Perang Yang Tak Akan Kita Menangkan

Now, don’t you see something else
Something cold and ugly
Not invisible but blended
with the shadow criss-crossing the old man
-Amiri Baraka
jatigede

I

Something in The Way of Things (In Town) mengalun senyap di ruangan yang mulai kosong. Satu-persatu peserta forum kecil tadi pulang setelah lama menunggu hujan reda. Kami yang tersisa membereskan sisa-sisa. Piring-piring gorengan yang menyisakan cengek satu dua, gelas kopi kosong, asbak-asbak penuh dan in-focus pinjaman yang masih menyala.
Mendengar musik dari speaker laptop adalah pilihan terakhir dalam hal mendengarkan musik. Tak ada yang lebih buruk dari musik dengan frekuensi tinggi yang keluar dari speaker ringkih yang dipaksakan volumenya. Namun memutar Amiri Baraka adalah salah satu hal wajib malam itu. Paling tidak, atas nama ada dua hal penting yang menandai sebuah malam di mana Baraka wafat dan kami butuh hiburan yang tidak konvensional di malam terakhir kami berada di kampung kota yang tak lama lagi digusur.
Amiri Baraka adalah figur penting yang sangat inspirasional dalam relasi Jazz dan puisi dengan karya-karyanya yang melampaui zaman dan provokatif. Seorang griot, penyair yang menjadi inspirasi banyak legenda lainnya, terutama Gil Scott Heron dan The Last Poets, grup musik era 60-70an yang menggabungkan musik populer dengan politik radikal dan memberi andil dalam melahirkan fondasi bagi musik hip hop.
Puisinya tentang perebutan ruang hidup dan seruan non-pasifis terhadap aparat kepolisian terasa kontras di atas Free Jazz, genre musik yang sempat The Last Poets kutuk, menganggapnya kadung dikooptasi borjuasi menjadi musik salon (itu mungkin alasan mereka hanya memakai perkusi sebagai tulang punggung musik di kemudian hari).
Malam itu kami kembali memutar lagu-lagu Baraka setelah celetukan seorang kawan sebelum pamit pulang sambil setengah berteriak agar kami segera tahlilan. Tentunya, Something The Way of Things (In Town) cukup sempurna sebagai media menghibur diri (dan bisa pula garis miring; masturbasi) ketika harus mengikhlaskan kesepakatan untuk mundur teratur dari lokasi itu.
Warga korban penggusuran telah resmi mempercayakan kuasa pendampingan kepada pengacara dari ormas lokal yang kami tak bisa bekerja sama atas banyak alasan. Terlebih, ormas itu sudah mengirimkan sinyal pengusiran dengan tak mengizinkan kami masuk ke lokasi beberapa hari lalu. Dalam kata lain, sejak mereka memutuskan hal tersebut, kami bukan lagi dianggap teman solidaritas seperjuangan. Kami lebih nampak seperti provokator, the others. Ide-ide lain seperti berjejaring dengan sesama korban penggusuran lain di kota ini dan ide membuat forum kota nampak seperti usulan utopia.
Seorang teman, yang tadi lebih dahulu undur diri dari sana, mendefinisikan tepat perihal kami malam itu; ‘tidak merakyat’. Wacana non-kooperasi tidak ada tempatnya pada politik keseharian hari ini. Tidak realistis. Terutama di wilayah politik miskin kota (Bandung) di mana karakter warganya individualis dan nyaris sulit untuk bersolidaritas dan melawan bersama-sama, terlebih tanpa menggantungkan nasib pada segelintir elit, termasuk elit bernama ormas atau aktivis. Radikalisme anti-otoritarian adalah ‘provokasi kelas menengah kurang kerjaan’, dengan sarkastik ia menutup komentarnya.
Saya berterimakasih telah diingatkan, bukan pada kesimpulannya, namun pada sosok kelas menengah kurang kerjaan seperti Amiri Baraka. Dalam sejarah pembangkangan sipil tahun 60-an di Amrik sana, cerita tentang sekelompok seniman kelas menengah yang dengan uniknya berkontribusi meradikalisasi gerakan akar rumput, membuat jazz brutal, dan memprovokasi politik dan budaya selalu menarik untuk disimak.
Dengan album yang lirik dan musiknya seradikal ini, saya tak bisa membayangkan apa yang akan dikatakan Soekarno dahulu perihal kultur barat, yang ngak ngik ngok sehingga sampai satu titik ia melarang musik (populer) barat, jika ia sempat mendengar Amiri Baraka. Jika The Beatles saja sudah berisik entah apa yang akan ia katakan perihal album Black Mass yang Baraka buat bersama Sun Ra di zaman itu misalnya. Terlebih lagi, pendapatnya perihal Baraka yang pada akhirnya bertransformasi dari Black Nasionalist menjadi Marxis. Baraka tak hanya menghajar rasialisme, lebih jauh lagi, menariknya pada politik kelas dan membuat gusar para kelas menengah dengan lagu dan puisi mereka yang anarkistik.
Kami berpamitan malam itu dengan warga. Lirik Baraka masih terngiang “Something in the way of things/ Something that will quit and won’t start/ Something you know but can’t stand”. Kami memberesi beberapa spanduk yang masih menggantung sambil membicarakan bagaimana Gil Scott dan The Last Poets saling mempengaruhi satu sama lain. Terimakasih pada arwah Baraka, dekadensi tidak seperti menjadi masalah. Karena, jika boleh meminjam dari bait-baitnya; that’s the way of things in town.
Harold menyela “Tentara Kembali ke Baraka!”. Total garing dan tandus. Padang pasir Gunung Bromo.

