tampak sebagai sesuatu yang mengejutkan dan luar biasa. Saat itu adalah saat pertama kalinya saya tiba di kota di mana kelas pekerja sedang berkuasa. Otomatis, setiap gedung ukuran apapun telah dikuasai oleh pekerja dan dihias dengan bendera merah atau bendera merah hitam milik kaum anarkis; setiap tembok digambari dengan gambar palu dan arit serta inisial kelompok-kelompok revolusioner; hampir setiap gereja dimusnahkan dan lambang-lambangnya dibakar. Di mana-mana gereja secara sistematis dihancurkan oleh kelompok pekerja. Setiap toko dan kafe memiliki sebuah tanda bahwa tempat tersebut telah dijadikan milik bersama; bahkan tukang semir sepatu juga menjadi milik bersama. dan kotak-kotak mereka dicat merah dan hitam. Para pelayan dan pekerja toko menatap mukamu dan memperlakukanmu sebagai orang yang setara dengannya. Bentuk-bentuk ucapan yang merendahkan diri dan salam seremonial pelan-pelan dihapuskan. Tak ada yang berkata ‘senor’ atau ‘don’ atau bahkan ‘usted’; setiap orang memanggiil orang lain ‘kamerad’ atau ‘thou’, dan berkata ‘salam!’ bukan ‘selamat pagi’… Disamping itu semua, terdapat kepercayaan dalam revolusi dan masa depan, perasaan memiliki yang tiba-tiba muncul ke dalam era kesetaraan dan kebebasan. Manusia mencoba bertingkah laku sebagai manusia dan bukan sebagai tenaga penggerak di dalam mesin kapitalis.” (Homage to Catalonia, hal. 2-3)

Kebesaran revolusi bersejarah tidak dapat ditutupi di sini. bagian I.8 FAQ akan membicarakannya lebih lanjut. Yang dapat dilakukan hanyalah menyoroti beberapa poin mengenai kepentingan khusus dalam harapan bahwa hal-hal ini akan memeberikan beberapa petunjuk mengenai pentingnya peristiwa in dan mendorong rakyat untuk mengetahui lebih banyak lagi.

Semua industri da Katalonia ditempatkan di bawah pengelolaan mandiri atau kontrol pekerja (yaitu, mengambil lih semua aspek pengelolaan, dalam kasus pertama, atau hanya mengkontrol manajemen yang lama). Dalam beberapa ksus, seluruh ekonomi kota dan regional diubah ke dalam bentuk federasi atau kolektiv. Federasi jalan kereta api (yang berdiri untuk mengelola jalur rel kereta api di Catalonia, Aragon dan Valencia) dapaat dijadikan sebagai contoh khusus. Dasar federasi adalah majelis lokal:

“Semua pekerja dari masing-masing lokalitas bertemu dua kali seminggu untuk menguji semua hal yang menyangkut pekerjn yang telah dilakukan…Majelis umum lokl menamai komite untuk mengelola aktivitas umum dalam masing-masing stasiun dan yang telah dikuasainya. Pad pertemuan-pertemuan (ini), keputusan (peetunjuk) komite ini, di mana anggotanya terus bekerja (pada pekerjaan sebelumnya), akan patuh pada persetujuan tu ketidaksepakatan para pekerja, setelah memberikan laporan dan menjawab pertanyaan.”

Delegasi komite dapat diubah oleh majelis setiap saat dan badan koordinasi tertinggi dari federasi jalan kereta api adalah “komite revolusioner” , yang anggotanya dipilih oleh majelis serikat dalam beragam divisi. Kontrol terhadap jalur rel, Menurut Gaston Leval, “tidak dijalankan dari atas ke bawah seperti yang terjadi dalam sistem sentralisasi dan negara. Komite revolusioner tidak memiliki kekuasaan secamam itu… Anggota-anggota … komite bertugas mengawasi aktifitas umum dan mengkoordinasikan rute-rute yang berbeda sehingga membentuk suatu jaringan kerja.” (Gaston Leval, Collectives in the Spanish Revolution, hal.255)

