D.10 Bagaimana kapitalisme mempengaruhi teknologi?

D.10 Bagaimana kapitalisme mempengaruhi teknologi?

[toc]

Teknologi memiliki sebuah afek nyata dalam kebebasan individu, yang dalam beberapa hal meningkatkan sekaligus membatasi  kebebasan tersebut. Namun demikian, karena kapitalisme merupakan sistem sosial yang didasarkan pada ketidaksetaraan kekuasaan, maka merupakan sebuah kebenaran mutlak bahwa teknologi akan merefleksikan ketidaksetaraan tersebut, karena teknologi tidak terbentuk dalam sebuah kevakuman sosial.

Tekhnologi tak akan berkembang dan meluas kecuali jika terdapat pihak-pihak yang mendapatkan keuntungan darinya dan memiliki cukup alat untuk menyebarkannya. Dalam masyarakat kapitalis, tekhnologi yang terus dikembangkan adalah tekhnologi yang berguna bagi kaum kaya dan berkuasa. Hal ini dapat dilihat  dari industri kapitalis, di mana tekhnologi dimplementasikan khusus bagi pekerja yang tak terlatih, sehingga menyingkirkan pekerjayang trampil dan memiliki keahlian berharga untuk digantikan dengan “massa pekerja” yang dapat dengan mudahnya dilatih (dan dipecat!). Dengan mencoba menjadikan individu pekerja mana pun sebagai pihak yang tak diperlukan, kaum kapitalis berharap dapat menghilangkan pekerja sebagai alat dalam mengontrol hubungan antara kerja mereka dalam bekerja dan upah  yang mereka terima. Dalam kata-kata Proudhon, “mesin, atau bengkel, setelah mendegradasikan pekerja dengan memberinya majikan, melengkapi kemerosotannya dengan mereduksinya dari tingkat seniman menjadi tingkat pekerja biasa.” (System of Economical Contradictions, hal.202)

Jadi tidak mengejutkan, tekhnologi dalam masyarakat hierarkis akan cenderung memperkuat kembali hierarki dan dominasi. Para manager/kapitalis akan memilih teknologi yang melindungi dan memperluas kekuasaan mereka (dan keuntungan), bukan melemahkannya. Jadi, meski seringkali diklaim bahwa tekhnologi bersifat “netral” bukan ini yang terjadi (dan tak memang tak akan pernah demikian). Singkatnya, “kemajuan” dalam sistem hierarkis akan merefleksikan struktur kekuasaan dalam sistem tersebut.

Seperti pendapat George Reitzer, inovasi dalam sebuah sistem hierarkis segera menghasilkan “peningkatan kontrol dan pengantian manusia dengan tekhnologi tekhnologi non manusia. Pada kenyataannya penggantian manusia dengan tekhnologi non manusia seringkali dimotivasi oleh keinginan untuk kontrol yang lebih besar, yang tentu saja dimotivasi oleh kebutuhan akan maksimisasi keuntungan. Sumber terbesar dari ketidakpastian dan ketidakmampuan untuk melakukan prediksi dalam sistem yang merasionalisasi apapun adalah manusia…McDonaldisasi meliputi pencarian sarana untuk mendorong peningkatan kontrol baik terhadap pekerja maupun pelanggan” (George Ritzer, The McDonaldisation of Society, hal.100) Bagi Reitzer, kapitalisme ditandai oleh “ketidakrasionalan rasionalitas”, di mana di dalamnya proses kontrol ini menimbulkan sistem yang didasarkan pada penghancuran individualitas dan humanitas dari mereka yang berada dalam sistem tersebut.

