Anarkisme dan Tradisi Anti-Intelektual

reinventing
Tidak cuma disalahkaprahi oleh awam, anarkisme juga masih terlalu ‘utopis’ bagi aktivis maupun sarjana di Indonesia. Jika di luar sana anarkisme, setidaknya, sudah cukup tinggi derajat labelnya sebagai sebuah ‘gerakan radikal’, di sini anarkisme cuma menjadi bahan olok-olok khalayak yang dengan semena-mena menempelkannya pada kelompok-kelompok fasis macam fundies agamis, bahkan polisi. Saya seringkali mendadak pening ketika membaca berita di media massa, ‘FPI bertindak anarkis’, ‘polisi menggunakan cara-cara anarkis untuk menghalau demonstran’, dan cerita-cerita absurd lainnya tentang anarkisme dan kekerasan. Entah apa yang ada di kepala si penulis berita, tapi bagi saya itu menjadi semacam ketololan yang akut.
Sudah lebih dari satu dasawarsa umur anarkisme sebagai ide dan gerakan di Indonesia. Di jaman Suharto, seperti yang kita semua tahu, tidak ada ide-ide radikal yang bisa hidup. Di awal kemunculannya hingga pertengahan 2000an, anarkisme berkembang cukup masif.  Setelah itu, redup. Generasi pertama anarkis di Indonesia seperti ditelan bumi. Hilang satu per satu, meski tetap meninggalkan jejak. Tetapi yang menjadi catatan saya adalah, anarkisme di era itu bisa tumbuh dengan baik, sebagai wacana kontekstual, maupun praktik. Kita bisa melihat jejak sejarahnya pada zine-zine yang diterbitkan kolektif-kolektif anarkis yang tersebar di berbagai kota. Dari ujung barat hingga timur. Anarkisme tumbuh bersama aktivisme di lapangan. Namun sayangnya, para anarkis enggan menyebut analisis-analisis mereka sebagai ‘karya ilmiah’. Label anti-intelektual kadung melekat bersamaan dengan kedatangan anarkisme di Indonesia. Mungkin, karena kampus dianggap sebagai otoritas yang menindas, sama seperti negara, agama, dan institusi lainnya.
Bagaimana anarkisme di kampus? Jangan ditanya. Tidak ada. Saya bisa bilang demikian karena saya mengalaminya sendiri beberapa tahun lampau ketika berusaha lulus dari salah satu kampus di Yogyakarta. Silakan saja cari skripsi, tesis atau desertasi yang mengulas tentang anarkisme sebagai ideologi. Sangat sedikit, bahkan nyaris tidak ada. Sarjana yang menaruh perhatian—jika bukan tidak tahu—pada anarkisme pun bisa dihitung dengan jari. Mungkin, baru beberapa tahun belakangan saja anarkisme mulai dikaji di kampus-kampus dan menjadi topik menarik untuk diskusi publik.
Jika komunisme dianggap sebagai ideologi ‘marjinal’ di sini, maka anarkisme lebih dari itu. Ibarat neraka, anarkisme berada di lapisan terbawahnya, menjadi kerak bersama ide-ide lain yang tersingkir dari arena tarung ideologi yang begitu hitam putih.
Sebagai ideologi, anarkisme cenderung praktis alih-alih teoritis. Mungkin itulah alasan mengapa anarkisme hanya mendapatkan ruang sempit dalam khasanah ideologi (yang dianggap) ilmiah. Antropolog cum aktivis, David Graeber pernah mengatakan, “kaum anarkis tidak pernah betul-betul tertarik membahas strategi atau pertanyaan filosofis yang secara historis kerap menyibukkan kaum Marxis—mereka enggan membahas sesuatu seperti: apakah kaum tani merupakan kelas revolusioner yang potensial? (Anarkis memandang persoalan ini lebih tepat diputuskan oleh kaum tani sendiri.)” Graeber sendiri tidak hendak mengatakan bahwa menjadi anarkis tidak boleh ‘berteori’. Justru ia menekankan pentingnya keterlibatan para sarjana radikal dalam gerakan anarkis, sembari menekankan pula bahwa tidak ada vanguardism di situ. “Clearly any such project has need of the tools of intellectual analysis and understanding. It might not need High Theory, in the sense familiar today. Certainly it will not need one single, Anarchist High Theory. […] what anarchism needs is what might be called Low Theory: a way of grappling with those real, immediate questions that emerge from a transformative project.” (Graeber, 2004).
