D.5 Apa yang menyebabkan imperialisme?

D.5 Apa yang menyebabkan imperialisme?

[toc]

Hanya satu kata: kekuasaan. Imperialisme adalah proses di mana satu negara mendominasi negaa lainnya secara langsung, melalui alat  politis, atau tak langsung, melalui alat ekonomi.

Seperti yang kita bicarakan daalam bagian berikutnya, imperialisme telah berubah setiap saat, khususnya selama satu abad terkhir (di mana bentuk dan metodenya telah berkembang sesuai dengan perkembangan kebbutuhan kapitalisme). Namun bahkan dalam masa-masa kejayaan kekaisaran, perkembangan imperialisme dikendalikan oleh kekuatan-kekuatan ekonomi. Untuk membuat sebuah negara kuat, negara tersebut harus didasarkan pada perekonomian yang kuat; dan dengan memperluas wilayah yang dikontrol negara, sama artinya  dengan meningkatkan kekayaan yang ada. Karena itu negara, sesuai dengan sifatnya,merupakan lembaga ekspansionis, dan orang-orang yang menjalankannya selalu ingin meningkatkan jangkauan kekuasaan dan pengaruh mereak. Hal ini dapat dilihat dari jumlah masif peperangan yang terjadi di Eropa selama 500 tahun terakhir, seiring dengan diciptakannya negara bangsa oleh para raja dengan mengumumkan tanah-tanah sebagai milik pribadi mereka.

Di sini kita akan memfokuskan terutama pada imperialisme kapitalis modern. Karena modal bergantung pada keuntungan dalam kapitalisme, ini artinya bahwa imperialisme modern lebih disebabkan oleh keuntungan dan faktor ekonomi lainnya daripada sekedar pertimbangan politik (meski jelas faktor ini memang memaainkan satu peran). Seperti yang terlihat dalam bagian D.5.1, imperialisme menguntungkan modal dengan menambah laahn keuntungan yang ada untuk negara impereialistis dalam pasar dunia. Hal ini adalah dasar ekonomi bagi imperialisme, dengan menizinkan masuknya impor barang dan bahan mentah yang lebih murah serta ekspor modal dari wilayah yang kaya modal ke wilayah yang miskin modal (untuk mendapatkan keuntungan dari upah yang lebih rendah serta kontrol dan hukum sosial berikut lingkungan yang lebih sedikit). Kedua hal itu berlangsung dengan mengorbankan bangsa yang ditindasnya. Sebagai tambahan, dengan memiliki kekaisaran, sama artinya dengan kemudahan untuk membuang barang yang diproduksi dengan biaya murah dalam negara imperialis ke pasar asing yang industrinya kurang berkembang, dan mengalahkan barang produksi lokal yang akibatnya menghancurkan perekonomian lokal sekaligus juga masyarakat dan kebudayaan yang didasarkan pada perekonomian tersebut. Pembangunan kekaisaran merupakan cara yang tepat untuk menciptakan pasar istimewa untuk barang seseorang.

Karena kapitalisme, sesuai dengan sifatnya, adalah sistem yang berdasarka pertumbuhan, maka ia harus melakukan ekspansi untuk terus dapat bertahan hidup. Karenanya, kapitalisme tanpa dapat dielakkan bersifat imperialistik. Dalam masyarakat pra kapitalis, seringkali terdapat resistensi kultural yang ekstensifterhdap usaha-usaha kapitalis asing untuk meningkaatkan pertumbuhan pasar bebas. Namun demikian, keinginan orang-orang “primitif” untuk “seperti itu” jarang sekali dihargai, dan “peradaban” pun dipaksakan kepadanya “demi kebaikan mereka sendiri”. Seperti yang disadari Kropotkin, “kekuatan diperlukan untuk terus menerus menjadikan ‘bangsa-bangsa yang tak beradab’ berada di bawah keadaan yang sama [dengan pekerja upahan]” [Anarchism and Anarchist Communism, hal.53]