Dalam proses mengkontrol pekerja demi tujuan memaksimalkan keuntungan, penurunan ketrampilan terjadi karena mempekerjakan pekerja trampil lebih mahal daripada pekerja yang tidak trampil atau semi trampil, dan mereka memiliki kekuasaan lebih besar terhadap kondisi kerja dan pekerjaaan itu sendiri karena adanya kesulitan dalam mencari penggantinya. Tambahan lagi, lebih mudah untuk “merasionalkan” proses produksi dengan metode seperti Taylorisme, sistem penjadwalan dan kegiatan produksi yang kaku yang didasarkan pada jumlah waktu (seperti yang ditentukan manajemen) yang “dibutuhkan” pekerja untuk menampilkan pelaksana yang berbeda dalam tempat kerja, sehingga membutuhkan penganalisaan dan penghitungan waktu yang sederhana dan mudah. Dan karena perusahaan-perusahaan tersebut berada dalam kondisi persaingan, masing-masing dari mereka meniru teknik produksi yang paling”efisien”(yaitu pemaksimalan keuntungan) yang dipekenalkan oleh perusahaan lainnya untuk mempertahankan kemampuannya dalam menghasilkan keuntungan. Jadi efek buruk dari pembagian kerja dan penurunan ketrampilan kerja semakin meluas. Bukannya mengelola sendiri pekerjaannya, pekerja dijadikan mesin manusia dalam sebuah proses kerja yangtidak meeak kontrol, dandikontrol oleh pemilik mesin yang mereak gunakan (lihat juga Harry Barverman, Labourman and Monopoly Capital: The Degradation of Work in the Twentieth Century, Monthly Review Press, 1974)

Seperti tulis Max Stirner (menegaskan Adam Smith), proses penurunan ketrampilan dan pengkontrolan ini memiiliki arti bahwa “jika setiap orang adalah untuk mengolah dirinya menjadi seorang manusia, menghukum seorang manusia menjadi pekerja yang menyerupai mesin sama artinya dengan perbudakan… Setiap pekerja adalah untuk memuaskan dirinya. Karena itu ia juga harus menjadi seorang majikan di dalamnya, mampu menampilkannya sebagai sebuah totalitas. Ia yang berada dalam sebuah pabrik peniti hanya memproduksi, hanya membuat kawat, bekerja dengan sangat mekanis seperti mesin; ia tetaplah pekerja setengah terlatih, tidak menjadi seorang majikan: pekerjaannya tak dapat memuaskannya, hanya menghabiskan tenaganya saja. Dengan semdirinya, karyanya tidak memiliki arti apa-apa, tidak memiliki tujuan apapun di dalamnya, sehingga dengan sendirinya tidaklah sempurna; karyanya hanya berpindah ke tangan orang lain, dan digunakan (dieksploitasi) oleh orang lain tersebut” (The Ego and Its Own, hal. 121). Kropotkin membuat sebuah argumen serupa mengenai pembagian kerja (“pekerja seperti mesin”) dalam The Conquest of Bread (lihat Bab XV– “Division of Labour”)seperti halnya Proudhon (lihat Bab III dan IV dalam karyanya System of Economical Contradiction).

Industri modern dibangun untuk memastikan bahwa pekerja tidak menjadi “majikan” dari pekerjaan mereka melainkan hanya mematuhi perintah manajemen. Evolusi tekhnologi terletak dalam hubungan kekuasaan yang ada dalam masyarakat. Hal ini terjadi karena “keberlangsungan suatu perencanaan bukanlah sekedar evaluasi teknis atau malah ekonom melainkan lebih ke evaluasi politiik. Suatu teknologi dirasa dapat dijalankan jika sesuai denganhubungan kekuasaan yang ada.” (David Noble, Progress Without People, hal.63)

Proses pengkontrolan, pembatasan dan de-individualisasi pekerja ini merupakan ciri kunci kapitalisme. Kerja yang dilakukan dan dikontrol sendiri oleh pekerja memperkuat mereka dalam dua hal. Pertama, kerja memberikan kebanggan dalam kerja dan dalam diri mereka sendiri. Kedua, hal tersebut mempersulit untuk menggantikan mereka atau menghsap keuntungan dari mereka. Karena itu, untuk memindahkan faktor “subyektif” (yaitu individualitas dan kontrol pekerja) dari proses bekerja, modal membutuhkan metode pengontrolan tenaga kerja untuk mencegah pekerja menegaskan individualitasnya, sehingga mencegah mereka untuk mengelola hidup mereka sendiri dan kerja, serta untuk melawan kekuasaan para majikan.

