Anarkisme dan Kesalahkaprahan Maknanya dalam Sepakbola

—Bahkan klub sepakbola bernama FC Bakunin pun pernah didirikan
anarkisme dan kesalahkarapahan
Agak menggelikan rasanya ketika tahu bahwa di zaman digital seperti saat ini terma ‘anarkisme’ masih saja ditafsirkan sebagai ‘sumbu’ keonaran. Terlebih jika ‘anarkisme’ dikontekstualisasikan ke dalam lingkup sepakbola, maka purna sudah salah satu ideologi yang paling ‘manusiawi’ tersebut menjadi faktor pertama penyebab mengapa barbarisme peradaban tak kunjung selesai. Pemikiran dangkal seperti itu sudah saatnya dibabat. Anarkisme dalam sepakbola bukanlah sebuah dosa yang harus masuk ruang purgatori.
Ada sebuah kisah. Pada tahun 1950, terdapat seorang anak muda berusia 18 tahun dari Italia bernama Pietro Ferrua. Ia dijatuhi hukuman 15 bulan penjara oleh pemerintah setempat lantaran dianggap melakukan makar. Tuduhan yang bukan main-main untuk anak seumurnya. Pun demikian, rupanya nyali Ferrua cukup besar, kendati otot-otot tubuhnya tak selayaknya pendekar. Oleh karenanya, ia pun melarikan diri, kabur ke segala arah mata angin. Hingga kemudian propagandis anti-negara itu singgah di Swiss.
Di Swiss, yang dikenal sebagai negeri dengan tingkat toleransi tinggi tersebut, Ferrua tak lantas bertaubat jadi pemuda ‘baik-baik’. Ia terus menyebarkan pemikirannya, membuat lingkar diskusi, menulis banyak pamflet dan artikel, seraya bertahap membangun sebuah perpustakaan yang kebanyakan berisi literatur pemikiran anti-otoritarian. Singkat kata, di Swiss, proses intelektualisasi Ferrua berkembang pesat.
Akan tetapi, kegiatan politik Ferrua—yang memang didasari ide-ide ekstrim—lama-lama mengusik keberadaan para politisi Swiss. Kebanyakan dari mereka bahkan menyerukan agar Ferrua segera angkat kaki dari negeri kecil itu. Pada tahun 1963, Ferrua pun minggat, tetapi tidak dengan pemikirannya. Pasca kepergiannya, solidaritas kolektif anarko di Swiss saling membantu untuk menyelesaikan perpustakaan yang sempat dibangun Ferrua.
Hingga hari ini, perpustakaan tersebut masih berdiri kokoh dan menyedot banyak kutu buku. Tak hanya sebagai rumah berbagai jenis buku, perpustakaan yang dinamai CIRA: International Centre for Research on Anarchism, dan terletak di kota Lausanne itu juga berfungsi sebagai pusat kajian riset untuk segala ide-ide anarkisme.
Koleksi CIRA kini sudah mencakup ribuan buku. Di antaranya adalah buku-buku—dan juga berlembar-lembar artikel—karangan para pemikir anarkis seperti Petr Kropotkin, Pierre-Joseph Proudhon, Mikhael Bakunin, atau Emma Goldman. Selain itu, hanya di CIRA Anda dapat menilik dokumen Paris Commune 1871, poster-poster asli Spanish Revolution yang dibuat oleh para seniman Catalonia pada tahun 1930-an, surat-surat kabar bawah tanah yang dibuat oleh imigran Italia dan terbit secara berkala sejak tahun 1922-1971, hingga segala informasi tentang Freetown Christania, barisan orang yang memproklamirkan diri sebagai masyarakat otonom di Copenhagen, yang dulu pernah menduduki pangkalan militer di sana sebagai “kampung halamannya”.