Untuk lahan, puluhan ribu petani penggarap dan pekerja harian di pedesaan menciptakan perkumpulan yang dikelola sendiri dan bersifat sukarela. Kualitas kehidupan diperbaiki karena Cupertino memperkenalkan perawatan kesehata, pendidikan, mesin dan investasi dalam infrastruktur sosial. Seperti halnya dengan peningkatan produksi, perkumpulan meningkatkan kebebasan. Salah seorang anggota mengatakan, “sangat menyenangkan… hidup dalam suatu perkumpulan, suatu masyarakat bebas di mana seorang dapat mengatakan apa yang ia pikirkan, dan jika komite desa tampak tidak memuaskan orang dapat menegurnya. Komite tidak akan membuat keputusan besar tanpa mengumpulkan seluruh desa dalam majelis umum. Semua ini sangat menggumkan.” (Ronald Frazer, Blood of Spain, hal. 360)

Pada masalah sosial, organisasi anarkis membuat sekolah-sekolah yang rasional, pelayanan kesehatan liberal, pusat sosial, dan banyak lagi. Mujeres Libres (perempuan bebas) menyerang peran tradisional wanita dalam masyarakat Spanyol, dengan memberdayakan ribuan wanita baik di dalam maupun di luar gerakan anarkis (lihat The Free Women in Spain karya Martha A. Ackelsberg, untuk keterangan lebih lanjut mengenai organisasi yang sangat penting ini). Aktifitas ini pada masalah sosial hanyalah membangun kehidupan sosial, yang dimulai jauh sebelum perang, contohnya serikat-serikat seringkali mendanai sekolah-sekolah rasional, pusat-pusat kerja dan lain-lain.

Milisi sukarela yang pergi untuk membebaskan daerah-daerah lain di Spanyol dari kekuasaan Franco diorganisir dengan prinsip-prinsip anarkis dan mencakup baik pria maupun wanita. Tidak ada bawahan, salam seremonial, dan kelas perwira. Setiap orang setara. George Orwell, seorang anggota milisi POUM, menjelaskan hal ini:

“Poin esensial dari sistem (milisi) adalah kesetaraan sosial antara perwira dan serdadu. Setiap orang dari yang jenderal sampai prajurit biasa mendapat upah yang sama, makan makanan yang sama, mengenakan baju yang sama dan bergaul dalam term yang sungguh-sungguh menyetarakan. Jika kamu ingin menepuk punggung jenderal yang mengatur divisi dan meminta rokok padanya, hal tersebut dapat kamu lakukan, dan tak ada yang menganggapnya aneh. Dalam teori rata-rata masing-masing milisi bersifat demokratis dan bukan suatu hierarkis. Dapat dipahami jika perintah harus ditaati, namun juga dapat dimengerti bahwa ketika kamu memberi suatu perintah, kamu melakukannya sebagai kamerad ke kamerad dan bukan superior ke inferior. Terdapat perwira dan NCO namun tak ada pangkat-pangkat militer dalam arti yang umum; tak ada gelar, tak ada tanda pangkat, tak ada hentakan kaki dan hormat. Mereka berusaha menghasilkan semacam model kerja masyarakat tanpa kelas dalam milisi. Tentu saja tidak ada kesetaraan yang sempurna, namun setidaknya lebih mendekati kesetaraan dari yang selama ini pernah kulihat atau yang kupikir mungkin terjadi di waktu-waktu perang….” (op.cit., hal.26)

Namun di Spanyol, seperti di tempat-tempat lain, gerakan anarkis terjepit di antara Leninisme (partai komunis) dan kapitalisme (Franco) di pihak lain. Sayangnya kaum anarkis menetapkan dirinya sebagai kesatuan anti fasis sebelum revolusi,  hal tersebut memudahkan musuh-musuh mereka untuk mengalahkan anarkis dan revolusi. Apakah mereka dipaksa oleh keadaan untuk masuk ke dalam keadaan semacam itu atau mereka telah berhasil menghindarinya masih menjadi sesuatu yang diperdebatkan.