II

Kami disuguhi makan siang saat itu dengan menu masakan sunda, petai salahsatunya. Cara memakan petai paling enak adalah dimakan mentah-mentah. Kadang orang sering mengolahnya (ditumis atau dibakar), konon untuk mengurangi bau tak sedap yang kalian dapatkan setelah menyantapnya. Tapi bau itu saya rasa adalah resiko yang sepadan dengan kenikmatan yang didapat saat kalian memakannya mentah. Terutama petai yang baru diambil dari pohon. Tentu saja harus didampingi dengan sambal.
Petai Indramayu adalah salah satu yang terbaik. Rasanya berbeda, agak manis dan renyah meski tidak terlalu besar ukurannya dibanding yang biasa saya dapatkan di Bandung. Kami menyantapnya bersama warga yang berbincang perihal kasus-kasus kriminalisasi terakhir yang terjadi di sana sambil berkesempatan berdiskusi dengan banyak kawan yang datang dari lokasi berjauhan, terutama kawan-kawan petani dari pesisir pantai Kulon Progo, yang sengaja hadir ke Indramayu untuk memberikan solidaritasnya bagi sebuah serikat petani lokal yang melakukan ririungan serupa kongres.
Berlokasi di sebuah halaman rumah warga yang dipasangi panggung persis acara syukuran sunatan, jejaring warga itu hadir bersilaturahmi sambil membicarakan permasalahan-permasalahan mereka. Dari persoalan-persoalan yang dibahas bisa dilihat bagaimana intensnya mereka membangun militansi dan dedikasi bagi keberlangsungan hidup bersama. Di hadapan terancamnya ruang hidup mereka oleh Perhutani dan aparat, represi bertahun-tahun membuat mereka semakin solid. Pun cukup terimunisasi dari infiltrasi rayuan parpol dan elit-elitnya.
Forum-forum warga yang membicarakan isu-isu di seputar mereka seperti ini sulit ditemukan di kota. Bahkan dalam level solidaritas, kapan terakhir kalian menemukan pembicaraan tingkat RW/kelurahan yang memberikan simpatinya pada sesama warga yang berjuang di daerah lain?
Pada perjalanan pulang ke Bandung, kami mengambil rute memutar. Rute pendek yang biasa diambil tak bisa dilalui karena salah satu jembatan rubuh. Kami mengambil rute bukit yang tembus ke desa Buah Dua Sumedang. Di tengah perjalanan kami berhenti sebentar untuk melihat lokasi bendungan Jatigede yang nampak dari atas bukit. Seketika saya teringat satu pojokan di Bandung dan seorang penjual gorengan yang dahulu kami kerap nangkring di sekitar gerobaknya.
Namanya Supri. Gorengannya salah satu yang terbaik di area Banceuy-Suniaraja. Harganya agak mahal sedikit. Rata-rata gorengan di Bandung hari ini 2000 Rupiah untuk 3 buah. Meski ukuran gorengannya lebih besar dari yang biasa kalian temukan, harga gorengan Mang Supri tergolong di atas rata-rata, 1000 rupiah satu gorengan 10 tahun yang lalu.
Entah sudah berapa lama ia berdagang gorengan. Awalnya di Banceuy. Pindah ke sekitar RSHS pasca Reformasi, kemudian pindah lagi ke area Banceuy di tahun TPA Leuwih Gajah longsor, Bandung dibanjiri sampah dan Dada Rosada mendapat penghargaan lingkungan.