Di Indonesia—dan mungkin di banyak negara—sebagian anarkis alergi dengan ‘teori’ anarkisme. Kadang malu-malu kucing menyebut diri anarkis dan bersembunyi di balik istilah ‘kemanusiaan’ atau ‘tanpa-label’ (sebagian bangga mendaku nihilis).
Graeber sendiri seorang anarkis. Ia tidak sungkan mengakui bahwa dirinya adalah sarjana anarkis, ketika banyak sarjana lain sungkan untuk menyebut diri anarkis, atau sebaliknya. Tentu Anda tahu Chomsky, si tua yang masih gemar berdebat dengan sarjana-sarjana Marxis yang lebih muda  darinya. Saya tidak perlu membahas sikap politiknya lagi di sini. Selain mereka ada juga Dilar Dirik, seorang aktivis Kurdi yang ‘menyumbangkan’ kemampuannya di bidang akademis untuk perjuangan pembebasan kaum Kurdi di Timur Tengah. Itu hanya tiga dari sekian banyak akademisi yang berjuang di medan perang pengetahuan. Bagi mereka, menunjukkan posisi politik adalah cara untuk mengidentifikasi kawan dan lawan.
Di masa lampau, ada lebih banyak lagi ‘sarjana’ anarkis yang membantu anarkis-anarkis hari ini memahami apa itu ‘anarkisme’. Mulai dari Godwin, Proudhon, Bakunin, Malatesta, dst. Salah satunya adalah Howard J. Ehrlich. Ia seorang sosiolog, aktivis, dan tentu saja, anarkis. Jiwa anarkis-nya tumbuh bersamaan dengan gejolak politik di era 60an yang didominasi oleh wacana antiperang. Mungkin awalnya ia adalah seorang nerd. Di umur 27 tahun, ia sudah mendapatkan PhD di Michigan State University. Pertemuannya dengan anarkisme pun terbilang unik. Pada sebuah demonstrasi, ia menyaksikan seseorang naik ke atas panggung, merebut mik, berteriak, lalu lari meninggalkan panggung. Rekannya sesama profesor mengatakan bahwa orang itu adalah ‘anarkis’. Namun rekannya kaget karena ternyata Ehrlich tidak tahu apa itu ‘anarkis’. Karena peristiwa itu, Ehrlich disarankan untuk membaca catatan korespondensi antara Marx dan Bakunin untuk tahu apa itu anarkisme. Ehrlich mengikuti saran itu. Setelah itu, dari seorang cupu, ia berubah menjadi seorang anarkis militan.
Bersama sejumah rekan sarjana dan aktivis ia membuat beberapa proyek yang menjadikan anarkisme sebagai pijakan ideologi: Research Group One (RG-1) collective, the Great Atlantic Radio Conspiracy (GARC) dan the Baltimore Free School.
Radio anarkis yang mereka buat, The Great Atlantic Radio Conspiracy (GARC), salah satu yang cukup keren, menurut saya. “The Great Atlantic Radio Conspiracy is a political radio group producing weekly half-hour programs of political analysis and the radical arts. Programs blend script, interviews, field recordings, and political music. We focus on current struggles, repression and resistance, revolution and radical alternatives, the radical arts and the building of a political culture.” (William dan Shantz, 2016).