Laporan Orwell mengenai pengalamannya dalam milisi menunjukkan mengapa revolusi Spanyol begitu penting bagi kaum anarkis:

“Secara kebetulan aku telah  cukup terlibat ke dalam satu-satunya komunitas  di Eropa Barat dimana memiliki kesadaran politik dan ketidakpercayaan terhadap kapitalisme yang lebih baik dibandingkan lawan-lawan mereka. Di sini di Aragon, aku berada di antara puluhan ribu rakyat, yang umumnya berasal dari kelas pekerja, tinggal pada tingkat yang sama dan bergaul dalam kesetaraan. Secara teori hal tersebut merupakan kesetaraan yang sempurna, dan bahkan dalam prakteknya tidak jauh dari hal tersebut. Terdapat suatu pemikiran yang tepat untuk mengatakan bahwa seseorang yang mempunyai angan-angan tentang sosialisme sebelumnya, sehubungan dengan hal tersebut aku artikan, atmosfer mental yang ada adalah sosialisme. Banyak motif umum kehidupan peradaban — tinggi hati, mata duitan, takut kepada majikan, dll– telah benar-benar dihilangkan. Kelas biasa–pembagian masyarakat telah hilang ke dalam hal-hal yang hampir tak pernah dipikirkan dalam iklim Inggris yang telah ternodai uang; tak ada seorang pun kecuali petani dan kami sendiri di sana, dan tak seorang pun memiliki orang lain sebagai majikannya…Seseorang berada dalam komunitas di mana harapan merupakan hal biasa dibandingkan sikap apatis atau sinisme, dan kata ‘kamerad’ memang berarti pertemanan dan bukan, seperti di sebagian besar negara, berarti basa-basi. Orang menghirup udara kesetaraan. Aku benar-benar sadar bahwa sekarang ini ada kebiasaan untuk mengingkari bahwa sosialisme memiliki apapun yang dapat dikerjakan dengan kesetaraan. Dalam setiap negara di dunia  banyak orang partai dan profesor-profesor yang sedikit rapi sibuk “membuktikan” bahwa sosialisme memiliki arti tak lebih dari kapitalisme negara yang direncanakan dengan motif kiri yang dirampas secara utuh. Namun untungnya ada juga visi sosialime yang benar-benar berbeda dari arti tersebut. Hal yang menarik orang biasa kepada sosialisme dan membuat mereka rela untuk mengmbil resiko karenanya, “mistis” sosialisme adalah gagasan akan kesetaraan: bagi mayoritas rakyat, Sosialisme memiliki arti masyarakat tanpa kelas, atau berarti tak ada sama sekali… Dalam komunitas di mana tak ada seorang pun yang di perintah, di mana meski terjadi kekurangan apapun namun tak ada hentakan sepatu, seseorang dapat, barangkali, membuat ramalann kasar mengenai apa yang mungkin terjadi dalam tahap-tahap pembukaan sosialisme. Dan , bagaimanapun juga, hal tersebut lebih memunculkan rasa ketertarikanku daripada menguranginya…” (Op.Cit., hal. 83-84)

Untuk informasi lebih lanjut mengenai revolusi Spanyol, berikut ini adalah buku yang direkomendasikan: Lessons of the Spanish Revolution karya Jose Peirats; Free Women of Spain karya Martha Ackelsberg; The Anarchist Collectives dengan editor Sam Dolgoff; “Objectivity and Liberal Scholarship” karya Noam Chomsky (dalam Chomsky Reader); The Anarchist of Casas Viejas karya Jerome R. Mintz; dan Homage to Catalonia karya George Orwell.

