"Kami Mogok, Kapal Tak Bisa Berlayar!" – Kisah Seorang Buruh Laut

11709521_501304403356379_6424124656619255600_n

Tapi ya begitulah, Namanya juga penjilat ya. Sementara itu, banyak yang tidak menggubris kapten. Di bawah, kami membicarakan lagi aksi kami barusan. Banyak kawan baru pertama kali melakukan mogok, dan muncul kesadaran bahwa pelaut punya kekuatan untuk menekan perusahaan tanpa negosiasi.


Bummi Sialang (28) adalah salah seorang buruh sektor laut yang telah bekerja di kapal dan pelabuhan selama kurang lebih 7 tahun. Dia lahir di Bulukumba, Sulawesi Selatan, dan besar di Tandes, Surabaya. Lahir di keluarga dan tumbuh di lingkungan buruh membuatnya akrab dengan aktivitas gerakan buruh. Sebelum menjadi pelaut, dia pernah terlibat dalam serikat buruh, dan organisasi buruh anarko-sindikalis yang hingga sekarang masih dibangunnya bersama kawan-kawannya. Pendidikannya di akademi pelayaran membawanya masuk dalam geliat kehidupan buruh di lautan.
Pada September 2012, saat kapal tempatnya bekerja sampai di tengah laut Banda, dia dan seluruh buruh kapal merencanakan mogok kerja di dermaga Tobelo. Absennya asuransi kesehatan dan jiwa membuat para buruh kapal meradang. Konflik dan ketegangan selama 4 jam di dermaga akhirnya mendesak perusahaan untuk memenuhi tuntutan. Kemenangan tersebut masih membekas dalam ingatan Bummi dan kawan-kawannya, memunculkan setitik semangat dan kesadaran bahwa buruh punya kekuatan jika mereka bersatu melawan perusahaan tanpa kompromi.
Pada Sabtu, 4 Juli 2015, Anarkis.org melakukan video call dengan Bummi. Dari asrama pekerja pelabuhan di Samarinda, sebelum berangkat bekerja di lokasi operasi pemanduan kapal selama 6 hari esok harinya,  dia menyempatkan diri untuk menuturkan kisahnya sebagai buruh laut, pengalamannya dalam gerakan buruh, serta pandangan-pandangan dan harapannya pada gerakan buruh di Indonesia.
Bisa ceritakan perjalanan hidupmu sejak kecil hingga menjadi buruh laut?
Saya besar di keluarga buruh. Ibu saya ibu rumah tangga, ayah saya buruh pelabuhan. Daerah tempat saya tinggal, di Tandes, Surabaya, merupakan salah satu daerah basis buruh yang besar, banyak pabrik dan pemukiman buruh. Sejak kecil, saya akrab dengan aktivitas buruh mulai dari demonstrasi, mogok, sampai lagu-lagunya. Yang saya ingat adalah lagu Marsinah dalam bahasa Jawa, yang penuh dengan cerita sadis tentang pembunuhan Marsinah. Saya dan kawan-kawan juga akrab dengan turnamen-turnamen  sepak bola yang diadakan oleh gabungan serikat buruh di masing-masing perusahaan. Setiap pabrik membentuk tim sepak bolanya yang terdiri dari para buruh. Kalau ada pertandingan, kita nonton terus jadi supporter. Kalau pertandingan selesai, gantian kita yang main [tertawa]. Jadi, sangat terlihat bagaimana kegiatan buruh dan serikat merasuk dalam kehidupan sosial di daerah tempat saya tinggal.
Saya lulus SMA tahun 2005, 7 tahun sejak Soeharto turun. Di tahun itu, aktivitas gerakan buruh cukup sepi. Tahun 2006, saya bekerja di sebuah pabrik kayu. Tapi kondisi ekonomi dan lingkungan kerja buruk. Jadi saat kita motong-motong kayu, serbuknya bertebaran dan berbahaya untuk pernapasan. Saya tidak tahan, dan akhirnya memutuskan keluar setelah 6 bulan bekerja. Tahun 2007, saya masuk sekolah pelayaran bidang radio dan elektronika hingga lulus tahun 2008 dan mulai kerja di laut, di sebuah perusahaan pelayaran. Hingga sekarang, saya terus bekerja di sektor laut dengan perusahaan-perusahaan yang berbeda.
