Pemikiran Michael Hardt dan Antonio Negri, Globalisasi dan Resistensi: Sebuah Pengantar


Berbicara mengenai globalisasi dan gerakan resistensi, rasanya hampir pasti keduanya diposisikan sebagai dua hal yang saling berhadapan hari ini. Dari bingkai gerakan resistensi, globalisasi selalu diposisikan sebagai musuh yang harus dinegasikan. Bahkan, tak jarang suatu gerakan resistensi dibangun di atas logika yang berupaya untuk membentengi diri dari globalisasi. Atau lebih ekstrem, tak sedikit gerakan resistensi yang dibangun berdasarkan argumen, bahwa karena globalisasi merupakan sesuatu yang bersifat negatif, sehingga diperlukan negara yang berdaulat penuh untuk membentengi dirinya dari gempuran globalisasi.
Namun pertanyaannya, apakah memang musuh dari gerakan resistensi hari ini adalah globalisasi? Atau sesungguhnya justru sesuatu yang lain? Tulisan ini akan berusaha menjawab pertanyaan tersebut. Lebih jauh, tulisan ini akan mencari tahu bagaimana hubungan antara globalisasi dan gerakan resistensi. Guna menjawab pertanyaan di atas, penulis menggunakan pemikiran Michael Hardt dan Antonio Negri sebagai pisau analisis.
Globalisasi dan Dominasi
Dengan berakhirnya rezim kolonial dan runtuhnya Uni Soviet yang berusaha membentengi diri dari kapitalisme global, berdampak pada perubahan tatanan politik internasional. Perubahan ini ditambah lagi dengan adanya globalisasi ekonomi dan budaya, yang kemudian berakibat pada semakin melemahnya kedaulatan negara. Namun dengan semakin melemahnya kedaulatan negara, bukan berarti kedaulatan tersebut lama-kelamaan menghilang begitu saja. Kedaulatan yang awalnya berada di tangan negara, seiring berjalannya waktu bertransformasi ke dalam suatu bentuk baru seperangkat logika dan struktur aturan yang mengatur dunia. Bergeser secara radikal dari basis filosofis politik modern; dengan mengkonsepsi ulang konsep kedaulatan, sistem dunia dan subjek politik, Hardt dan Negri kemudian melihat bentuk baru kedaulatan yang mengatur tatanan politik internasional yang disebut dengan empire.[1]
Dengan pengaruh tradisi berpikir marxisme, Hardt dan Negri melihat tatanan politik internasional merupakan suatu bentuk dominasi dan resistensi. Namun pada titik tertentu, Hardt dan Negri berupaya menjauh dari tradisi marxisme tradisional dalam melihat tatanan politik internasional. Tradisi marxisme tradisional dalam melihat tatanan politik internasional didominasi dengan teori imperialisme yang merupakan pengembangan dari teori imperialisme yang disusun oleh Marx yang kemudian dikembangkan oleh Lenin. Tradisi dominan marxisme tersebut melihat bahwa struktur global yang berupa dominasi dan resistensi masih mengimplikasikan pemusatan power pada beberapa negara dominan. Sedangkan empire dalam kacamata Hardt dan Negri tidak dapat direduksi ke dalam dominasi Amerika Serikat atau beberapa negara adikuasa semata. Dengan pengaruh tradisi pascamodernisme, Hardt dan Negri melihat bahwa dengan adanya globalisasi, power dalam struktur politik internasional bukannya terpusat ke beberapa negara dominan, namun justru tidak lagi memiliki tempat–power—berada di mana pun sekaligus tidak berada di mana pun.[2]
“Power is thus expressed as a control that extends throughout the dephts of the consciousnesses and bodies of the population–and at the same time accross the entirety of social relations.”[3]
Hardt dan Negri menyebut realisasi power yang mengontrol dan mengendalikan kehidupan sebagai biopower.[4] Lebih lanjut, biopower menurut Hardt dan Negri adalah bentuk pengejawantahan power dari atas: kekuatan kapital korporasi multinasional dan institusi-institusi internasional yang menaklukan dan menjajah segala aspek dan ranah kehidupan. Dalam konteks ini, eksploitasi dan manipulasi atas kehidupan dilaksanakan secara total. Eksploitasi dan manipulasi kehidupan merupakan konsekusensi logis ketika power yang mendorong transformasi dan pembaharuan; komodifikasi dan produksi sudah tertanam sedemikian rupa, sehingga tidak perlu lagi agen atau perangkat eksternal yang berperan untuk mengatur masyarakat.