A.5.7 Revolusi Mei-Juni di Prancis, 1968

Peristiwa Mei-Juni di Prancis menempatkan kembali anarkisme ke dalam dataran radikal setelah periode di mana orang menuliskan bahwa gerakan telah mati. Revolusi 10 juta orang ini berawal dari kerendahan hati. Setelah dikeluarkan dari Univertas Nanterre di Paris karena aktivitas anti perang Vietnam, sekelompok anarkis (termasuk Daniel Cohn-Bendit) mengadakan demonstrasi protes. Kehadiran 80 polisi membuat marah banyak mahasiswa, yang menghentikan kegiatan belajarnya untuk bergabung dalam perlawanan dan mengusir polisi dari universitas.

Terinspirasi oleh dukungan ini, kaum anarkis menguasai gedung administrasi dan mengadakan suatu debat massa. Penguasaan melebar, Nanterre dikepung oleh polisi dan penguasa menutup universitas. Hari berikutnya, mahasiswa Nanterre berkumpul di universitas Sorbonne di pusat kota Paris. Tekanan polisi yang terus menerus dan penangkapan lebih dari 500 orang menyebabkan meledaknya kemarahan dalam 5 jam pertempuran besar. Bahkan polisi di serang oleh orang-orang yang lewat dengan pentungan dan gas air mata.

Larangan untuk berdemonstrasi dan penutupan Sorbonne membuat ribuan mahsiswa turun ke jalan. Setelah polisi meningkatkan kekerasan yang memancing barisan pertama barikade, Jean Jacques Lebel, seorang reporter melaporkan bahwa pada jam satu malam, “ribuan oarng membantu membentuk barikade… wanita, pekerja, penonton, orang-orang yang berbaju piyama, rangkaian manusia yang membawa batu, besi.” Sepanjang malam pertempuran mengakibatkan 350 polisi terluka. Pada 7 Mei, barisan 50.000 orang yang memprotes polisi berubah menjadi pertempuran yang panjang dalam sehari di jalan-jalan sempit di perempatan Latin. Gas air mata polisi dibalas dengan molotov dan nyanyian “Hidup Paris Commune”

Pada 10 Mei demonstrasi massal yang masih terus berlangsung memaksa menteri pendidikan untuk memulai negosiasi. Namun, di jalan 60 barikade muncul dan para pekerja muda bergabung dengan mahasiswa. Serikat pekerja mengutuk kekerasan polisi. Demonstrasi besar-besaran di sepanjang Perancis mencapai titik kulminasinya pada tanggal 13 Mei dengan satu juta orang di jalanan Paris.

Menghadapi protes besar-besaran ini polisi meninggalkan perempatan Latin. Para mahasiswa menguasai Sorbonne dan membuat majelis massa untuk meluaskan perjuangan. Penguasaan dengan segera meluas ke setiap universitas Perancis. Dari Sorbonne datang banyak sekali propaganda, liflet, pernyataan, telegram, dan poster-poster. Slogan-slogan seperti “semuanya adalah mungkin”, “relistis, tuntut hal-hal yang tidak mungkin”, “hidup tanpa batas waktu”, “dilarang melarang”, ditempel ditembok-tembok. “Semua kekuasaan adalah imajinasi” diucapkan setiap orang. Seperti yang ditunjukkan Murray Bookchin, “motif kekuatan revolusi hari ini… adalah bukan sekedar ketakutan dan kebutuhan material, namun juga kualitas kehidupan sehari-hari, … usaha mendapatkan kendali atas nasib diri sendiri”. (Post-Scarcity Anarchism, hal 249-250)

