Kematian Waktu Luang di Waktu Luang

Jurnas.com


Gumpalan awan mendung masih tebal menyelimuti langit pendidikan Indonesia. Riuh-rendah perdebatan seputar kebijakan dan program pendidikan seakan belum menemui benang merah permasalahan  yang dihadapi. Kondisi kian diperparah dengan arus wacana global yang senantiasa berubah dalam jangka waktu cepat. Dalam posisi ini, menemukan bentuk pendidikan ideal adalah kunci dari pemecahan semua masalah yang merundung.
Sekolah sebagai wahana pendidikan formal dewasa ini tidak lepas dari perdebatan hangat di kancah pendidikan. Beragam kritik dan dukungan dari kalangan intelektual, sampai masyarakat luas turut mewarnai keberlangsungan pendidikan di sekolah. Fenomena ini tentu beralasan, kejelasan orientasi pendidikan formal yang masih kabur menjadi salah satu faktor pemicunya. Sekolah, yang seharusnya menjadi institusi yang bertanggung jawab atas pembangunan Sumber Daya Manusia (SDM) demi keberlangsungan kemajuan bangsa, tak kunjung menghadirkan dampak signifikan menyelesaikan permasalahan-permasalahan di masyarakat.
Dalam rangka mengawali penelusuran yang akan dilakukan berikutnya, ada baiknya kita memfokuskan telaah pada beberapa hal. Pertama, bagaimana sejarah asal mula sekolah? Kedua, seperti apa gambaran sekolah hari ini? Ketiga, bagaimana seharusnya sekolah ideal itu?
Dalam tulisan ini, penulis akan mencoba memaparkan penjelasan seputar sekolah berdasarkan tiga permasalahan pokok di atas. Semoga, curahan gagasan ini dapat memperluas wawasan kita seputar sekolah, serta membantu kita mengambil sikap yang tepat demi pendidikan yang lebih baik.

Secara etimologi, sekolah berasal dari bahasa Latin, yakni, skhole, scola, scolae, atau schola, yang berarti waktu luang atau waktu senggang. Praktik sekolah dapat ditemukan di Yunani tempo dulu, biasanya, merujuk pada kegiatan menyambangi tempat atau seseorang ahli untuk mempelajari suatu hal.
Sekolah yang pada mulanya merupakan kebiasaan lelaki dewasa atau ayah dalam susunan keluarga pati Yunani Kuno, lama-kelamaan turut diberlakukan bagi putra-putri nya. Sejak saat itu lah, orang tua mulai membawa anaknya kepada seseorang pandai demi mempelajari keterampilan baru, belum ada mata pelajaran khusus, atau jadwal yang mengikat, anak-anak bebas mempelajari apa yang mereka ingin pelajari.
Seiring berjalanya waktu, anak-anak semakin banyak dititipkan, sehingga membutuhkan lebih banyak pengasuh, mulailah diberlakukan peraturan dan tata tertib, orang tua juga diharuskan untuk membayar jerih payah pengasuh dengan upah.
Johannes Amos Comenius, seorang Uskup kenamaan kala itu memberikan sumbangsih bagi perkembangan sekolah berikutnya. Kitab Didactica Magna, memuat gagasan pembaharuan sekolah, salah satunya ialah upaya untuk melembagakan penyelenggaraan sekolah secara lebih sistematis dan metodis.
Pada abad-18 tradisi Comenius diteruskan oleh Johan Heinrich Pestalozzi. Beliau mengelompokan anak-anak asuhannya secara berjenjang, termasuk perjenjangan urutan kegiatan (kemudian disebut ‘mata pelajaran’) yang harus mereka lalui secara bertahap. Juga pengaturan tentang cara-cara mereka harus melalui pelajaran tersebut pada setiap tahapan menurut batasan-batasan khas dan terbaku. Gagasan ‘Sistem Klasikal Pestalozzi’ inilah yang kemudian menjadi asal mula sekolah modern.