Imperialisme selalu melayani kepentingan modal. Jika tidak demikian, jika imperialisme meamng buruk bagi bisnis, maka kelas pengusaha akan melawannya. Hala ini sebagian dapat menjelaskan mengapa kolonialisme pada abad 19 tak terjadi lagi (alasan lain adalah resistensi sosial terhadap dominasi asing, yang jelas membuat imperialisme menjadi tidak tepat bagi bisnis). Saat ini terdapat alat yang lebih efektif daripada kolonialisme langsung untuk memastikan bahwa negara-negara “terbelakang” tetap terbuka bagi eksploitasi modal asing. Setelah biaya yang diperlukan ternyata melebihi keuntungan yang didapat, imperialisme kolonialis mengbauh bentuknya ke dalam neo kolonialisme multinasional, pengaruh politik, dan ancaman kekuatan (lihat bagian berikutnya).

Seiring dengan semakin besarnya kapitalisme, kebutuhannya untuk melakukan ekspansi ke luar negeri menyebabkan terjadinya hubungan yang sangat erat dengan negara bangsa. Namun demikian, terdapat sejumlah persaingan bangsa-bangsa kapitalis, ketegangan dan konflik yang  terbangun di antara mereka adalah menyangkut masalah kontrol wilayah non kapitalis yang dieksploitasi. Jadi, persaingan internasional antara nagara-nagara majulah yang menyebabkan terjadinya kedua perang dunia.

Setelah Perang Dunia Kedua, negara-negara Eropa menyerah kepada tekanan yang diberikan AS dan gerakan-gerakan kemerdekaan nasional, serta memberikan “kemerdekaan” kepada banyak negara jajahannya (bisa kita tambahkan, bahwa tindakan AS itu tidak mencerminkan sikap altruistik karena kemerdekaan bagi koloni-koloni tersebut melemahkan saingannya dan juga membuka akses modal AS ke pasar-pasar ini). Proses ini diiringi dengan ekspansi modal di luar negara bangsa ke dalam korporasi multinasional. Sifat imperialisme dan perang imperialistik telah berubah mengikutinya. Saat ini, bentuk dominasi tak langsung lebih disukai dibandingkan memerintah langsung negara-negara terbelakang (yang juga terlalu mahal). Contoh perang imperialistik gaya baru adalah Vietnam, dukungan AS untuk Contras di Nikaragua dan Perang Teluk. Kekuatan ekonomi dan politik (contohnya ancaman pelarian modal atau sanksi) digunakan untuk menjaga tetap terbukanya pasar bagi korporasi-korporasi negara maju, dan intervensi militer digunakan hanya bila diperlukan.

Tak perlu dikatakan, Uni Sovyet juga berpartisipasi dalam pertualangan imperialis, meski pada skala yang lebih rendah dan untuk alasan yang jelas berbeda. Seperti yang dapat dilihat melalui kebijakan zalim Rusia terhadap satelitnya. Imperialisme Rusia lebih condong pada pertahanan atas apa yang telah dimilikinya dan penciptaan zona penyangga antara Rusia dan Barat. Tak seperti sebagian besar kekaisaran, arus uang biasanya malah keluar, bukan masuk, ke dalam Uni Sovyet. Kaum elit Sovyet juga membantu gerakan-gerakan “anti imperialis” ketika hal itu membawakan kepentingannya yang (seiring dengan tekanan AS yang menutup pilihan-pilihan lain) menempatkan mereka dalam lingkugan pengaruh Sovyet.

Jelas kaum anarkis melawan imperialisme dan perang imperialistik. Kebebasan tak mungkin dapat tercapai sementara masih tergantung pada kekuatan orang lain. Jika modal yang digunakan seseorang dimiliki oleh negara lain, ia berada dalam posisi yang sulit untuk melawan permintaan negara itu. Untuk dapat memerintah sendiri, suatu komunitas secara ekonomis harus independen. Sentralisasi modal yang ditunjukkan imperialisme memiliki arti bahwa kekuasaan berada di tangan orang lain, bukan pada orang-orang yang secara langsung dipengaruhi keputusan yang dibuat oleh kekuasaan itu. Jadi kapitalisme segera menciptakan perekonomian yang terdesentralisasi, sehingga masyarakat bebas tidak mungkin terjadi.