Satu hal menarik yang dapat dijumpai di CIRA adalah pamflet Anarchist Football (Soccer) Manual (selanjutnya ditulis AFM). Sebuah pamflet yang diinisiasi oleh Gabriel Kuhn (seorang mantan pesepakbola semi profesional yang kemudian beralih menjadi seorang intelektual anarkis Austria pada tahun 1990). Anda dapat membaca bukunya yang berjudul ‘Soccer vs. the State: Tackling Football and Radical Politics dan segala informasi tentang Alpine Anarchist Productions, sebuah lingkar diskusi kolektif yang juga merupakan bentukan Kuhn.
Munculnya pamflet AFM dimulai pada Piala Dunia 2006 lalu. AFM berisi seruan untuk menolak sepakbola modern yang dianggap dikendalikan oleh kalangan menengah atas demi komersialisasi dan kepentingan kapital. Lebih dari itu, para penggagas AFM menilai bahwa industrialisasi sepakbola saat ini telah mengeksploitasi daya saing alamiah manusia hingga sedemikian rupa, yang kemudian mengikis rasa solidaritas antar sesama individu/ kolektif.
Sejatinya, upaya awal Against Modern Football yang digagas dalam AFM adalah bukan dengan memboikot segala produk klub sepakbola dan menolak menonton ke stadion, tetapi justru dengan ide radikal yang cukup unik: menolak bermain bola secara kompetitif. Apa maksudnya “bermain bola tidak kompetitif”? Bagaimana pula bentuk permainannya?
Penjelasan teknisnya adalah mulailah bermain bola secara tradisional. Maksudnya, silakan ajak sebanyak mungkin orang untuk bermain dengan cara ‘open-ended pick-up games‘ atau untuk bersenang-senang. Siapa saja dapat ikut bermain sampai mereka merasa bosan. Untuk mengurangi “loyalitas” berlebih kepada salah satu tim, setiap pemain dipersilakan untuk bermain di tim lawan. Singkat kata: ciptakan sepakbola murni sebagai sebuah permainan, bukan persaingan. Kesenangan, tanpa kebencian.
Sejatinya, jauh sebelum Kuhn dkk. menawarkan prototipe cetak biru ‘anarkisme sepakbola’, barisan pemikir anarkis di Argentina pada tahun 1908 telah lebih dulu melakukan hal tersebut dengan membentuk sebuah klub bernama Atletico Libertarios Unidos (Libertarians United), sebagai bentuk perlawanan terhadap pemerintah yang menganggap mereka subversif.
Dua tahun sebelumnya, sebuah klub bernama Argentinos Juniors juga didirikan oleh para martir Anarkis di Argentina sebagai bentuk kehormatan para pejuang Haymarket Anarchists dan Chacarita Juniors. Dengan semboyan “In soccer you learn how to act in solidarity”, Argentinos Juniors memakai seragam berwarna merah-hitam—yang merupakan warna identitas gerakan anarkis—sebagai simbol perlawanan. Warna seragam yang di kemudian hari juga turut dipakai klub sepakbola anarkis lain di Uruguay bernama Progreso Uruguay.
Di tahun 1912, mereka yang merasa sebagai bagian dari kelas pekerja miskin di Kroasia juga menggagas ide yang sama dengan mendirikan sebuah klub bernama RNK Split of Croatia. Selain sebagai tempat untuk bermain bola sesama pekerja, RNK Split of Croatia juga turut berperan dalam persebaran ide-ide anarkis ke segenap pekerja lain di seantero negeri.