Bagaimana proses kedekatanmu dengan wacana dan praktik gerakan buruh?
Saat bekerja di pabrik kayu itu, saya sempat aktif di PUK SPSI. Hanya saja, ya itu, organisasinya aktif hanya saat koordinasi menjelang aksi May Day [tertawa]. Selain itu, saya bertemu dengan kawan-kawan yang dekat dengan wacana dan praktik gerakan sosial. Saya membaca Karl Marx dari buku seorang kawan yang kuliah di Universitas Airlangga. Di referensi buku itu, saya membaca rujukan ke paham kiri seperti Marxisme, Anarkisme, Sindikalisme, dan mulai mencari-cari sendiri di internet. Saya kemudian banyak bertemu dengan lingkaran-lingkaran aktivis dan kadang ikut diskusi di forum mereka. Mayoritas, saya dekat dengan lingkar-lingkar gerakan anarkis.
Pada tahun 2011-12, kami membangun Workers Power Syndicate (WPS) di Surabaya. Kami memulainya dari pertemuan dan diskusi seputar anarkisme. Setelah beberapa kali pertemuan, mulai muncul embrio organisasi, yang masing-masing membuat kesepakatan dan komitmen untuk mengorganisir di tempat kerjanya masing-masing. Pengorganisiran ini mempromosikan tendensi anarkis, namun penekanannya pada hal metodis ketimbang teoretis. Jadi, berangkat dari masalah ekonomi buruh yang nyata, kita coba mendorong aksi lewat metode anarkis. Kami juga memperluas WPS ke beberapa kota, yaitu Gresik, Sidoarjo, dan Cibinong.  Di Gresik, sempat terjadi aksi langsung yang menarik. Jadi, buruh-buruh berhasil menduduki, menyita dan bahkan melego rumah bos, lalu hasilnya dibagi rata sama kawan-kawan buruh. Tapi belakangan, WPS terseok-seok setelah sebelumnya beberapa pengorganisir terlibat masalah yang kurang substansial bagi gerakan buruh.
Menurutmu, apa yang membedakan buruh laut dengan buruh di sektor lain?
Buruh perkapalan, khususnya pelaut, punya keterampilan khusus yang didapatnya dari pendidikan keterampilan yang khusus pula. Selain itu, proses kerjasama yang erat di atas kapal membangun kedekatan emosional. Menyadari keterampilan khususnya, buruh laut punya posisi tawar yang relatif lebih kuat di hadapan bos, misalnya dalam negosiasi gaji. Buruh laut cenderung tidak mau lewat jalur negosiasi. Kesadaran bahwa “perusahaan lah yang membutuhkan kita, bukan kita yang butuh perusahaan” relatif lebih kuat di sektor ini.
Buruh laut sering juga melakukan aktivitas ‘gelap’ untuk mendapatkan keuntungan ekonomi, seperti jual minyak, jual muatan, dan hasilnya mereka bagi rata. Di luar kesepakatan dengan perusahaan, penjualan ‘gelap’ ini sering terjadi. Apalagi gaji pelaut-pelaut di Indonesia, khususnya ABK, masih ada yang  digaji sekitar 1 juta per bulan.
Selain itu, sepengetahuanku, belum ada organisasi revolusioner untuk buruh laut. Solidaritas biasanya hanya terjadi di dalam satu kapal saja karena pekerjanya sering bertemu.
Bisa gambarkan sedikit tentang pembagian kerja dan relasi antar pekerja di dalam kapal?