Hal ini tidak berarti bahwa kaum anarkis sangat mendukung gerakan kemerdekaan nasional atau bentuk nasionalisme apapun. Kaum anarkis melawan nasionalisme sama halnya seperti mereka melawan imperialisme–yang tidak memberikan jalan bagi terciptanya masyarakat yang bebas. (lihat bagian D.6 dan D.7 untuk keterangan lebih lanjut)

D.5.1 Bagaimana imperialisme megalami perubahan dari waktu ke waktu?

Imperialisme memiliki keuntungan ekonomi yang penting bagi mereka yang menjalankan perekonomian. Karena kebutuhan kelas pengusaha berubah, bentuk-bentuk yang dijalankan imperialisme juga berubah. Kita dapat memgidenntifikasikan tiga fase utama: imperialisme klasik (yaitu penakhlukan), imperialisme tak langsung (ekonomi), dan globalisasi. Kita akan membicarakan dua yang pertama dalam bagian ini dan globalisasi dalam bagian D.5.3. Namun demikian, untuk semua pembicaraan mengenai globalisasi dalam tahun-tahun ini, penting untuk diingat bahwa kapitalisme telah menjadi sistem internasional dan bahwa perubahan bentuk imperialisme merefleksikan sifat keinternasionalannya, dan bahwa perubahan dalam imperialisme merupakan respon terhadap perkembangan dalam kapitalisme itu sendiri.

Penakhlukan langsung memiliki keuntungan dengan membuka lebih banyak lagi wilayah bumi ini untuk pasar kapitalis, sehingga menyebabkan semakin banyak lagi perdagangan serta eksploitasi bahan mentah dan pekerja (dan sering juga perbudakan) Hal ini memberikan dorongan masif, baik kepada negara maupun industri dalam negara-negara yang  melakukan invansi untuk mendapatkan keuntungan baru, sehingga meningkatkan jumlah kapitalis dan parasit sosial lainnya yang ada dalam negara maju. Seperti catatan Kropotkin pada saat itu, “Inggris, Prancis, Belgia, dan kapitalis lainnya, yang mendapat keuntungan dengan mengeksploitasi negara-negara yang  tidak memiliki industri maju, saat ini mengendalikan kerja ratusan juta orang-orang itu di Eropa Timur, Asia, dan Afrika. Hasilnya adalah bahwa jumlah orang-orang tersebut di negara-negara industri maju  Eropa, yang hidup  dari kerja orang lain, secara berangsur-angsur bertambah.” (“Anarchism and Syndicalism”, dalaam Black Flag no.210, hal 26).

Proses ekspansi ke  dalam  wilayah non  kapitalis ini juga  membantu modal untuk menghindari tekanan ekonomi subyektif maupun obyektif yang menyebabkan munculnya lingkaran bisnis (lihat bagian C.7-”Apa yang menyebabkan lingkaran  bisnis kapitalis?” untuk  keterangan lebih jelas  mengenai  hal ini). Karena kekayan yang dirampas dari negara “primitif” diekspor kembali ke negara asal, tingkat keuntungan dapat dilindungi dari tuntutan para pekerja dan dari deklinasi relatif apapun dalam produksi nilai lebih dengan meningkatkan investasi modal (lihat bagian C.2 untuk keterangan lebih lanjut  mengenai nilai lebih). Pada kenyataannya, imperialisme seringkali menyebabkan kelas pekerja dari negara yang  menyerang menerima perbaikan upah dan kondisi hidup karena negara mengimpor kekayaan rampasan tersebut. Dan karena keturunan kaaum miskin beremigrasi ke koloni-koloni untuk memperbaiki hidup mereka  sendiri di tanah curian, kekayaan yang  dihisap dari koloni-koloni tersebut membantu mengatasi reduksi suplai pekerja di dalam negeri yang tentu saja dapat meningkatkan harga pasarnya. Perampasan  ini juga membantu mereduksi tekanan kompetitif pada perekonomin bangsa. Tentu saja, keuntungan dari penakhlukan ini tidak dapat menghentikan secara total lingkaran bisnis  ataupun menghapus  persaingan, seperti yang akan segera dialami bangsa-bangsa imperialistik.