Pengejawantahan power yang menaklukan, mengendalikan dan mengontrol kehidupan secara total atau biopower ini, merupakan perwujudan kekuasaan global yang disebut Hardt dan Negri sebagai empire. Totalitas kekuasan empire inilah yang dipandang mampu mengkooptasi kehidupan secara utuh. empire kemudian seolah-olah menjadi jaminan dan pelindung bagi kemerdekaan, kebebasan, perdamaian dan bahkan keadilan universal bagi setiap warganya tanpa terkecuali–karena tak ada lagi subjek yang berada di luar genggaman kekuasaan total empire.[5]
Globalisasi dan Resistensi
Namun, globalisasi bagi Hardt dan Negri bukanlah suatu narasi yang tunggal dan utuh. Meskipun di satu sisi globalisasi berperan dalam menciptakan seperangkat logika dan struktur aturan yang mengatur dan mendominasi dunia (empire), di sisi lain globalisasi juga akan mendorong untuk terciptanya daya kreatif yang berperan sebagai kekuatan yang akan menciptakan suatu organisasi politik alternatif yang akan melawan dominasi tersebut (multitude). Globalisasi berperan dalam menciptakan arena baru kooperasi dan kolaborasi yang melintasi batas negara dan benua yang memungkinkan untuk terciptanya jaringan yang memungkinkan segala perbedaan dapat diekspresikan secara bebas dan setara dan memungkinkan terciptanya suatu perlawanan terhadap empire.
Selain itu, globalisasi yang mengakibatkan transformasi kedaulatan dan power juga berimplikasi terhadap perubahan dalam memahami subjek politik dalam struktur global. Identitas subjek politik dalam struktur global kontemporer kemudian menjadi sangat cair, terfragmentasi dan tidak lagi memiliki fondasi yang kuat. Subjek politik inilah yang disebut oleh Hardt dan Negri sebagai multitude.[6] Sebagai subjek politik emansipasi, multitude akan terus terlibat dalam proses dialektis dan berhadap-hadapan melawan tatanan global yang saat ini mendominasi; empire. Dapat dikatakan bahwa empire dan multitude merupakan dua wajah globalisasi.
Menurut Negri, multitude dapat dipahami dengan tiga cara berbeda: 1) sebagai subjek yang beragam (multiplicity of subjects), 2) sebagai konsep kelas dan 3) sebagai komponen power (constituent/ontological power).[7] Sebagai subjek yang beragam, multitude mengacu pada kelompok yang mempertahankan keberagamannya dan tidak dapat direduksi dalam satu kesatuan identitas.[8] multitude sebagai subjek politik perlu dibedakan dari berbagai subjek politik lainnya, misalkan rakyat ataupun kelas pekerja. Identitas rakyat atau kelas pekerja menurut Hardt dan Negri mengandaikan penyeragaman identitas diri menjadi bagian organik dari sebuah artikulasi kepentingan atau akumulasi kapital. Hardt dan Negri menjabarkan multitude sebagai:
“…a reducible multiplicity; the singular social differences that constitute the multitude always be expressed and can never be flattened into sameness, unity     and identity, or indifference. The multitude is not merely a fragmented and dispersed multiplicity.”[9]
Sebagai konsep kelas, multitude merupakan kooperasi dalam tataran global yang merupakan alternatif bagi empire. multitude merupakan kelas yang mengoperasikan immaterial labour.[10] multitude memegang peranan sebagai subjek emansipasi yang sebelumnya berada di tangan kelas pekerja. Hardt dan Negri memaparkan bahwa “class is determined by class struggle” dan “class is and can only be a collectivity that struggles in common”.[11] Dalam artian ini, multitude bukan merupakan produk dari empire, namun justru empire dapat eksi berkat perjuangan kelas dari multitude.
Dan sebagai komponen power, multitude dapat diartikan sebagai bermacam-macam daya pembebasan yang selalu ada, daya kreativitas dan pembebasan yang tidak hanya lahir pada era modern namun juga sudah ada pada era-era sebelumnya. Daya yang menolak dominasi yang mewujud dalam mekanisme yang mewakili hasrat yang diekspresikan secara bebas serta selalu berupaya untuk mentransformasi dunia sesuai dengan imajinya.
Catatan Penutup
multitude merupakan konsep pengorganisasian politik yang tercipta berkat keberagaman gerakan dalam berbagai sektor. multitude merupakan antagonisme karena multitude adalah limit dari kekuasaan (empire) itu sendiri. Cara berpikir ini mirip dengan antagonisme yang diajukan oleh Laclau dan Mouffe,[12] namun bedanya Hardt dan Negri melihat bahwa keberagaman kekuatan antagonistik tidak harus disatukan dalam satu kerangka kekuatan hegemoni.