Sementara itu, seperti Saint Pauli di Jerman, FC United of Manchester juga didirikan dengan itikad anarkisme yang kuat. Mereka menamai spirit pemberontakan tersebut ‘Spirit of Shankly’, dengan jargon: “I dont have to sell my soul!”. Baik suporter kedua klub yang bermarkas di Jerman dan Inggris itu sama-sama paling vokal dalam menyerukan pesan-pesan Against Modern Football: bahwa (sebuah klub) sepakbola harus didasari pada kepentingan penggemar, bukan sekadar sebagai pabrik pencetak fulus dan sekrup kapitalisme.
Karena militansi suporternya tersebut, FC United of Manchester pun disebut sebagai ‘Punk of Football’. Entah kebetulan atau tidak, FCUM pun menamai konsep manajerial keuangan mereka dengan slogan: ‘punk finance’, yaitu cara mendanai klub tanpa masukan dari bank-bank maupun korporasi besar. Sungguh berbeda sekali dengan FC Manchester United yang dalam beberapa periode dicap sebagai perusahaan paling dibenci di Britania Raya karena terlalu sering (mudah) meraih keuntungan besar.
Masih di Inggris, tepatnya di Bradford, para anarkis juga turut membuat sebuah turnamen sepakbola berdasarkan 12 tim tiap perayaan Mayday pada tanggal 1 Mei. Hal tak jauh berbeda dilakukan klub-klub di Bristol, seperti Cowboys Easton dan Cowgirls, yang berisikan para pemain dari masyarakat sekitar. Pada Piala Dunia 1998, Cowboys Easton dan Cowgirls bahkan menyelenggarakan turnamen ‘Piala Dunia’ tandingan. Momen tersebut lantas mendunia hingga membuat Subcomandante Marcos, salah seorang aktivis Zapatista, mengundang mereka dalam turnamen sepakbola yang mereka bentuk sendiri di Chiapas, Meksiko.
Berbicara tentang Subcomandante Marcos, kita harus melihat masa silam, tepatnya pada 1 Januari 1994, untuk mengetahui sejarah singkatnya. Ketika itu, Marcos mengomandoi sekitar tiga ribu orang Indian Maya bersenjata yang menyebut diri sebagai Tentara Pembebasan Nasional Zapatista (Ejército Zapatista de Liberación Nacional-EZLN) yang bersifat otonom, untuk menyerbu negara bagian Chiapas, Meksiko dari pengunungan Lacandon. Istilah Zapatista sendiri memiliki arti orang orang Zapata, merujuk keterkaitan emosional mereka dengan pejuang Meksiko pada 1911, Emiliano Zapata.
Adapun penyerbuan tersebut dilakukan sebagai bentuk protes atas kebijakan pemerintah Meksiko yang ikut menandatangani draft perdagangan bebas NAFTA (North America Free Trade Agreement) bersama Kanada dan Amerika Serikat. Draft tersebut disinyalir akan menjadi preseden buruk bagi para petani adat setempat. Sebab melalui perjanjian tersebut, para petani yang notabene hanya memiliki alat pertanian alakadarnya, harus bersaing dengan berbagai perusahaan pertanian raksasa yang menggunakan peralatan canggih dan lengkap.
Dengan balutan balaclava (topeng ski hitam), tiga ribu tentara Zapatista tersebut kemudian berhasil menduduki tujuh kota, di mana antaranya adalah San Cristobal de las Casas, Ocosingo, Las Margaritas, Altamirano, Chanal, Oxchuc dan Huixan. Akibat serbuan tersebut, konflik bersenjata pun tak dapat terhindarkan antara pihak Zapatista dengan tentara pemerintah.