Fase pertama imperialisme dimulai karena pertumbuhan ekonomi kapitalis mulai mencapai perbatasan pasar yang nasional yang diciptakan negara dalam wilayahnya sendiri. Maka imperialisme digunakan untuk berekspansi ke wilayah-wilayah yang dapat dijadikan koloni dengan modal yang dihubungkan dengan negara bangsa tertentu. Namun demikian tahap ini berakhir setelah kekuatan dominan membagi planet ini ke dalam lingkup pengaruh yang berbeda dan tak ada lagi tempat baru untuk diekspansi. Dalam persaingan untuk meningkatkan penjualan dan akses menuju bahan mentah yang murah dan pasar asing, negara bangsa mulai saling berkonflik. Karena konflik mulai tampak, negara-negara Eropa besar mencoba membentuk “perimbangan kekuatan” (balance of power). Artinya, angkatan bersenjata dibentuk dan angkatan laun diciptakan untuk menakut-nakuti nagara lain, sehingga mengelakan terjadinya peperangan. Sayangnya, penilaian tersebut tidak cukup untuk menghentikan proses kekuasaan dan perekonomian yang sedang berlangsung. Perang memang pecah, perang yang dihadapi semua kekaisaran dan pengaruh, sebuah perang, yang diklaim, bahwa akan mengakhiri semua peperangan. Dan seperti yang kita ketahui, ternyata tidak demikian.

Setelah Perang Dunia Pertama, identifikasi negara bangsa dengan modal nasional menjadi lebih jelas, dan dapat dilihat dalam bangkitnya intervensi negara untuk tetap melangsungkan kapitalisme–contohnya, bangkitnya fasisme di Italia dan Jerman serta usaha-usaha pemerintah  “nasional” di Inggris dan AS untuk “menyelesaikan” masalah krisis ekonomi  dalam Depresi Besar. Seiring dengan peningkatan metode proteksionis dan stagnasi pertumbuhan modal, terjadinya perang yang lain hanyalah masalah waktu saja.

Setelah Perang Dunia Kedua, imperialisme berubah di bawah tekanan berbagai gerakan kemerdekaan nasional. Seperti yang disadari Kropotkin, gerakan sosial semacam itu memang diharapkan seiring dengan pertumbuhan kapitalisme “jumlah orang yang memiliki kepentingan dalam kapitulasi sistem negara kapitalis juga meningkat.” (Peter Kropotkin, Op.Cit, hal.26) Sayangnya gerakan-gerakan “kemerdekaan” ini mentransformasikan perjuangan massa dari perjuangan potensial melawan kapitalisme ke dalam gerakan yang bertujuan untuk kemerdekaan negara bangsa kapitalis. Namun demikian, perjuangan inii memastikan bahwa kapitalisme harus mengubah dirinya di hadapan perlawanan rakyat dan bentuk lama imperialisme digantikan oleh sistem baru “neo-kolonialisme” dalam koloni-koloni “medeka” yang baru di mana mereka dipaksa membuka batas-batas negara mereka untuk modal asing, melalui tekanan ekonomi dan politik. Jika sebuah negara memilih posisi yang  dianggap “buruk untuk bisnis” oleh para kekuatan imperial, akan diambil tindakan, dari sanksi hingga invasi sekaligus.Menjaga dunia tetap terbuka dan “bebas” untuk eksploitasi kapitalis adalah kebijakan umum Amerika sejak 1945. Kebijakan  itu secara langsung  diakibatkan oleh  kebutuhan ekspansi modal swasta sehingga tak dapat  diubah.

Investasi modal dalam negara berkembang terus meningkat dari tahun ke tahun, dan  keuntungan dari  eksploitasi buruh murah kembali mengalir ke kantong para elit korporat di negara-negara imperialis, bukan untuk seluruh warga negaranya (meski  kadang-kadang tedapat keuntungan sementara untuk kelas-kelas lain seperti yang akan dibicarakan nanti). Senbagai tambahan, negara-negara lain “terdorong” untuk membeli barang-barang negara imperialis (seringkali sebagai pertukaran atas “bantauan” khususnya bantuan militer) dan meembuka pasar mereka untuk perusahaan yang memiliki kekuatan domianan beserta produk mereka. Imperialisme hanyalah alat untuk mempertahankan investasi asing kelas kapitalis sebuah bangsa, serta dengan membiarkan terjadinya penghisapan keuntungan dan penciptaan pasar, imperialisme juga menjamin masa depan modal swasta.