Setelah menyimak pemaparan sebelumnya, kita dapat mengetahui genealogi dari sekolah formal hari ini. Sekolah yang pada mulanya berupa aktivitas sehari-hari ketika waktu luang, telah bergeser menjadi bangunan kokoh dengan ruang-ruang kelas, Tata Usaha (TU), kantor pengajar, dengan seperangkat aturan dan norma. Hari ini sekolah bukanlah lagi waktu luang, melainkan tuntutan kewajiban dan rutinitas yang dibebankan
Sekolah, seakan telah kehilangan esensinya sebagai waktu luang. Kurikulum hadir menetapkan mata pelajaran wajib yang harus dikuasai di sekolah, adalah bentuk pemaksaan kebutuhan bagi anak sebagai peserta didik. Sistem pendidikan nasional juga turut memberi imbas pada hierarki mata pelajaran yang ada di sekolah. Diberlakukan nya Ujian Nasional (UN) yang menyertakan rentetan mata pelajaran yang akan diujikan, secara tidak langsung, menempatkan mata pelajaran terkait sebagai prioritas kelulusan, dan merupakan tolok ukur kecakapan peserta didik, dibanding mata pelajaran lain yang jatuh dalam kategori Muatan Lokal (Mulok), atau Agama.
Pendidikan formal yang direpresentasikan oleh sekolah sebagai miniatur dari masyarakat lebih mirip Panopticon- nya Foucault. Seperangkat aturan dan norma yang diberlakukan bukan berperan sebagai sarana pembelajaran dan mengatur ketertiban, melainkan lebih mirip menara pengawas yang memantau setiap gerak-gerik peserta didik, kondisi semacam ini akan membunuh kreativitas dan daya eksplorasi peserta didik, dan memaksanya untuk turut terkonformitas.
Budaya persaingan dan saling sikut ala rezim Neolib juga lebih tercermin di sekolah dibanding koletivitas dan gotong royong yang menjadi identitas Indonesia. Peserta didik diming-imingi nilai yang sebenarnya hanyalah tolok ukur prematur untuk memahami kecerdasan mereka. Kebiasaan ini juga telah menanamkan paradigma yang berorientasi materil belaka, sementara hal-hal yang bersifat moril dan rohaniah hanya masuk proritas sekunder. Maka dari itu, jangan heran kalau banyak mahasiswa  mengincar IP 3,5 (cum laude) hanya untuk menjadi PNS setelah lulus. Selain itu, keadaan ekonomi-politik kita yang tak kunjung membaik turut berkontribusi dalam membentuk pola pikir seperti itu.
Rutinitas mingguan pembelajaran yang dilaksanakan di kelas juga telah memberi dampak tersendiri. Peserta didik duduk berjajar di deretan bangku yang tertata rapi dan simetris, mempehatikan sang guru sebagai satu-satunya sumber pengetahuan bagi mereka. Ruang kelas tentu terlalu kecil bagi mereka untuk memahami pelajaran yang diberikan, disekeliling telah berjajar tembok-tembok kokoh yang memaksa peserta didik untuk terus memusatkan perhatian mereka pada sang guru, dan berpaling dari realitas yang terjadi. Di ruang itu, teori dan praktik, ide dan realitas, dengan sengaja diceraikan, padahal, teori tidaklah dapat dipisahkan dari realitas, subjek terlibat dan mengalami suatu realitas, akan membentuk persepsi terhadap fenomena yang dialami melalui serangkaian kontemplasi terhadap beragam pertanyaan, dari situlah teori tercipta. Model pembelajaran inilah yang disebut Freire sebagai Gaya Bank, dimana murid adalah gelas kosong yang harus diisi oleh guru sebagai satu-satunya subjek yang merasa paling tahu.
Praktik pembelajaran yang terbatas pada lingkup kelas juga telah mengkhianati hakikat dari ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan tidak hanya memiliki objek (Ontologi), cara pandang (Epistemologi), dan metode (Metodologi) belaka, hal yang paling penting ialah manfaat nya (Aksiologi). Peserta didik yang dipisahkan dari realitas, tidak diberi kesempatan untuk mengaplikasikan hasil belajarnya. Padahal, semangat sejati dari ilmu pengetahuan adalah untuk membebaskan dirinya dan masyarakat dari masalah yang menimpanya. Kalau peserta didik hanya diajarkan untuk mengetahui objek, teori, dan metode belaka, apakah itu sudah cukup untuk membekali mereka menghadapi kenyataan yang jauh lebih kompleks. Teori dan metode hanyalah seperangkat pengetahuan yang membantu memahami alam material, tidak lebih dari itu, tanpa pembiasaan langsung semua upaya yang dilakukan akan sia-sia, sebab, selalu ada hal yang tidak bisa tertangkap oleh konsep.

