Mendayakan Kekuatan Warga: Ulasan Diskusi "Politik Warga Miskin Kota"

Penggusuran bisa kita temukan di manapun. Di kota atau desa, penggusuran seakan menjadi program abadi negara-negara berkembang yang berlomba-lomba menjadi negara maju. Di Indonesia, sejak era Orde Baru hingga kini, penggusuran tak hentinya terjadi. Di desa, penggusuran lahan-lahan pertanian dilakukan demi membuka kawasan industri baru atau pemukiman baru untuk mengimbangi laju pertumbuhan penduduk. Di kota, penggusuran dilakukan atas nama keindahan, ruang terbuka hijau dan imajinasi ketertataan a la negara maju. Padahal, penggusuran—yang sering dieufimismekan dengan relokasi—merupakan wujud dari penindasan negara atas kelas tertentu.

7 Desember 2015, sebuah diskusi menarik tentang fenomena penggusuran digelar oleh Jurusan Manajemen dan Kebijakan Publik dan Jurusan Politik dan Pemerintahan UGM. Diskusi bertajuk “Politik Warga Miskin Kota: Market Citizenship atau Communal Citizenship?” dipandu oleh Dr. Ian Wilson (Murdoch University Australia) dan Dr. Amalinda Savirani (UGM). Dalam diskusi ini, Jakarta menjadi kasus yang dipilih.
Sejak Jokowi-Ahok terpilih sebagai penguasa Jakarta pada 2012 (kemudian diambilkendali oleh Ahok pada 2014), sudut-sudut Jakarta, khususnya di wilayah yang dihuni kaum miskin kota, menjadi sasaran penggusuran. Beberapa penggusuran tersebut bahkan menarik perhatian publik luas. Sebut saja penggusuran di kawasan Waduk Pluit, Taman BMW dan yang terakhir—dan sempat memanas—adalah Kampung Pulo.
Sesuai dengan tema diskusi, dua perspektif citizenship menjadi bahan perbincangan yang cukup seru. Sayang saya melewatkan paparan Dr. Ian tentang market citizenship. Tapi, dari sedikit yang saya pahami dari konsep tersebut adalah soal mekanisme pengelolaan hak dan kewajiban yang memiliki kecenderungan liberal, dimana tanggung jawab negara atas warga negara (individu) direduksi dan diserahkan kepada warga sendiri. Artinya, negara melepas kewajibannya dan setiap warga negara dituntut untuk bertanggungjawab atas hidupnya—dan keluarganya. Namun sialnya, negara tetap memiliki kendali atas ruang hidup warga.

Di sini saya akan sedikit menautkannya dengan horison berpikir anarkisme.
Dalam perspektif anarkis, tawaran ‘memandirikan’ warga ini tentu ‘ideal’. Pada dasarnya anarkisme juga mendorong kebebasan dan kemandirian, namun berbeda dengan kemandirian a la liberalisme, anarkisme justru memadukan kebebasan dan komunalisme—anarkisme kerap disalahkaprahi sebagai liberalisme absolut. Dengan perpaduan tersebut, maka yang lahir kemudian adalah kooperasi, alih-alih kompetisi. Ketika negara memaksa warga untuk larut dalam market citizenship, negara berusaha melepas tanggung jawabnya sembari tetap memegang kendali atas warga. Negara tidak pernah benar-benar melepas penuh hidup warga yang dikuasainya. Regulasi sebagai alat kontrol bagaimanapun tetap menjadi perwujudan represi. Misalnya, apakah penggusuran merupakan konsensus warga Jakarta? Tidak. Tapi pemerintah sudah mendapatkan legitimasi untuk menggusur dan mengontrol semua aspek kehidupan warga, melalui pemilu. Di sini negara telah menjadi kendaraan bagi ruling class untuk mempertahankan kekuasaannya dan melakukan apa yang dimaunya.
Jika kita berbicara mengenai masyarakat otonom, hak dan kewajiban individu-individu saling terhubung satu sama lain di dalam satu komunitas yang sama. Dalam mekanisme ini, individu tidak benar-benar menjadi individualis, melainkan sebagai individu yang berhak dan bertanggungjawab atas komunitasnya.
Market citizenship jelas tidak menguntungkan warga. Tawaran lainnya adalah communal citizenship. Menurut Dr. Linda, konsep ini memberikan peluang bagi warga negara untuk merebut kembali hak-hak mereka yang dicerabut oleh pemerintah melalui pelimpahan tanggung jawab individual tadi.
Menurutnya, yang menjadi persoalan utama dalam pengorganisasian kaum miskin kota adalah konsolidasi gerakan. Ada beberapa faktor, salah satunya, mobilitas aktor yang tidak sama. Pekerjaan—dan identitas kelas sosial yang berbeda membuat persepsi warga atas masalah yang dihadapinya menjadi beragam. Relasi yang terbagun di kelompok ini lebih didasarkan pada kesamaan teritorial. Meski identitas tersebut seharusnya bisa menjadi modal gerakan, namun nyatanya sentimen individualisme kadung lebih kuat. Keinginan untuk melawan lebih disebabkan oleh dorongan untuk menyelamatkan dirinya sendiri dari penggusuran, alih-alih alasan kolektif.
Gerakan kaum miskin kota cukup berbeda dengan gerakan buruh, gerakan tani, atau gerakan sektoral lainnya, dimana identitas menjadi modal utama untuk membangun persatuan.
Communal citizenship sebenarnya berusaha menjawab gap tersebut. Berbeda dengan market citizenship yang diciptakan dan dimunculkan oleh pihak eksternal (pemerintah), communal citizienship adalah soal bagaimana membangun kesadaran warga sebagai sebuah entitas: kelas yang ber-vis-a-vis dengan negara.
Namun, ruang gerak communal citizenship berada tatanan negara. Ini menjadi kelemahannya. Bicara mengenai citizenship (kewarganegaraan) maka kita akan berbicara mengenai tegangan antara warga (komunitas) dengan pemerintah (negara), dan praktis kita akan membicarakannya di ranah nation-state.  Jika kita mengamini bahwa warga adalah oposan bagi kelas berkuasa, maka bermain politik dalam tata aturan negara sama dengan bermain di lapangan musuh. Di negara manapun, liberal atau komunis sekalipun, pemerintah selalu berdalih bahwa kebijakan yang mereka bikin adalah untuk kepentingan publik, untuk kepentingan warga. Kritik terhadap pemerintah kemudian diterjemahkan sebagai bentuk pembangkangan dan akhirnya kelompok yang melawan ini dicap dengan berbagai label: subversif, kontrarevolusi, atau antek PKI—Ahok pernah mengatakan warga waduk Pluit yang menolak digusur dengan sebutan ini.
Dalam sejarah Indonesia, misalnya, pemerintah hampir sama sekali tidak beritikad untuk menjadi republik (res publica). Cicero mengatakan bahwa ‘rakyat’ dalam kata res publica bukan berarti gerombolan individu, melainkan organisasi sosial yang dibangun demi mencapai kebaikan dan keadilan bersama. Tapi nyatanya, negara tidak pernah mewakili kepentingan publik, dalam hal ini warga kelas rendahan.

Eksekutif maupun legislatif adalah lembaga yang kemudian merebut hak individu melalui mekanisme pemilu. Maka, tidak heran ketika negara—melalui instrumen represifnya—semena-mena menembaki petani, memukuli demo buruh, dan menggusur warga miskin kota, sebab itu cara jitu untuk mempertahankan kepentingannya. Kepentingan kelas berkuasa.[]

You may also like...

Leave a Reply