Kebutuhan untuk mengkontrol pekerja dapat dilihat dari jenis mesin yang dikenalkan selama revolusi industri. Menurut Andrew Ure, seorang konsultan untuk para pemilik pabrik, “(d)alam pabrik-pabrik pemintalan benang kasar…pemintal yang pandai (pekerja trampil) telah menyalahgunakan kekuatan mereka yang luar biasa, dengan berkuasa dalam cara yang paling arogan…atas majikan mereka. Upah yang tinggi…telah, dalam banyak contoh, menghargai kebanggaan dan menyediakan dana untuk mendukung kekeraskepalaan dalam pemogokan….Selama kekacauan yang mengerikan ini … beberapa kapitalis…memiliki dewa penyelamat berupa ahli mesin … dari Manchester … (untuk mengkonstruksi) pemintalan yang dapat bekerja sendiri….Intervensi ini memperkuat doktrin besar yang telah diajukan, bahwa ketika modal memperoleh pengetahuan dalam pelayanannya, sikap keras kepala pekerja akan selalu diajarkan untuk patuh.” (Andrew Ure, Philosophy of Manufactures, hal. 336-368–dikutip oleh Noble, Op.Cit., hal.125)

Mengapa pekerja dirasa perlu untuk “diajarkan kepatuhan”? Karena ”(a)kibat kelemahan umat manusia, yang terjadi adalah pekerja yang lebih terampil, lebih memiliki kehendak yang kuat dan keras kepada, dan tentu saja kurang sesuai dengan sebagai komponen dari sistem mekanis ini…ia dapat menyebabkan kehancuran bag  seluruhnya.” (Ibid.) Proudhon mengutip seorang pengushaInggris yang memiliki pendapat untuk poin yangsama:

“Pembangkangan para pekerja memberi kami gagasan untuk membuang mereka. Kami telah membuat dan merangsang setiap  usaha yang mungkin untuk menggantikan kerja orang dengan alat-alat yang lebih patuh, dan kita telah mencapai tujuan tersebut. Mesin telah menyelamatkan modal dari tekanan pekerja.” (System of Economical Contradictions, hal. 189)

Seperti yang disimpulkan David Noble, selama revolusi industri “Modal yang diinvestasikan dalam mesin yang dapat memperkuat sistem dominasi (di tampat kerja), dan keputusan untuk menginvestasikan inilah, yang dalam waktu lama mungkin menyumbangkan teknis ekonomis yang terpilih, dengan sendirinya bukanlah  keputusan ekonomis, melainkan politis, dengan sanksi budaya.” (Op.Cit., hal.6)

Proses yang serupa juga terjadi di AS, di mana kebangkitan dalam perserikatan dagang mengakibatkan “para manajer industrial menjadi lebih gencar agar keterampilan dan insiatif tidak berada di lantai dasar, dan bahwa, dengan bukti yang sama,  pekerja pada lantai dasar tidak memiliki kontrol terhadap reproduksi keterampilan yang relevan  melalui pelatihan magang ketampilan yang teratur. Dengan ketakutan bahwa pekerja lantai dasar akan menggunakan sumber daya mereka yang langka untuk mereduksi usaha mereka dan meningkatkan upah, manajemen menganggap bahwa kekuasaan dalam proses lantai dasar harus diletakkan bersama dengan struktur manajerial.” (William Lazonick, Organisation and Technology in Capitalist Development, hal.273)

Para manajer Amerika dengan gembira menggunakan Taylorime (juga dikenal dengan “manajemen ilmiah”), di mana menurut Taylorisme tersebut tugas manajer adalah mengumpulkan semua pengetahuan yang diangap berharga untuk dimiliknya mengenai kerja yang ia kelola dan mengaturnya kembali. Taylor sendiri mengangap tugas pekerja adalah “melakukan dengan benar apa yang disuruh tanpa mengajukan pertanyaan atau memberikan pendapat.” (dikutip oleh David Noble, American By Design, hal.268) Taylor juga secara ekslusif mempercayai skema upah insentif yang secara mekanis berhubungan dengan produktifitas dan tak memiliki apresiasi terhadap kepelikan psikologi atau sosiologi (yang telah mengajarkan bahwa bagi manusia kenikmatan bekerja dan kreatifitas lebih  penting dari upah yang tinggi). Tidak mengejutkan, tanggapan pekerja terhadap rencana busuk tersebut adalah pembangkangan, sabotase dan pemogokan serta “diketahui…bahwa ahli ‘waktu dan gerakan’ seringkali hanya tahu sedikit tentang kegiatan kerja yang tepat dalam pengawasan mereka, yang seringkali hanya mereka hitung dalam angka optimum selama proses tersebut…artinya, kekuasaan sewenang-wenang manajemen telah diperkenalkan kembali dalam bentuk yang tersamar.” (David Noble, Op.Cit., hal.272) Meskipun saat ini kekuasaan manajemen bersembunyi di balik “obyektifitas ilmu pengetahuan”.