Pada 14 Mei para pekerja Sud-Aviation mengunci pimpinan di dalam kantornya, dan menguasai perusahaan. Hal tersebut diikuti oleh perusahaan Cleon-Renault, Lockhead-Beauvais, dan Mucel-Orleans, hari berikutnya. Malam itu National Theatre Paris di kuasai untuk dijadikan majelis permanen untuk debat massa. Kemudian, perusahaan terbesar Perancis, Renault-Billancourt, dikuasai. Seringkali keputusan untuk melakukan mogok diambil oleh para pekerja tanpa berkonsultasi dengan pengurus serikat. Pada 17 Mei ratusan perusahaan di Paris berada di tangan pekerjanya. Di akhir Minggu 19 Mei 122 pabrik dikuasai. Pada tanggal 20 Mei, pemogokan dan penguasaan menjadi besar dan melibatkan 6 juta orang. Para pekerja percetakan mengatakan bahwa mereka tidak ingin meninggalkan monopoli ulasan media untuk TV dan radio, dan sepakat mencetak koran-koran sepanjang pers “memberitakannya dengan obyektifitas peran sebagai penyedia informasi yang menjadi tugasnya.” Dalam beberapa kasus para pekerja percetakan bersikeras mengubah headline atau artikel sebelum mereka mencetak koran. Hal ini banyak terjadi pada koran-koran sayap kanan seperti ‘Le Figaro’ atau ‘La Nation’.

Dengan menguasai Renault, orang-orang yang menguasai Sorbonne siap bergabung dengan para pemogok di Renault, dan dipimpin dengan bendera-bendera merah hitam kaum anarkis, 4000 mahasiswa menuju pabrik-pabrik yang telah dikuasai. Negara, para majikan, serikat-serikt dan partai komunis saat itu menghadapi mimpi buruk yang terbesar– aliansi mahasiswa- pekerja. 10000 polisi cadangan disiapkan dan kantor-kantor serikat mengunci gerbang-gerbang pabrik. Partai komunis mendorong anggotanya untuk menhantam revolusi. Mereka bersatu dengan pemerintah dan majikan untuk membuat serangkaian perbaikan, namun setelah mereka kembali ke pabrik mereka dicemooh para pekerja.

Perjuangan itu sendiri dan aktivitas untuk meluaskannya diorganisir oleh majelis massa yang diatur dengan mandiri dan dikoordinasi oleh komite-komite aksi. Pemogokan seringkali juga dilakukan oleh majelis-majelis. Seperti pendapat Murray Bookchin, “harapan (revolusi) terletak pada perluasan pengeloalan mandiri dalam semua bentuknya–majelis umum, bentuk-bentuk administratifnya, komite aksi, komite pemogokan pabrik– pada semua bidang ekonomi, bahkan ke semua bidang kehidupan iyu sendiri” (ibid., hal.251-251). Di dalam majelis, “kegelisahan akan hidup memikat jutaan orang, suatu kebangkitan kembali perasaan-perasaan yang selama ini tidak pernah disadari rakyat bahwa mereka memilikinya” (ibid., hal.251). Peristiwa tersebut bukanlah sebuah pemogokan pekerja atau mahasiswa, melainkan pemogokan rakyat yang memotong hampir semua batas-batas kelas.

Pada 24 Mei, kaum anarkis mengorganisir sebuah demonstrasi. 30000 orang berbaris menuju Palace de la Bastille. Polisi bertugas melindungi kementrian, dengan menggunakan perlengkapannya, seperti gas air mata dan tongkat kecil. Namun Bourse (bursa saham) tidak dilindungi dan sejumlah demonstran mulai membekarnya. Pada saat itulah beberapa kelompok sayap kiri kehilangan keberanian. JCR Tortskyis menyuruh rakyat kembali ke perempatan Latin. Kelompok-kelompok lain seperti UNEF dan Parti Socialiste Unife (partai sosialis bersatu) menghalangi jalan menuju kementrian keuangan dan kehakiman. Mengenai insiden ini Cohn-Bendit berkata “bagi kami, kami gagal menyadari betapa sulitnya menghayutkan orang-orang ini….Sekarang jelas bahwa jika pada tanggal 25 Mei, Paris bangkit untuk menguasai kementrian-kementrian yang paling penting, Gaullisme akan hancur pada saat itu juga….” Cohn-Bendit dimasukkan ke dalam penjara setelah malam itu juga.