Pembagian kerja dan relasi sosial di kapal sangatlah hierarkis. Orang memandang dan menghormati orang lain dari jabatannya. Yang paling atas, ada kapten kapal. Umumnya, kapten kapal adalah orang-orang atau wakil perusahaan yang punya otoritas penuh untuk mengatur dan memonitor aktivitas awak kapal, termasuk melarang aktivitas-aktivitas ‘gelap’ tersebut, dan menekan efisiensi pengeluaran perusahaan sesuai kepentingan perusahaan. Jadi, kapten kapal biasanya sangat memihak perusahaan.
Di bawahnya ada tiga departemen, yaitu departemen mesin, departemen dek, dan departemen radio. Masing-masing departemen dikomandoi oleh 3 perwira yang membawahi Anak Buah Kapal (ABK). Di departemen mesin ada perwira mesin (Masinis), Mandor, Juru Minyak, Electrician, Fitter dan Weeper.  Di departemen dek, ada perwira dek (Mualim) serang (koordinator kerja harian), juru mudi, kelasi dan kadet. Di departemen radio, ada perwira radio (Markonis) yang membawahi koki dan pelayan untuk mengatur makanan dan keuangan, serta administrasi kapal.
Struktur ini sangat mempengaruhi hubungan di atas kapal. Kapten dan perwira mengeluarkan instruksi, ABK harus mentaati.  Bahkan meja, tempat, dan jenis makanan pun dibedakan. ABK tidak boleh makan di ruang, meja, dan makanan perwira. Tapi yang menarik, perwira juga masih bisa terpengaruh oleh kelas di bawahnya. Karena pembagian kerja semacam itu hanya berlaku di atas kapal, maka saat di darat atau diluar jam kerja hubungannya jadi berbeda. Perwira-perwira kadang diolok-olok kalau sudah di darat, mereka sendiri pun entah malu atau bosan memerintah terus di atas kapal akhirnya meminta ABK untuk tak menyebut-nyebut atau menyinggung jabatannya saat di darat. Apalagi, kalau sampai ada pedagang yang tahu bahwa orang tertentu adalah perwira, biasanya pedagang kasih harga mahal buat perwira [tertawa].
 

11721962_1014507451906574_1925140255_n

Foto Bummi bersama kru kapal pada tahun 2012, di Luwuk, Banggai. Para kru kapal tengah mengadakan acara rutin bulanan, yaitu makan-makan bersama dari sedikit hasil uang ‘tidak terduga’ yang mereka dapatkan.


 
Apa yang terjadi di Tobelo pada September 2012, dan bagaimana kronologinya?
Saat itu angin bertiup dari timur. Kami berada di laut Banda, jaraknya 2 hari dari Tobelo. Ide mogok muncul spontan saja dari pembicaraan saat makan siang, dan akhirnya menjalar ke kepala kawan-kawan lain. Jadi, saat makan, ada yang nyeletuk, “Ini semua yang ada di kapal, muatan kapal, diasuransikan, sementara kita yang bawa kapal tidak. Kalo terjadi apa-apa dengan kapal, tenggelam, lalu kita hilang, kita dan keluarga  dapat apa?”
Pembicaraan ditanggapi dan jadi serius di kalangan ABK, menjalar ke kordinator dek dan mesin, sampai perwira. Karena sekat tempat dan posisi, kapten tidak makan bersama kami, dan tidak tahu berjalannya pembicaraan dan aktivitas kami di bawah. Kami sepakat untuk membuat surat tuntutan yang ditandatangai semua kru kapal. Kami meminta kapten untuk tanda tangan juga, tapi dia tidak mau dan malah marah-marah. Akhirnya, kami mengabaikan kapten dan langsung mengirim hasil scan-scanan surat ke perusahaan lewat email.