Pun demikian, sebelum konflik berkembang makin luas, rakyat Meksiko lebih dulu tergerak untuk menyerukan perdamaian. Perang pun hanya berlangsung 14 hari dengan 40 korban tewas di pihak pejuang dan 100 di pihak tentara pemerintah. Sejak itu Zapatista kembali ke Pegunungan Lacandon dan melancarkan perang ‘gaya baru’ yang lebih mengedepankan kata-kata ketimbang mitraliyur atau lars sepatu. Marcos sendiri yang menjadi ujung tombaknya.
Marcos, yang juga memiliki rupa yang ikonik karena pipa rokok yang selalu dihisapnya di balik balaclava, memang seorang pejuang kemanusiaan terunik yang lahir di abad ke-20. Ia tak hanya lihai dalam merancang strategi revolusi yang penuh dentuman dan senapan di medan perang, tetapi ia juga seorang aktivis literasi yang jenius. Sejak tahun 1992 hingga 2006, ia tercatat telah menulis lebih dari 200 esai, cerita, serta 21 jilid buku dengan total 33 edisi. Dan nyaris kesemua karyanya tersebut diciptakannya pada masa konflik, di mana para tentara Zapatista harus naik turun gunung menyusuri lembah demi bersembunyi dari serbuan pasukan militer pemerintah Meksiko.
Kata-kata yang ditulis Marcos memang menggugah. Sasaran pembacanya pun beragam, mulai dari kalangan intelektual menara gading, hingga buruh-buruh dan rakyat miskin kota. Kendati dalam setiap tulisannya—terlebih dalam setiap artikelnya—selalu mengandung pesan anti-neoliberalisme, tetapi Marcos tak hanya sekadar memuntahkan opini belaka. Ia selalu menyampaikan gagasannya lengkap dengan kaidah-kaidah ilmiah yang ketat dan kerangka teoritis yang kokoh.
Aktivitas literasi Marcos yang tak pernah mengenal jeda selama puluhan tahun akhirnya berhasil membuat mata dunia dengan situasi sesungguhnya yang terjadi di Meksiko, terlebih di Chiapas. Hal ini pula yang kemudian membuat Massimo Moratti, sang presiden Inter Milan, menyatakan sikap setuju terhadap ‘tantangan’ Marcos melalui surat pribadi yang dikirimnya agar Nerazzurri bersedia bertanding dengan kesebelasan EZLN yang terdiri dari para tentara Zapatista pada tahun 2005 lalu.
Hubungan antara Inter dengan EZLN sendiri tidak terjadi begitu saja, sebenarnya. Sedikit penjelasan, Meksiko adalah salah satu dari 14 negara berkembang yang menjadi lokasi Inter Campus, semacam badan amal milik La Beneamata yang, selain menjadi sekolah sepakbola, juga kerap memberikan bantuan kepada anak-anak yang berasal dari keluarga tidak mampu—tercatat sudah sekitar 10.000 anak yang dibantu oleh program ini—atau klub-klub olahraga setempat. Termasuk juga perbaikan saluran air dan layanan kesehatan. Di Chiapas sendiri, pada tahun itu, Inter Campus juga sudah kerap membantu proyek kemasyarakatan.
Dalam surat ‘tantangan’ tersebut, Marcos juga secara kocak menyampaikan berbagai rincian teknis, termasuk ‘peringatan’ agar Inter tidak lupa membawa bola karena semua bola milik Zapatista sudah bocor. Selain itu, ia juga menambahkan bahwa pada saat itu, tim EZLN tengah berlatih tendangan penalti karena ia yakin laga nanti akan diakhiri dengan babak tos-tosan. Marcos menulis, dengan nuansa humor yang segar,