Setelah demonstrasi jalanan berkembang dan penguasaaan terus berlangsung, negara siap menggunakan sarana besar-besaran untuk menghentikan revolusi. Secara rahasia, jenderal-jenderal tinggi menyiapkan 20000 pasukan untuk menangani Paris. Polisi menguasai pusat-pusat komunikasi seperti stasiun TV dan kantor pos. Pada hari minggu tanggal 27 Mei, pemerintah menjamin kenaikan upah minimum industri sebanyak 35% dan semua peningkatan upah sebanyak 10%. Para pemimpin CGT mengorganisir barisan 500.000 pekerja melalui jalanan Paris dua hari berikutnya. Paris dipenuhi dengan poster-poster yang meminta ‘pemerintahan rakyat’ sayangnya mayoritas masih berpikir dalam term mengganti penguasa daripada mengambil alih kekuasaan untuk diri sendiri.

Pada tanggal 5 Juni sebagian besar pemogokan berakhir dan iklim yang dipandang normal oleh kapitalisme kembali ke Perancis. Pemogokan apapun yang berlangsung setelah hari itu dihancurkan dalam operasi militer dengan menggunakan kendaraan lapis baja dan senjata. Pada tanggal 7 Juni mereka menyerang perusahaan baja Flins yang menyebabkan terjadinya pertempuran empat hari dan menyebabkan seorang pekerja tewas. Tiga hari kemudian para pemogok Renault ditembaki oleh polisi yang mengakibatkan dua orang tewas. Di dalam isolasi, kantung-kantung militan juga mengalami hal yang sama.  Pada tangal 12 Juni, demonstrasi dilarang, kelompok-kelompok radikal secara hukum dianggap tidak sah, dan anggota-anggotanya ditangkap. Di bawah serangan dari semua sisi, dengan meningkatnya kekerasan negara, dan pengkhianatan serikat dagang, penguasaan dan pemogokan umum dihancurkan.

Jadi mengapa revolusi ini gagal? Tentu saja bukan karena kelompok-kelompok Bolshevik yang menjadi ”garis depan” menghilang. Garis depa memang diduduki mereka. Untungnya, mazhab kiri otoriter tradisional terisolasi dan diabaikan. Mereka yang terlibat dalam revolusi tidak membtuhkan seorang garis depan untuk memberitahu mereka apa yang harus dilakukan, dan “garis depan pekerja” pontang-panting lari mengejar gerakan dengan mencoba mengejar gerakan dengan menyusulnya dan mengendalikannya.

Bukan, hal ersebut karena kurangnya kebebasan, organisasi-organisasi konfederal yang dikelola sendiri untuk mengorganisir perjuangan yang mengakibatkan penguasaan terisolasi satu sama lain. Sehingga, karena terpisah, mereka jatuh. Sebagai tambahaan, Murray Bokchin berpendapat bahwa “kesadaran di antara para pekerja bahwa pabrik-pabrik tersebut harus dijalankan, bukan sekedar dimiliki atau dihancurkan,” ak ad (ibid., hal. 269).

Kesadran ini telah didorong eksisensi gerakan kaum anarkis yang kuatsebelum revolusi. Kaum kiri anti-otoriter, meski sangat aktif, terlalu lemah di antara para pekerja yang mogok, dan sehingga gagasan oraganisasi yang dikelola sendiri dan pegelolaan mandiri para pekerja tidak meluas. Namun demikian, revolusi Mei-Juni menunjukkan bahwa peristiwa-peristiwa tersebut dapat berubah dengan cepatnya. Kelas pekerja, disatukan dengan energi dan mulut besar para mahasiswa, memberi tuntutan yang tak dapat dipenuhi dalam keterbatasan sistem yang ada. Pemogokan umum ditunjukkan dengan kemurnian kekutan potensial yang indh yang terletak di tangan kelas pekerja. Majelis massa dan penguasaan memberikan, meski tak lama bertahan, contoh aksi anarki dan bagaimana gagsaan kaum anarkis dapat segera menyebar dan diterapkan dalam pratek.

[printfriendly]

1 Response

Leave a Reply