2 hari berlalu, tapi perusahaan tidak merespon. Akhirnya, kami kirim surat tuntutan lagi untuk kedua kalinya. Namun, sampai kami tiba di Tobelo dan turun ke darat, belum ada respon. Saya temui kru kapal satu per satu untuk melanjutkan pembicaraan di darat. Gerak-gerik kapten kapal sudah tidak nyaman dengan tindak-tanduk kami. Tiga hari di Tobelo, kami melakukan bongkar-muat kapal seperti biasanya. Hingga hari terakhir, dan kapal siap berangkat, perusahaan belum juga merespon. Akhirnya, kami sepakat akan melakukan mogok kerja sampai tuntutan dipenuhi. Karena kami tahu, kalau kami mogok, kapal tak bisa berlayar!
Kapal siap berangkat. Kapten mengeluarkan 1-hour notice (pemberitahuan 1 jam sebelum keberangkatan), dan saya diminta untuk memberitahukannya ke tiap kamar dan kru kapal, dari ABK sampai perwira departemen. Tapi semua sepakat mogok, tidak mau berlayar. Mesin tidak dinyalakan, semua kru kapal turun ke dermaga, kami walk-out,  kapal kosong, dan tinggal kapten sendirian di anjungan kapal. Saya diminta oleh kawan-kawan tetap berada di stasiun radio untuk memantau komunikasi dengan perusahaan.
Kapten marah dan telepon kantor. “Udah, pecat aja mereka semua ini!” katanya sambil marah-marah di telepon. Sementara itu di dermaga, sudah ramai sekali karena dermaga mau dipakai oleh kapal selanjutnya. Otoritas pelabuhan negara sampai datang dan memaksa kru kapal untuk naik, beberapa kru kapal hampir ribut dengan otoritas negara, sementara sisanya tetap duduk-duduk dan bertahan di dermaga.
4 jam berlalu, dermaga makin ramai. Kami tetap bertahan karena tahu posisi kami kuat. Perusahaan terancam rugi besar kalau tidak menuruti tuntutan kami: pengiriman kru kapal pengganti sulit dilakukan dan memakan banyak biaya karena kami jauh dari markas perusahaan di Surabaya. Keagenan kapal setempat dan syahbandar menawarkan untuk negoisasi. Tapi kami menolak dan terus bertahan.  Karena terdesak, akhirnya perusahaan menyepakati semua tuntutan kami. Kami menang! Kami diminta untuk segera kembali untuk menandatangai berkas-berkas asuransi kami.
Selama di perjalanan pulang, kapten marah-marah. “Ini apa kalian pelaut kok pada pake mogok segala! Ini perusahaan rugi besar!” katanya. Tapi ya begitulah, Namanya juga penjilat ya [tertawa]. Sementara itu, banyak yang tidak menggubris kapten. Di bawah, kami membicarakan lagi aksi kami barusan. Banyak kawan baru pertama kali melakukan mogok, dan muncul kesadaran bahwa pelaut punya kekuatan untuk menekan perusahaan tanpa negosiasi.
Bagaimana perkembangan selanjutnya pasca mogok?
Nah, ini penting diamati. Kebanyakan kru kapal kemudian hanya tersulut jika ada persoalan ekonomi saja. Tapi setelah masalah ekonominya selesai, tuntutan sudah tidak ada lagi, ya sudah kembali ke normalitas kerja. Tugasnya kemudian adalah bagaimana menjaga kesadaran ekonomi ini tetap ada dan mendorong hingga ke kesadaran politik. Pendidikan politik adalah salah satu kuncinya.
Apakah ada pengalaman aksi yang gagal?
Ya, ada. Baru-baru ini perjuangan ekonomi kita gagal di perusahaan lain tempat saya bekerja sekarang, di salah satu perusahaan yang bergerak di jasa layanan pemanduan kapal asing di Samarinda. Karena ini pekerjaan di darat, maka komposisi dan relasi pekerjanya pun berbeda dengan yang di atas kapal. Kita coba menuntut perbaikan kondisi ekonomi, tapi gagal karena beberapa sebab.