Dahulu sekali, ia datang dari lokasi yang berjarak ratusan kilometer dari Bandung. Tepatnya di desa Jatihandap, Jatigede, Sumedang. Ia meninggalkan desanya di era pemerintahan dengan Kepala BAPPENAS-nya masih Widjojo Nitisastro, sang arsitek ekonomi Orde Baru. Ia termasuk generasi kedua yang pergi dari sana atas alasan pembangunan waduk yang berlarut-larut tak juga di bangun. Mang Supri akhirnya menerima ganti rugi karena desakan kebutuhan. Ada anak yang harus melanjutkan sekolah ke perguruan tinggi, tuturnya. Sesekali ia suka berkisah tentang masa itu dan tentang betapa ia merindukan kampung halamannya.
Beberapa bulan lalu, setelah tertunda di bawah beberapa rezim, akhirnya Jatigede digenangi. Desa-desa dipaksa dikosongkan. Menyisakan banyak masalah bukan hanya persoalan ganti-rugi yang tidak sepadan. Jatigede adalah salah satu cerita di mana petani yang hidup merdeka dirampas tanahnya, pergi tercerai berai meninggalkan desa mereka, sebagian pergi ke kota-kota mencari pekerjaan. Yang beruntung bisa kembali membeli tanah dan sawah di sekitar Indramayu misalnya. Yang kurang beruntung, menggadaikan tenaga mereka menjadi buruh, menjadi TKW atau bekerja di sektor informal sebagai pedagang kaki lima. Mang Supri adalah salah satu contoh pendahulunya.
Dari Jatigede kita bisa melihat bagaimana lahirnya kaum yang tak punya lagi tanah sebagai alat produksi, terampas ruang hidupnya dan mencari peruntungan di kota. Hadir di kota sebagai warga kelas dua (mungkin tiga atau empat) yang tak jarang pula dilihat sebagai pembawa masalah perkotaan.
Sampai saat ini, orang kota masih banyak yang berfikir bahwa kota menjadi sejahtera dengan sendirinya. Perkara ia tak pernah bisa netral dari kekayaan warga yang terampas dan nilai lebih yang diambil dari tempat lain tak pernah terpikirkan bahkan untuk sekedar terimajinasikan. Kota-kota itu hari ini saling bersaing membangun, seolah pembangunan kotanya tak ada urusan dengan apa yang terjadi di periferi.
Pernah ada waktu ketika sebuah harian di Bandung memuat sebuah graffiti di tembok kota yang berbicara tentang perjuangan warga Rembang. Di luar perdebatan tentang setuju atau tidak kalian terhadap aksi graffiti tersebut (yang akan terus menjadi isu laten), sangat menarik membaca komentar seorang warga kota dalam halaman surat pembaca itu; “Aksinya di Rembang, kok demonya di Bandung”.
Saya tak pernah melihat lagi Mang Supri berjualan di sekitar situ. Terakhir saya melihatnya mendorong gerobak di dekat halte bertuliskan “Bandung Juara” di Jalan Perintis Kemerdekaan beberapa tahun lalu. Slogan yang dalam hal ini, seperti slogan-slogan pembangunan kota lainnya, terdengar angkuh. Tepat di saat ia mengasingkan warga kota dari solidaritas semesta terhadap mereka yang terampas haknya dan sedang berjuang mempertahankannya.
Kami melanjutkan perjalanan pulang dengan mobil yang penuh aroma petai. Efek samping berjam mengobrol, karena tak ada seorangpun yang bisa tidur dengan gaya menyetir Harold yang terinspirasi Paul Walker pada Fast and Furious dan supir angkot Cicaheum-Ciroyom.
Saya menyesal tak membawa pulang beberapa ikat petai yang tersisa.