Setelah menyimak pemaparan sebelumnya, apakah kita harus bersikap antipati pada pendidikan formal? Saya pikir bukan itu sikap yang harus bersama kita bangun. Sekolah sebagai bentuk pendidikan formal tentu menjanjikan efisiensi yang tidak dapat dipungkiri. Lagipula, sulit untuk melakukan praktik pendidikan seperti zaman Yunani Kuno dahulu, mengingat kondisi material yang sudah jauh berbeda. Sebagai manusia yang selalu hidup berdasarkan prinsip dialektika, dengan menjunjung tinggi penyelesaian masalah yang adil, menyikapi keberadan sekolah tentu harus berorientasi win-win solution.
Menyelenggarakan sekolah kontekstual bisa dijadikan solusi yang patut diperhitungkan, mengingat kondisi geografis Indonesia yang sedemikian kompleks, dengan beragam kebudayaan dan mata pencaharian. Penyelenggaran Kegiatan Belajar Mengajar (KBM) di sekolah tidak bisa dilepaskan dari kondisi masyarakat. Di Pangadaran, ada upaya untuk mengenalkan ikon lokalnya, yakni Ikan Marlin, ini adalah itikad yang baik dalam rangka mengenalkan identitas Pangadaran pada generasi berikutnya, namun, sekolah berbasis kontekstual lebih dari sekedar pengenalan, perlu ada tindakan lanjut berupa implementasi. Selain mengenalkan ikon daerah, pengenalan kondisi geografis, potensi alam, mata pencaharian, sampai memanfaatkan hasil alam adalah hal yang penting, dipadukan dengan transformasi ilmu mata pelajaran terkait. Hal baik lainnya adalah, peserta didik ditumbuhkan moralnya untuk mengembangkan daerahnya sendiri, karena rasa memiliki dan mengabdi terus ditanamkan.
Sekolah juga tidak melulu harus di dalam kelas, biarkan peserta didik mengeksplorasi keingintahuannya dalam realitas, jangan pisahkan mereka dengan lingkungan sehari-hari mereka menghabiskan waktu luang, bangunlah kondisi belajar yang menggugah, seakan mereka tengah menjalankan waktu luang mereka dengan bersenang-senang ria tanpa rasa terpaksa, sehingga, daya kritis, kreativitas, dan kedewasaan dapat tumbuh secara alami.

Penulis menyadari pembaharuan tidak bisa dilakukan sebatas pada sekolah itu sendiri, perlu pembaharuan yang lebih menyeluruh pada tubuh sistem pendidikan nasional untuk merealisasikan ide ini. Konsep sekolah kita yang masih bergaya Neolib jelas tidak menjadi jawaban untuk mengatasi masalah hari ini. Hadirnya gagasan pendidikan berbasis kontekstual diyakini bisa membantu menengahi perdebatan kancah pendidikan yang terjadi.
Sudah seharusnya kedaulatan untuk menyelenggarakan pendidikan sepenuhnya berada pada tangan rakyat. Pendidikan tak ubahnya salah satu sarana untuk mencapai kebebasan, setiap individu demi terciptanya masyarakat berkebebasan, seperti yang Alexander Berkman tuliskan dalam Anarkisme dan Revolusi Sosial, yakni, “Hidup di dalam kebebasan, di dalam anarki, akan memiliki arti lebih dari hanya sekedar membebaskan manusia dari ikatan politik dan ekonominya yang sekarang. Hal itu hanya merupakan langkah pertamanya, pendahuluan dari sebuah keberadaan manusia yang sejati. Yang jauh lebih besar dan lebih signifikan adalah hasil  dari kebebasan semacam itu, akibatnya pada pikiran manusia, pada kepribadiannya. Penghapusan kehendak”.

***

 
Daftar Pustaka
Topatimasang, Roem. 2007. Sekolah Itu Candu. : InsistPress Yogyakarta.
Freire, Paulo. 2000. Pendidikan Kaum Tertindas. : Pustaka LPE3ES.
Berkman, Alexander. 2001. Anarkhisme dan Revolusi Sosial. Jakarta: TePLOK PRESS.
 


Penulis adalah Mahasiswa Pendidikan Bahasa Daerah angkatan 2015 Universitas Pendidikan Indonesia, bergiat di Unit Kegiatan Studi Kemasyarakatan, sebagai anggota Biro Penelitian dan Pengembangan

Leave a Reply