Jadi, imperialisme tetap ada karena pemerintah Barat (yaitu AS) terus menyediakan dana besar untuk penguasa sayap kanan dalam “bantuan asing” yang semu. Tujuan nyata  dari bantuan asing ini, retorika yang tampak menghargai kebebasan dan demokrasi, adalah untuk memastikan bahwa tatanan  dunia yang ada saat ini tetap utuh. “Stabilitas” telah menjadi semboyan imperialis modern  yang melihat gerakan apapun dari rakyat pribumi sebagai ancaman bagi tatanan dunia yang ada.

Hal ini dilakukan dengan menyalurkan  dana publik untuk kelas bisnis kaya di negara-negara dunia ketiga. AS dan kekuatan Barat lainnya menyediakan banyak peralatan  perang yang diperlukan dan melatih pemerintah negara-negara tersebut sehingga mereka dapoat terus menjaga iklim bisnis yang ramah untuk investor asing (yang artinya mendukung secara diam-diam dan nyata fasisme di dunia ini). Pada dasarnya, “bantuan asing” adalah ketika kaum miskin di negara-negara kaya memberikan uang mereka kepada orang-orang kaya di negara-negara miskin untuk memastikan bahwa investasi orang-orang kaya di negara-negara kaya aman dari orang-orang miskin di negara-negara miskin!

(Tak perlu dikatakan, para pemilik perusahaan yang menyediakan “bantuan” ini juga melakukannya dengan sangat baik).

Jadi perekonomian negara dunia ketiga mengalami kemerosotan di bawah beratnya tekanan penindasanyang didanai dengan baik, sementara negara-negara tersebut dihisap  hingga kering oleh kaum kaya pribumi mereka, atas  nama “pembangunan” dan dalam semangat “demokrasi dan kebebasan”. AS memimpin Barat dalam tanggung jawab globalnya (desas-desus favorit lainnya) untuk memastikan jenis  “kebebasan”  yang aneh initetap tak dapat diubah oleh gerakan pribumi lainnya. Jadi rezim fasis tetap tunduk dan patuh pada Barat, kapitalisme tumbuh subur tanpa halangan, dan keadaan buruk orang-orang di mana saja semakin memburuk. Dan jika sebuah rezim menjadi terlalu “independen”,  kekuataan militer selalu menjadi satu-satunya pilihan (seperti yang dapat dilihat dari Perang Teluk 1990).

D.5.2 Apa hubungan antara imperialisme dan kelas sosial dalam kapitalisme?

Hubungan antara kelas berkuasa dan imperialisme sangat sederhana. Sehubungan dengan kebutuhan  modal  untuk tumbuh, mendapatkan pasar dan bahan mentah, modal berusha berekspansi ke luar negeri (lihat bagian D.5). Akibatnya, diperlukan kebijakan luar negeri yang ekspansionis dan  agresif, yang tercapai dengan membeli politisi, mengawali kampanye propaganda media, mendanai think tank sayap kanan, dll, seperti yang telah dideskripsikan sebelumnya. Jadi kelas berkuasa mendapat keuntungan dari imperialisme, sehingga biasanya memberikan dukungan,–hanya ketika biayanya melampaui keuntungan maka para anggota elit akan melawannya (contohnya seperti dalam tahap terakhir perang Vietnam, ketika jelas AS tidak akan menang).