Katherine Stonejuga mengajukan argumen (dalam tulisannya mengenai “Asal mula Struktur Kerja dalam Industri Baja” di Amerika) bahwa “transfer ketrampilan (dari pekerja untuk manajemen) bukanlah suatu respon terhadap kebutuhan produksi, melainkan, lebih sebagai strategi untuk merampas kekuasaan para pekerja”  dengan”mengambil pengetahuan dan kekuasaan daripekerja yang trampil dan menciptakan suatu kader manajemen yang berkemampuan untuk mengatur produksi.” Stine menyoroti bahwa proses penurunan ketrampilan ini disatukan oleh kebijakan “pecah dan kuasai” yang dilakukanmanajemen dengan insentif upah dan kebijakan promosi jabatan baru. Hal ini menciptakan sistem imbalan di mana di dalamnnya pekerja yang diatur oleh peraturan akan menerima hasil nyata dalam hal pendapatan dan status. Berulang kali, struktur seamcam itu akan terlihat sebagai “cara alami untuk mengatur kerja dan seseorang yang menawarkan kenaikan pangkatpersonal” bahkan walaupun, “ketika sistem dibentuk, siatem tersebut tidaklah jelas maupun rasional. Jenjang kerja diciptakan hanya ketika peralatan ketrampilan dalam kerja dihilangkan sebagai akibat dari tekhnologi baru, dan pekerjaan menjadi semakin setara dengan waktu untuk belajar dan tanggung jawab yang dibutuhkan.” Struktur moderntempat kerja kapitalis diciptakan untuk menghancurkan perlawanan pekerja terhadap kekuasaan kapitalis dan dengan sengaja “bertujuan untuk mengubah cara pekerja berpikir dan merasa–yang dilakukan dengan menjadikan kepentingan diri ‘obyektif’ individu pekerja sama dengann kapantingan diri obyektif orang yang mempekerjakannya dan dala konflik dengan kepentingan diri pekerja secara kolektif.” Hal tersebut merupakan sarana “mendisiplinkan pekerja” dan “memotivasi pekerja untuk bekerja demi keuntungan orang yang mempekerjakannya dan menghalangi persatuan mereka untuk merebut kembali kontrol produksi.” Stones menuliskan bahwa “perkembangan sistem kerja baru dalam industri baja ini diulang kembali sepanjang memberi keuntungan dalam ndustri-industri yang berbeda. Seperti halnya dalam indsutri baja, inti dari sistem kerja baru in merupakan ciptaan hierarki kerja yang artifisial dan transfer keterampilan dari pekerja ke manajer.” (Root & Branch (ed.), Root and Branch: The Rise of the Workers’ Movement, hal. 152-5)

Setiap saat, proses ini diakui oleh kaum libertarian, contohnya argumen yang dikemukakan IWW bahwa “(p)ekerja tak lagi diklasifikasikan melalui perbedaan dalam ketrampilan dagang, namun majikan menentukannya sesuai dengan mesin yang ia kerjakan. Pembagian ini, yang tidak menunjukkan perbedaan-perbedaan dalam ketrampilan atau kepentingan di antara pekerja, dipaksakan oleh majikan sehingga terjadi persaingan antar pekerja serta mereka terpacu untuk mengerahkan tenaga sebesar-besarnya di pabrik, dan bahwa semua perlawanan terhadap kapitalis akan dilemahkan oleh perbedaan artifisial.” (dikutip oleh Katherine Stone, op.cit., ha.157) Karena itulah kaum anarkis dan sindikalis mengusulkan , serta membangun, serikat industrial– suatu serikat untuk setiap tempat kerja dan industri –untuk menentang pembagian kerja tersebut dan melawan tirani kapitalis dengan efektif.

Tal perlu diungkapkan, rencana busuk manajemen seprti itu tak pernah berakhir dalam jangka panjang maupun kerja total dalam jangka pendek– yang menjelaskan mengapa manajemen hierarkis terus berlangsung, seperti halnya penurunan ketrampilan teknologis (pekerja selalu menemukan cara dalam menggunakan teknologi baru untuk meningkatkan kekuatan mereka dalam tempat kerja sehingga merusak keputusan manajemen demi keuntunngan mereka sendiri).