“Because of our support for your team, we do not plan to immerse your team with our goals.”

Marcos pun menjelaskan dalam surat tersebut bahwa ia juga berencana akan mengundang Diego Maradona sebagai wasit, lalu Jorge Valdano dan Javier Aguirre akan menjadi asisten. Socrates, salah seorang legenda Brasil yang mahsyur itu, diplot sebagai wasit keempat. Sementara itu, Eduardo Galeano dan Mario Benedetti akan menjadi komentator di televisi ala Zapatista yang disebut ‘Zapatista System of Intergalactic Television, the only tv to be read not watched’.
Kapten Inter, Javier Zanetti, menjadi pemain Nerazzurri yang paling bersemangat mengetahui kabar tersebut. Pesepakbola Argentina yang tatanan rambutnya nyaris tak pernah berubah selama bertahun-tahun itu memang dikenal sebagai aktivis sosial ketika berada di luar lapangan. Ia pun juga pernah menyurati Marcos serta memberikan dana bantuan berupa uang pribadi sebesar 5000 euro pascapenyerangan paramiliter yang menimpa Zapatista di sebuah desa di perbatasan Meksiko-Guatemala.
“We believe in a better world, in an unglobalised world, enriched by the cultural differences and customs of all the people. This is why we want to support you in this struggle to maintain your roots and fight for your ideals,” tulis Zanetti ketika itu.
Akan tetapi, pada akhirnya pertandingan tersebut urung dilaksanakan. Banyak yang menduga bahwa sikap setuju Moratti tersebut merupakan strategi untuk mengeruk minyak Meksiko yang memang berpusat di Chiapas. Dugaan ini—selain bermula karena melihat latar belakang Moratti yang memang seorang baron minyak tersohor—secara terang diungkapkan pertama kali melalui sebuah artikel di The Christian Science Minor, yang ditulis oleh Danna Harman pada 2 Agustus 2005 dengan judul: It Will All Be Made in the Next Zapatista Memo.
Tak hanya itu, Hugh Dellios, salah seorang jurnalis senior di Amerika, melalui investigasinya di lapangan, juga menuliskan sebuah artikel berjudul Masked Rebel Leader Has a New Cause in Mexico pada tanggal 14 Agustus 2005 di koran Chicago Tribune. Pascakemunculan dua artikel tersebut, tak ada kabar yang jelas mengenai kelanjutan tentang laga antara Inter dengan tim EZLN. Pun demikian, Inter Campus masih tetap melanjutkan misi kemanusiaannya di Chiapas. Termasuk dengan sikap Zanetti yang hingga saat ini masih tetap memberikan dukungan politiknya terhadap EZLN dan Marcos.
Kembali ke Swiss, pada pertengahan tahun 1975, segelintir aktivis sayap kiri yang ikut membidani lahirnya liga sepakbola yang dinamai Alternative Football League (nanti ditulis AFL), ‘menantang’ tim dari tentara yang dinamai: FC Soldatenkomitee, yang jika diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia kira-kira menjadi ‘tentara rakyat’.
Hal tersebut dilakukan para aktivis kiri tadi sebagai bentuk perlawanan terhadap kebijakan pemerintah yang mewajibkan setiap pemuda untuk wajib militer. Adapun nama yang digunakan oleh para aktivisi kiri tersebut untuk nama klub mereka adalah: FC Bakunin. Ditakik dari nama seorang filsuf penggagas paham Anarkisme: Mikhail Bakunin.
Pertandingan pun dimulai. Sebagai pemberitahuan, dalam timnya, FC Bakunin juga melibatkan dua anggota perempuan. Akan tetapi, mereka akhirnya kalah setelah melalui laga yang cukup sengit dengan skor 3-5 untuk keunggulan FC Soldatenkomitee. Kekalahan yang wajar mengingat persiapan mereka untuk laga itu hanya dilakukan dalam satu malam. Selebihnya: spontanitas.
Satu tahun kemudian, para aktivis kiri tersebut kemudian menggagas Fortschrittlicher Schweizer Fussballverband (atau dalam Bahasa Indonesia bisa diartikan Asosiasi Sepakbola Progresif Swiss) sebagai bentuk keseriusan mereka dalam mengembangkan AFL. Dalam perkembangannya, AFL bergerak secara klandenstin.
Mula-mula, AFL ‘hanya’ berhasil mengumpulkan 650 pesepakbola. Bahkan pada tahun 90-an, organisasi tersebut nyaris bubar dikarenakan terdapat krisis internal. Pun demikian, hingga hari ini, AFL tetap berdiri dan telah menjaring sebanyak 25 tim sepakbola, di mana ke-12 di antaranya adalah tim perempuan dan tujuh tim lain berasal dari Veteran’s League.
Melalui serentet fakta dan berbagai penjelasan singkat di atas, kesalahkaprahan masyarakat dalam menilai istilah ‘anarkisme’, khususnya dalam sepakbola, sudah sepatutnya mulai dikikis. Sebab nyatanya, ada sebuah bangunan moralitas yang kokoh dalam relasi keduanya yang tidak melulu bersifat destruktif sebagaimana yang kerap dituliskan di banyak media.
Akan tetapi, sebagian dari Anda mungkin masih akan ada yang bersikeras mengatakan bahwa sejarah anarkisme dalam perjuangannya juga kerap bersinggungan dengan kekerasan, termasuk dalam lingkup sepakbola. Jika benar demikian, mungkin Anda lupa bahwa cinta memang terkadang hanya bisa timbul melalui selongsong senapan, bukan lewat cokelat dalam Valentine’s Day.[]


Tulisan ini sebelumnya dimuat dalam buku Sepakbola Seribu Tafsir.
Penyunting: Ferdhi F. Putra

You may also like...

2 Responses

  1. gep says:

    FC United of Manchester klub masadepanku :p

  2. gep says:

    FC United of Manchester klub masadepanku :p

Leave a Reply