El-Ojeili dan Hayden menyebut gerakan resistensi dewasa ini sebagai merupakan perpaduan antara semangat sosialisme dan pascamodernisme. Gerakan ini merupakan kombinasi antara perlawanan terhadap kapital dan komitmen terhadap keterbukaan demokrasi partisipatif yang menolak disiplin yang tersentralisasi.[13] Di titik itulah, gerakan resistensi ini membedakan dirinya dengan gerakan-gerakan resistensi pendahulunya—dengan kecenderungannya yang non-hierarkis serta penekanan terhadap partisipasi alih-alih determinasi pada tujuan. Sehingga dapat disimpulkan bahwa bukan globalisasi itu sendiri yang menjadi lawan dari gerakan resistensi, tetapi globalisasi neoliberal yang mana neoliberalisme berperan sebagai muatan ideologisnya dan logika kapital sebagai logika utamanya.
Dan sebagai penutup, berikut petikan dari wawancara Croatian Radio dengan Michael Hardt pada tahun 2002:
The problem with our contemporary world in many ways is not that we have too much globalization, the problem is we have not enough.”
Catatan Akhir:
[1] Dalam tulisan ini, penggunaan kata empire (tanpa huruf kapital) akan merujuk pada konsep yang diperkenalkan oleh Michael Hardt dan Antonio Negri. Sedangkan Empire (dengan huruf kapital dan dicetak miring) akan merujuk pada judul bukunya. Berlaku juga untuk multitude.
[2]Michael Hardt & Antonio Negri, Empire, (Cambridge: Harvard University Press, 2000), hal. 190.
[3]Michael Hardt & Antonio Negri, Empire, (Cambridge: Harvard University Press, 2000), hal. 24.
[4]Konsep biopower yang dipinjam dari Michel Foucault ini bersumber pada pergeseran bentuk masyarakat dari disciplinary society menjadi society of control. Dalam disciplinary society, institusi dan perangkat keamanan berperan secara signifikan untuk mengendalikan masyarakat melalui pengaturan dan penataan kebiasaan (custom) dan perilaku sehari-hari (habit). Sistematisasi perangkat aturan dan sanksi, serta realisasinya secara ketat menjadi tak terabaikan. Sementara dalam society of control, mekanisme pengendalian dan kontrol atas kebiasaan dan perilaku muncul dari dalam diri masyarakat. Mekanisme kendali dan kontrol tersebut tertanam (interiorized) dalam kesadaran dan tubuh manusia. Hasilnya, masyarakat dengan sendirinya mengontrol dan mengendalikan perilaku dan kebiasaan hidup sehari-hari. Sistem komunikasi dan jejaring informasi berperan untuk semakin mengendapkan mekanisme kendali dan kontrol dalam diri masyarakat. Relasi power dalam society of control inilah yang menjadi realisasi dari biopower. Untuk penjelasan lebih lengkap mengenai biopower, lihat Michel Foucault, The History of Sexuality Vol. 1.
[5]Michael Hardt & Antonio Negri, Empire, (Cambridge: Harvard University Press, 2000), hal. 15.
[6] Michael Hardt & Antonio Negri, Multitude: War and Democracy in the Age of Empire (London: Penguin, 2004), hal. xiv.
[7] Antonio Negri, Negri on Negri (New York: Routledge, 2004), hal. 113-114.
[8]Michael Hardt & Antonio Negri, Multitude: War and Democracy in the Age of Empire (London: Penguin, 2004), hal. xiv.
[9]Michael Hardt & Antonio Negri, Multitude: War and Democracy in the Age of Empire (London: Penguin, 2004), hal. 99.
[10] Immaterial labour merupakan suatu terma yang ambigu, karena sebenarnya immaterial labour tidak dapat dipisahkan begitu saja dari bentuk-bentuk labour lainnya, namun lebih merupakan suatu bentuk perpaduan labour. Sehingga immaterial labour dapat diartikan sebagai kerja-kerja yang tidak hanya memproduksi komoditas material tetapi juga hubungan sosial dan akhirnya kehidupan sosial itu sendiri; misalnya kerja-kerja yang memproduksi pengetahuan, informasi, komunikasi serta afeksi. Hardt dan Negri membedakan immaterial labour menjadi dua jenis: intellectual/linguistic labour dan affective labour. Untuk penjelasan lebih lengkap mengenai immaterial labour, lihat Michael Hardt & Antonio Negri, Multitude: War and Democracy in the Age of Empire (London: Penguin, 2004).
[11]Michael Hardt & Antonio Negri, Multitude: War and Democracy in the Age of Empire (London: Penguin, 2004), hal. 104.
[12] Ernesto Laclau & Chantal Mouffe, Hegemony and Socialist Strategy: Towards a Radical Democratic Politics (London: Verso, 2001), hal. 136.
[13] Chamsy El-Ojeili & Patrick Hayden, Critical Theories of Globalization (Basingstoke & New York: Palgrave Macmillan, 2006), hal 33-37.

Leave a Reply