III

Bulogading, sebuah kampung kota tertua di Makassar bergolak pada suatu hari tahun lalu. Warga melawan penggusuran dengan mengusir aparat, bahu membahu membuat barikade. Aksi warga tersebut sangat massif dan berhasil. Sehingga kami perlu memasukkannya pada sebuah video kompilasi yang kami buat untuk materi diskusi isu permasalahan kota yang sedang direncanakan beberapa kawan.
Ketika sempat mengeditnya di sebuah tempat percetakan digital di Cihampelas, sambil menunggu beberapa materi cetakan rampung. Seorang lelaki paruh baya yang kebetulan sedang membuat signage untuk cafe-nya disitu berujar bahwa yang terjadi di Makassar adalah provokasi orang-orang LSM dan ormas. Perkara kepentingan para calo tanah. Menurutnya, seperti di Bandung, relokasi warga yang ‘ilegal’ menempati ruang kota bisa berlangsung damai bila tak ada provokasi. Ia berlanjut berkisah tentang Kampung Kolase di pinggiran sungai Cikapundung yang ‘berhasil’ direlokasi tanpa ada huru-hara, tempat ia dan sejawatnya berfoto di situs yang sekarang nampak jauh lebih indah menjadi sebuah taman kota. Tentu saja dengan parameter keindahan yang jauh berbeda dengan apa yang sempat hadir di sana sebelumnya, ketika warga menghias sendiri dinding kampungnya dengan seni emansipatoris.
Nampaknya dalam benak kelas menengah sulit membayangkan bahwa warga bisa melahirkan sendiri ide-ide tentang bagaimana melawan dan mengorganisir diri mereka sendiri. Bagi banyak khalayak, perlawanan warga seperti yang terjadi di Kulon Progo dan Padarincang itu mustahil. Biasanya cara berfikir seperti ini akan diikuti oleh retorika pencarian ‘Aktor Intelektual’. Itu pula yang terjadi saat ibu-ibu Rembang menyemen kaki mereka minggu lalu. Riuh rendah ‘pelaku di belakang layar’ lebih marak dari esensi persoalan apa yang mereka perjuangkan.
Saya tak mengindahkan ajakannya berbincang. Mungkin saya terlalu lelah untuk berdebat. Saya nyalakan pemutar lagu pada laptop untuk mengusirnya meski, sekali lagi, mendengar musik dari speaker laptop adalah pilihan terakhir dalam hal mendengarkan musik. Tak ada yang lebih buruk dari musik dengan frekuensi tinggi yang keluar dari speaker ringkih yang dipaksakan volumenya. Tapi mendengarkan hiphop masih sangat bisa meski dengan sound system yang tidak bagus-bagus amat. Vokal pada musik rap biasanya di-mixing sedemikian rupa untuk terdengar lebih jelas.
Cetakan tak kunjung selesai. Saya terkantuk di antara bait-bait Nas dalam ‘NY State of Mind’ sebelum bertemu ujung reff-nya; “I never sleep ‘cus sleep is a cousin of death”. Setelah beberapa hari begadang berturut-turut, sulit untuk terjaga dalam ruangan ber-AC. Saya memilih untuk menunggu di luar, menikmati jalanan Cihampelas yang lengang di tengah malam, di sebuah era di mana rezim keruk menggasak dalam level yang tak pernah seintens ini sebelumnya, di kota yang dihampiri -dalam bahasa Nas- sepupu kematian, yang datang dalam wujudnya yang lain; tidurnya beragam emansipasi radikal warga kota.
PS: Selamat hari jadi ke-10 PPLP Kulon Progo. Panjang Umur Perlawanan Warga.

You may also like...

Leave a Reply