Proses yang menurunkan ketrampilan pekerja ini ditunjang oleh banyak faktor– perlindungan negara untuk pasar [dalam bentuk tarif dan peraturan pemerintah– “kemajuan dalam inovasi teknologis berawal di bidang persenjataan, di mana memastikan justifikasi peraturan pemerintah untuk investasi dengan ongkos tetap (fixed cost) yang tinggi”]; penggunaan “kekuatan ekonomi dan politik (oleh kapitalis Amerika) untuk memberangus dan mencerai beraikan usaha buruh untuk menegaskan kontrol dari lantai pabrik”; dan “penindasan, yang didorong dan didanai baik oleh swata maupun publik, untuk menghilangkan elemen-elemen radikal (dan harus dicatat seringkali termasuk elemen-elemen yang tidak terlalu radikal) dalam gerakan buruh Amerika”. (William Lazonick, Competitive Advantage on the Shop Floor, hal 218, hal 363). Jadi, bantuan negara memainkan peran kunci dalam menghancurkan kontrol pekerja dalam industri, dan juga sumber finansal yang besar bagi kapitalis sama dengan pekerja. Dengan serita yang usang ini kita dapati “banyak, jika bukan sebagian besar, manajer Amerika  enggan untuk mengembangkan ketrampilan (dan inisiatif) di lantai pabrik karena adanya ketakutan kehilangan kontrol terhadap arus kerja”. (William Lazonick, Organisation and Technology in Capitalist Development, hal 279-280) Karena terdapat perbedaan ketrampilan dalam masyarakat, (dan tentu saja dalam tempat kerja) hal ini memiliki arti bahwa kapitalisme telah memilih memperkenalkan percampuran teknologi dan manusia yang menjadikan pengetahuan berharga, pengalaman, dan ketrampilan sebagai seauatu yang tidak efisien dan tidak berguna.

Jadi, tempat kerja kapitalis merupakan akibat pertentangan kelas dan merupakan senjata dalam pertentangan tersebut, serta merefleksikan pergeseran hubungan kekuasaan antara pekerja dengan majikan. Penciptaan hierarki kerja yang artifisial, transfer ketrampilan dari pekerja ke manajer, dan perkembangan teknologi merupakan hasil perjuangan kelas. Dengan demikian, kaitan antara kemajuan teknologi dan organisasi tempat kerja dalam kapitalisme dengan “efisiensi” tidaklah terlalu besar melainkan lebih terkait dengan kekuasaan dan keuntungan.

Artinya bahwa meski pengelolaan diri terbukti lebih efisien (dan memberdayakan) daripada struktur manajemen hierarkis  (lihat bagian J.5.12), kapitalisme secara aktif berusaha melawannya. Hal ini terjadi karena kapitalisme hanya memiliki motivasi untuk meningkatkan keuntungan, dan maksimalisasi keuntungan paling tepat dilakukan dengan melemahkan pekerja dan memperkuat majikan (yaitu pemaksimalan kekuasaan)– bahkan walaupun konsentrasi kekuasaan ini mengganggu terciptanya efisiensi karena mendistorsi dan menghalangi arus informasi serta dengan mengumpulkan dan menggunakan pengetahuan yang terdistribusi luas dalam firma (seperti dalam kekuasaan perekonomian apapun).

Jadi tempat perlindungan terakhir kapitalis/teknofil (yaitu bahwa perolehan produktifitas dalam tekhnologi melebihi ongkos manusia atau alat yang digunakan untuk memperolehnya) memiliki cacat ganda. Pertama, pembodohan tekhnologi mungkin memang memaksimalkan keuntungan, namun tak perlu meningkatkan utilisasi sumber daya atau waktu pekerja, ketrampilan ataupun potensi agar efisien (dan seperti pendapat yang kita kemukakan dengan lebih detail dalam bagian J.5.12, efisiensi dan pemaksimalan keuntungan merupakan dua hal yang berbeda, dan kontrol manajemen beserta penurunan ketrampilan semacam itu sebenarnya mereduksi efisiensi–sama halnya dengan reduksi kontrol pekerja–hanya karena mengizinkan manajer untuk memaksimalkan keuntungan pasar kapitalis yang memilihnya). Kedua, “ketika pada kenyataannya investasi tidak menimbulkan inovasi, apakah inovasi semacam itu mengakibatkan produktifitas yang lebih besar?…Setelah mengadakan polling mngenai eksekutif industri pada trends otomatisasi, Business Week menyimpulkan di tahun 1982 bahwa ‘terdapat dukungan yang kuat untuk investasi modal dalam beragam tekhnologi yang menhemat pekerja dan dirancang untuk menambah keuntungan tanpa perlu menambah ongkos produktif.’” David Nobles menyimpulkan bahwa “kapan saja manajer merasa mampu menggunakan otomatisasi untuk ‘menambah  keuntungan’ dan meningkatkan kekuasaan mereka (dengan menghapuskan pekerjaan dan memeras konsesi serta kepatuhan dari pekerja yang masih tertinggal) tanpa meningkatkan produk sosial di waktu yang sama, mereka tampak sangat siap untuk melakukannya. (David Noble, Progress Without People, hal. 86-87 dan hal.89)