Pertama, karena ada perbedaan komposisi pekerja di sini. Di satu sisi, ada pelaut berbasis pendidikan keterampilan khusus pelayaran seperti saya. Di sisi lain, ada pekerja yang latar belakangnya pendidikan yang lebih umum, seperti sarjana. Kelompok pertama punya posisi tawar yang relatif lebih kuat karena jumlahnya yang tidak banyak, dan kultur yang lebih dekat satu sama lain. Sementara, kelompok kedua cenderung lebih cari aman, cari selamat dan kompromis, dan kultur yang lebih individualis.
Kedua, kontrol perusahaan jauh lebih ketat di sini. Home base perusahaan berada satu kota dengan lokasi kerja, dan saat tuntutan diajukan, perusahaan bisa dengan cepat mengintimidasi dan memecah buruh. Kalau kita sedikit menonjol dan mengajak membahas sesuatu di luar kerja, perusahaan cepat tahu. Ibaratnya, “dinding-dinding pun punya telinga” karena banyak buruh masih loyal pada perusahaan. Jadi, yang lebih banyak terjadi adalah konflik horizontalnya, antara buruh yang ingin perubahan dengan mereka yang penjilat. Aku rasa, kita perlu belajar dari serikat buruh yang sudah berpengalaman melakukan mogok dan memobilisasi ribuan buruh di darat.
Apa pandanganmu mengenai mayoritas serikat buruh di Indonesia?
Pertama, struktur serikat yang masih sentralis dan elitis merupakan masalah. Kecuali di PUK-PUK-nya yang biasanya ditempati oleh buruh sendiri, mayoritas struktur di atas PUK-PUK diisi oleh elit-elit yang tidak bekerja seperti buruh lainnya, tapi hanya jadi birokrat serikat dan digaji. Saya tidak sepakat dengan struktur seperti itu. Kita tidak butuh menggaji orang yang terpisah dan hanya jadi birokrat organisasi saja. Ini akan menciptakan jurang dengan buruh, sehingga terbentuk kaum-kaum intelektual minoritas berbayar dalam organisasi buruh. Saya tidak setuju.
Kedua, kesenjangan ini akhirnya membuat kekuasan di tingkat elit korup, sementara mayoritas anggota serikat jadi tidak terlalu peduli dengan pengelolaan organisasi. Kontrol buruh atas organisasinya sendiri kendor. Akhirnya, banyak yang ikut serikat sebagai formalitas saja dan tidak punya rasa memiliki. Saya pernah melibatkan diri dalam aksi serikat buruh yang besar di Indonesia yang bisa menurunkan ribuan buruh. Tapi aku mendengar sendiri buruh-buruh bercerita bahwa mereka tidak menikmati aksi tersebut, semata-mata senang hanya karena bergerombol.
Kesenjangan ini juga bisa dilihat dari bagaimana aksi sweeping buruh saat mogok masif. Banyak serikat melakukan tindakan koersif dengan memaksa buruh untuk ikut aksi. Hal macam ini tidak menyelesaikan permasalahan yang utama: kurangnya pendidikan buruh yang intens. Buktinya, banyak buruh yang malah pulang ke rumah atau istirahat ketimbang ikut berjuang. Perjuangan yang berangkat dari paksaan sulit untuk berhasil.
Kurangnya pendidikan ini juga seringkali kembali lagi ke korupnya elit-elit serikat buruh itu. Pendapatan serikat, lewat iuran buruh misalnya, itu kan besar tuh. Seringkali output yang dipake untuk perjuangan itu minim sekali. Pendidikan-pendidikan jarang sekali dilakukan. Bahkan, ada salah satu serikat di Surabaya itu murni hanya formalitas saja. Pengurus serikat minta izin ke perusahaan untuk bikin serikat. Sudah jadi, tapi ga ada aktivitas riil. Kerja sama dengan personalia dengan kesepakatan tertentu, kemudian gaji setiap bulan akan tertera pada keterangan di slip gaji “Biaya Serikat Buruh”. Nah, banyak buruh-buruh yang tidak sadar akan hal ini.