Hubungan antara kelas pekerja dan imperialisme lebih  kompleks. Perdagangan luar negeri dan ekspor modal seringkali memungkinkannya mengimpor barang-barang yang murah dari luar negeri dan meningkatkan keuntungan untuk kelas kapitalis, dan dalam hal ini, para pekerja juga mendapat keuntungan karena mereka dapat memperbaiki standar kehidupan mereka tanpa perlu berkonflik dengan majikan mereka. Terlebih lagi, ekspor modal dan pembiayaan militer di bawah kebijakan imperialistik akan membawa angka keuntungan yang lebih tinggi dan membantu mereka menghindari resesi untuk sementara, sehingga menjaga tetap rendahnya angka pengangguran merupakan konsekuensinya. Jadi dalam hal ini para pekerja juga mendapatkan keuntungan. Karena itu, dalam bangsa-bangsa imperialistik selama saat-saat boom ekonomi, terdapat tendensi di antara kelas pekerja (khususnya sektor yang tak diorganisir) untuk mendukung petualangan militer asing dan kebibjakan luar negeri yang agresif. Hal ini adalah bagian dari apa yang seringkali disebut “pemborjuisan” kaum proletariat, atau kooptasi pekerja oleh ideologi kapitalis dan propaganda “patriotik”.

Namun demikian, segera setelah persaingan antara kekuatan imperialis menjadi terlalu intens, kaum kapitalis akan berusaha mempertahankan angka keuntungan mereka dengan menekan upah dan memecat orang dalam negara mereka sendiri. Upah riil pekerja juga akan menurun jika pembiayaan militer melebihi titik tertentu. Terlebih lagi, jika militerisme menyeabkan perang yang sesungguhnya, kelas pekerja akan mengalami lebih banyak kerugian daripada keuntungan. Sebagai tambahan, meski imperialisme dapat memperbaiki kondisi hidup (untuk saat itu), imperialisme tak dapat menghapuskan sifat kapitalisme dan karenanya tak dapat menghentikan perjuangan kelas, semangat revolusi dan naluri kebeasan. Jadi, meski para pekerja mendapat keuntungan dari imperialisme, periode itu tak dapat berlangsung lama dan “pada akhirnya perlawanan yang berlangsung terus menerus dan lebih fundamental dari kelas pekerjapasti  muncul ke permukaan. Seperti issue lainnya, pada hal inilah, kepentingan serta kebijakan  modal dan pekerja secara fundamental bersifat antagonistik.” (Paul Sweezy, Theory of Capitalist Development, hal. 316)

Jadi Rudolf Rocker memang benar ketika menekankan sifat kontradiktif (dan penundukkan diri) dari dukungan kelas pekerja untuk imperialisme:

“Memang beberapa kenyamanan kecil kadang-kadang didapatkan pekerja ketika borjuis negara mereka mendapatkan beberapa keuntungan dari pekerja di negara lain; namun hal ini selalu terjadi dengan mengorbankan kebebasan mereka dan dengan penindasan ekonomi terhadap orang lain. Pekerja…pada beberapa hal turut berpartisipasi dalam keuntungan yang, tanpa melalui usaha borjuis, jatuh ke tangan borjuis di negara mereka dari eksploitasi yang tak dapat dikendalikan terhadap rakyat koloni; namun cepat atau lambat akan tiba waktunya ketika orang-orang itu juga, bangun, dan ia harus membayar semua kerugian untuk sedikit keuntungan yang telah ia nikmati…(Imperialisme memiliki arti bahwa) kebebasan … budak upahan semakin didorong menjauh. Selama pekerja menghubungkan kepentingannya dengan kepentingan borjuis di negaranya, lebih dari kepentingan kelasnya, secara logis ia harus menerima semua akibat penghubungan tersebut dengan rela. Ia harus siap sedia terjun dalam peperangan kelas pemilik untuk hak tetap memiliki dan perluasan pasar mereka, dan untuk mempertahankan ketidakadilan apapun yang mungkin mereka lakukan  terhadap orang lain.”  (Anarcho-Syndicalism, hal.61)