Jika radio digunakan sebagai alat agitasi dan propaganda, maka ia menggunakan jurnal sebagai alat untuk mendekonstruksi pemahaman anarkisme publik. Ia dan rekan-rekannya mendirikan sebuah jurnal yang penting bagi perkembangan pemikiran anarkis bernama Social Anarchism. “They settled on the name Social Anarchism to emphasize the contrast of their sociological perspective with the popular caricatures of anarchism as individualistic, destructive, impetuous, or abstractly philosophical (generalizations that dominated both public and academic views of anarchism).”  Ia mencoba mengubah stigma anarkisme yang dikerdilkan menjadi sekadar destruktif, individualis dan abstrak, mengubahnya menjadi konstruktif, komunal dan kongkrit.
Social Anarchism juga bukan jurnal-jurnal-an. Penggarapannya dilakukan dengan betul-betul serius hingga menjadi jurnal akademis yang berpengaruh di eranya, pada 1980an. “This provided an opening not generally available for other anarchist publications and helped expand the reach of anarchist ideas from the streets and movements into academic fora. It also helped reach new readership among students and academic researchers.” Mungkin Graeber juga terinspirasi darinya ketika bilang bahwa gerakan anarkis juga butuh ‘analisis intelektual’. RG-1, kolektif riset yang disebut sebagai ‘people’s reseach group‘, menjadi wadah yang disediakan untuk tujuan tersebut. Wadah inilah yang akan menyediakan amunisi untuk “’push back’ against attacks on them and their communities, and radical research should provide the means for political and intellectual self-defense.”
Sebagai bayangan, kita bisa menengok bagaimana para sarjana di sini terlibat dalam gerakan perlawanan warga di Rembang, Kulonprogo, hingga Sidoarjo. Kehadiran mereka menjadi sangat penting untuk memperkokoh fondasi ‘kebenaran ilmiah’ yang selama ini menjadi senjata negara dan korporasi untuk melemahkan gerakan warga. Tentu kita tidak ingin melulu di-skakmat dengan pertanyaan basi “Anda sudah baca AMDAL”, bukan?
Di tengah medan peperangan yang luas, apapun bisa menjadi senjata, termasuk analisis-analisis yang dianggap tidak radikal oleh sebagian anarkis. Ehrlich, dengan bekal keilmuan yang diperolehnya selama menjadi ‘orang kampus’, telah memberi banyak kontribusi bagi gerakan anarkisme global, lebih spesifik Amerika.
Cerita-cerita di atas mungkin bisa membantu kita kembali melihat bagaimana peranan intelektual dalam gerakan yang seringkali dianggap remeh, bahkan dicibir, dalam ‘scene’ anarkis. Nyatanya, dalam banyak episode sejarah, mereka memberikan sumbangsih yang besar bagi teori dan praktik anarkisme. Mereka tidak memisahkan antara aksi ‘di belakang meja’ dan aksi ‘lapangan’, dan justru menjadikannya sebagai kesatuan kerja revolusioner yang utuh. Sialnya, sampai hari ini, masih saja ada yang mendikotomikan antara yang perjuangan ‘langsung’ dan ‘tidak langsung’. Aksi langsung kemudian disalahkaprahi menjadi sekadar aksi melempar molotov ke kerumunan polisi, atau bahkan sekadar ‘turun ke jalan’, dan seakan-akan menyebarkan gagasan melalui tulisan bukanlah sesuatu yang revolusioner. Soal yang satu ini, saya sepakat dengan wejangan Lenin bahwa tak ada gerakan revolusioner tanpa teori revolusioner. Every tool is a weapon if you hold it right.[]
Referensi
Graeber, David. Fragments of an Anarchist Anthropology. Chicago: Prickly Paradigm Press. 2004.
Williams, Dana and Shantz, Jefferey. “An Anarchist in the Academy, a Sociologist in the Movement The Life, Activism, and Ideas of Howard J. Ehrlich,” dalam Journal for the Study of Radicalism, Vol. 10, No. 2, 2016, pp. 101–122.

You may also like...

Leave a Reply