Harusnya, minimal serikat bisalah mengalokasikan pendidikan rutin setiap bulan beserta fasilitasnya. Hasil pendidikan minimal bisa buat terbitin buletin rutin, dan disebarkan gratis untuk semua buruh. Tapi ini jarang terjadi. Ya salah satunya karena dominasi dan kontrol elit-elit serikat tadi, dan ketidakpedulian buruh sendiri. Elit-elit ini biasanya resisten dengan orang ‘luar’ yang mencoba membawa gagasan-gagasan revolusioner.  Jadi kebodohan, ketidakpedulian ini sengaja dirawat supaya basis pendapatan ekonomi mereka tidak lari. Bahkan seringkali elit-elit ini tega memecah solidaritas sesama buruh untuk mempertahankan basis-basis buruhnya.
Apa pandanganmu mengenai solusi atas permasalahan mayoritas serikat buruh di Indonesia ini?
Pertama, kita sebagai buruh harus menaruh rasa curiga dan kekritisan pada elit-elit buruh dan struktur serikat elitis. Terapkan kontrol ketat, kritik dan audit kerja elit-elit serikat kita, audit pendapatan dan pengeluaran serikat. Cek apakah pemasukan sudah sesuai dengan pengeluaran untuk kemajuan buruh.
Kedua, alokasikan lebih banyak sumber daya untuk pendidikan buruh yang intens. Pendidikan yang memang menargetkan kesadaran dari dalam. Setelah kultur ini terbangun, mungkin baru bisa melihat kemungkinan terbentuknya serikat atau organisasi buruh yang desentral dan tidak elitis.
11700994_501304380023048_865162404866187780_o
Pertanyaan penutup. Menurutmu, bagaimana peluang dan kemungkinan terbentuknya serikat atau organisasi buruh yang desentral, non-elitis bahkan anarkis?
Masih sangat panjang jalan menuju serikat buruh yang desentral, non-elitis apalagi anarkis.
Tapi saya percaya, organisasi buruh yang terdesentralisir merupakan organisasi yang sangat ideal bagi pembangunan kekuatan buruh yang sejati, kontrol seluruh buruh dari bawah, tempat orang belajar satu sama lain. Aku memandang, struktur serikat yang elitis lah yang menghambat efesiensi dan efektifitas gerakan buruh.
Kita juga harus mengurangi dan akhirnya menghilangkan ketergantungan pada komando yang hierarkis. Jadi cukup konsensus atau kesepakatan bersama yang tertulis di atas kertas lah yang menjadi dasar kerja dan gerakan kita. Jadi, kesepakatan anggota inilah yang menjadi komando. Bukan lagi komando oleh orang-orang tertentu, tetapi kesepakatan yang udah disepakati dan dicetak. Ini mungkin salah satu tawaran untuk memutus ketergantungan pada elit-elit. Selain itu, harus juga dikurangi pos-pos yang menempatkan minoritas yang profesional, digaji tapi tidak bekerja dan terasing dari mayoritas buruh. Departemen-departemen dalam serikat buruh harus diisi dan dijalankan oleh buruh-buruh sendiri. Organisasi seperti serikat haruslah hanya menjadi pelayan buruh.
Manusia pada dasarnya tidak mau diperintah karena buruh yang bekerja lah yang paling tahu kebutuhannya. Elit-elit dalam organisasi buruh yang tidak bekerja dan tidak terlibat langsung dalam operasi kapital di tempat kerja akhirnya terasing dari buruh sendiri, dan jadi penguasa lokal. Selain itu, seringkali teori-teori  juga tidak sesuai dengan realitas di lapangan. Teori-teori yang kita pelajari harus terus diuji dengan pengalaman buruh langsung dan dipecahkan dalam praktik.
Oke, Bummi, terima kasih atas waktu dan ceritanya. Salam buat kawan-kawan di Samarinda!
Iya, sama-sama. Salam buat kawan-kawan di sana juga ya![]

You may also like...