Sulit untuk mengeneralisasikan efek imperialisme pada  “kelas  menengah” (yaitu profesional, wiraswasta, pengusaaha kecil, petani, dll–bukan kelompok pendapatan menengah, yang biasanya adalah kelas pekerja). Beberapa kelompok dalam strata ini mendapatkan keuntungan, sedangkan yang lainnya mendapatkan kerugian. Tiadanya  kepentingan bersama dan dasar organisasional ini membuat kelas menengah tidak stabil dan rentan terhadap slogan-slogan patriotik, teori-teori yang samar mengenai superioritas rasial aatau nasional, atau pengkambinghitaman kaum minoritas oleh kaum fasis atas masalah sosial yang terjadi. Untuk alasan ini, kelas berkuasa merasa relatif mudah untuk merekrut sektor besar kelas menengah (dan juga sektor-sektor kelas pekerja yang tak terorganisir) untuk kebijakan luar negeri yang ekspansionis dan agresif, melalui kampanye propaganda media. Karena pekerja yang terorganisir cenderung menganggap imperialisme sebagai musuh dari kepentingan terbaik mereka semua, sehingga biasanya memberikan perlawanan, kelas berkuasa mampu mengintensifkan permusuhan kelas menengah dengan kelas pekerja yang terorganisir melalui menggambarkan kelas pekerja sebagai “tidak patriotik” dan “tidak rela berkorban” untuk “kepentingan nasional”. Karena itu, pada umumnya, imperialisme cenderung menghasilkan pengetatan batas-batas kelas dan meningkatkan beberapa konflik sosial antara kelompok-kelompok kepentingan yang saling bersaing, yang  memiliki tendensi untuk mengembangkan pertumbuhan pemerintahan otoriter  (lihat bagian D.9)

D.5.3 Apakan globalisasi sama artinya  dengan berakhirnya imperialisme?

Tidak. Meski memang benar bahwa perusahaan multinasional telah semakin membesar seiring dengan mobilitas modal, kebutuhan atas pelayanan negara untuk kepentingan korporat masih tetap ada. Dengan peningkatan monbilitas modal, yaitu kemampuannya untuk berpindh dri satu negara dan diinvestasikan di di tempat lain dengan mudahnya, serta dengan pertumbuhan pasar  uang internasional, telah kita ketahui apa yang dapat disebut sebagai “pasar bebas” dalam negara berkembang. Korporasi dapat memastikan bahwa pemerintah melakukan apa yang dikehendaki korporat dengan adanya ancaman untuk berpindah ke tempat lain (yang akan mereka lakukan apabila dapat  menghasilkan  keuntungan).

Walaupun perusahaan-perusahaan transnasional, barangkali, merupakan contoh paling tepat yang mewakili proses globalisasi ini, kekuasaan dan mobilitas kapitalisme modern dapat dilihat dari angka-angka berikut. Dari 1986 hingga 1990, transaksi perdagangan luar negeri mengalami peningkatan dari $300 milyar hingga $700 milyar perhari dan diperkirakan melebihi $1,3 trilyun di tahun 1994. Bank Dunia memperkirakan sumber total institusi finansial internasional adalah sebesar $14 trilyun. Dengan menggunakan beberapa jenis perspektif untuk angka-angka ini, Balse-based Bank for International Settlement memperkirakan bahwa keseluruhan penjualan  sehari-hari dalam pasar saham internasional mendekati $900 juta pada April 1992, setara dengan tiga belas kali GDP kelompok negara-negara OECD setiap tahunnya (Financial Times, 23/9/93). Di Inggris, sekitar $200-300 milyar perharinya, beredar melalui pasar saham internasional. Dalam dua atau tiga hari, angka ini sama dengan GNP tahunan Inggris.

Taak heran jika lampiran khusus Financial Times mengenai IMF menyatakan bahwa “Pemerintah yang bijak menyadari bahwa satu-satunya respon yang tepat terhadap tantangan globalisasi adalah membuat perekonomian mereka lebih dapat diterima”. (op.cit.) Yaitu, lebih dapat diterima untuk  bisnis, bukan rakyat mereka. Artinya, bahwa dalam globalisasi negara akan bersaing  satu sama lain untuk memberikan kesepakatan yang terbaik untuk para investor dan perusahan-perusahaan transnasional seperti, bebas pajak, pelemahan serikat kerja, tak adanya kontrol polusi, dll. Efek yang dilami rakyat negeri itu diabaikan demi  keuntungan masa depan. Contohnya, iklim bisnis “yang dapat diterima” seperti itu diciptakan di Inggris, di mana “kekutan pasar telah menghilangkan hak-hak pekerja demi persaingan” (Scotland on Sunday,  9/1/95), dan sejumlah orang yang memiliki pendapatan di bawah setengah pendapatan rata-rata mengalami peningkatan dari 9% penduduk di tahun 1979 menjadi 25% di tahun 1993. Pembagian kekayaan nasional yang dimiliki  setengah penduduk yang lebih miskin telah menglami penurunan dari 1/3 menjadi 1/4. Namun demikian, seperti yang diperkirakan, terjadi peningkatan jumlah milyuner, seolah-olah negara kesejahteraan ditujukan bagi kaum  kaya, dengan uang pajak rakyat yang digunakan untuk memperkaya sedikit orang melalui Keynesianisme militer, privatisasi, dan pendanaan untuk lembaga-lembaga Penelitian dan Pembangunan. Seperti halnya religi apapun, ideologi pasar bebas ditandai dengan kemunafikan orang-orang yang berada di atas dan pengorbanan yang dilakukan mayoritas orang yang berada di bawah.

Sebagai tambahan, globalisasi modal menyebabkan terjadinya pertikaian antara satu pekerja melawan pekerja lainnya. Contohnya, General Motor berencana menutup dua lusin pabrik di AS dan Kanada, namun akan membukanya di Mexico. Mengapa? Karena “keajaiban ekonomi” telah menurunkan upah. Pembagian pendapatan personal pekerja di Mexico mengalami ”deklinasi” dari 36%  di pertengahan 1970-an menjadi 23% di tahun 1992”. Sementara itu, General Motor membuka pabrik perakitan sebesar $690 juta di bekas Jerman Timur. Mengapa? Karena di sana para pekerja rela untuk “bekerja lebih lama dari pada rekan-rekan mereka yang manja di Jerman  Barat” (seperti yang dikatakan Financial Times), dengan upah 40% dari mereka serta dengan sedikit keuntungan. (Noam Chomsky, World Orders, Old and New, hal.160).

Namun demikian, kekerasan selalu dibutuhkan untuk melindungi modal swasta. Bahkan  sebuah perusahan kapitalis yang telah mengalami globalisasi masih membutuhkan seorang penjaga.  Karena itu, memang masuk akal bagi korporasi untuk memilih dan menetapkan negara-negara yang akan ditempatinya demi perlindungan yang terbaik dari pemerintahnya, yang dilakukan dengan memeras warga negara untuk membiayai angkatan bersenjata melalui pajak. Di masa mendatang, dapat diramalkan jika Amerika sepertinya dipilih sebagai polisi bayaran. Karena itu, bukannya mengakhiri imperialisme, globalisasi malah akan meneruskannya, namun dengan satu perbedaan utama: warga negara dalam negara imperialis akan mendapatkan keuntungan dari imperialisme yang jumlahnya lebih kecil dari sebelumnya, di samping itu mereka masih harus menanggung biayanya.

Hal ini adalah situasi yang secara inheren bersifat revolusioner, yang akan “membenarkan” intervensi lebih lanjut dalam Dunia Ketiga oleh AS dan bangsa-angsa imperialis lainnya, baik melalui bantuan militer tak langsung kepada rezim klien atau melalui invansi yang sama sekali palsu, tergantung pada keadaan dari “krisis demokrasi” (istilaah yang digunakan oleh komisi trilateral untuk mengkarakterisasikan pemberontakan rakyat).

Tambahan lagi, dengan kemunculan “pasar global” di bawah GATT, korporasi masih membutuhkan para politisi untuk melakukan sesuatu bagi mereka dalam menciptakan pasar “bebas” yang paling sesuai bagi korporasi tersebut. Karena itu, dengan menyokongnegara-negara berkuasa, para elit korporat dapat meningkatkan kekuatan tawar mereka dan membantu membentuk “Tatanan Dunia Baru” dalam bayangan mereka sendiri.

Kesimpulannya, globalisasi akan menyaksikan perubahan imperialisme seperti halnya perubahan kapitalisme itu sendiri. Kebutuhan akan imperialisme tetaplah ada, karena kepentingan modal swasta masih membutuhkan pertahanan melawan orang yang tak punya. Yang berubah itu adalah bahwa pemerintah bangsa-bangsa imperialistik bahkan menjadi lebih bertanggung jawab tehadap modal dan bahkan tidak sebesar tanggung jawab terhadap rakyat mereka.

Leave a Reply