Tentus aja klaim bahwa upah yang lebih tinggi merupakan akibat peningkatan investasi dan inovasi tekhnologi (“dalam jangka panjang”–meski biasanya “jangka panjang” tersebut harus dibantu kemunculannya melalui protes dan perjuangan para pekerja!). Dengan mengabaikan pertanyaan apakah konsumsi yang meningkat tajam benar-benar merupakan akibat dari dehumanisasi dan kerja yang tidak kreatif, harus kita catat bahwa merupakan hal tersebutt adalah hal yang biasa bagi kapitalis yang benar-benar mendapatkan keuntungan dari pertukaran teknologis dalam artian uang. Contohnya, antara tahun 1920 dan 1927  (suatu periode di mana pengangguran yang disebabkan tekhnologi merupakan hal yang lazim) industri otomobil (yang berada di garis depan perubahan teknologis) menaikkan upah sebesar 23,7%. Sehingga para pendukung kapitalisme mengklaim bahwa tekhnologi adalah kepentingan kita semua. Namun demikian, surplus modal meningkat sebesar 192,9% selama periode tersebut–8 kali lebih cepat! Tak heran upah juga naik! Hal yang serupa juga terjadi di AS dan banyak negara lainnya selama 20 tahun terakhir telah melihat perusahaan-perusahaan “mengurangi” dan “memegang erat” tenaga kerjanya serta memperkenalkan tekhnologi baru. Hasilnya? Jelas, di tahun 1970-an dimulailah “ekspansi tanpa kenaikan upah”. Sebelum awal 1970-an, “kenaikan upah riil mengikuti pertumbuhan produktifitas dan produksi dalam perekonomian secara keseluruhan. Setelah…, mereka berhenti melakukannya…Kenaikan upah riil merosot tajam di bawah kenaikan produktifitas yang teratur.” (James K. Galbraith, Created Unequal, hal.79) Jadi meski upah riil mengalami stagnasi, keuntungan mengalami peningkatan seiring dengan peningkatan produktifitas dan kaum kaya menjadi semakin kaya–sekali teknologi menunjukkan keberpihakannya.

Secara keseluruhan, catat David Noble  (berkaitan dengan manufaktur):

“Industri manufaktur AS selama lebih dari tiga puluh tahun terakhir…(telah mengetahui) nilai cadangan modal (mesin) sama dengan kerja ganda, yang merfleksikan kecenderungan menuju mekanisasi dan otomatisasi. Sebagai sebuah konsekuensi…jam produksi personal absolut meningkat 115%, lebih dari dua kalinya. Namun selama periode tersebut, pendapatan riil pekerja per jamnya…naik hanya 84%, kurang dari dua kalinya. Jadi setelah tiga dekade kemajuan yang berdasarkan otomatisasi, penghasilan pekerja saat ini terhadap produksi mereka relatif lebih sedikit dibandingkan dengan sebelumnya. Jadi mereka memproduksi lebih banyak untuk mendapatkan hasil yang lebih sedikit; bekeja lebhi banyak untuk majikan mereka dan mendapatkan lebih sedikit untuk diri mereka sendiri.” (Op.Ciy., hal.92-3)

Noble melanjutkan:

“Karena jika pengaruh otomatisasi pada pekerja tidak ambigu, baik pengaruh pada manajemen maupun pada mereka yang melayaninya–kerugian pekerja adalah keuntungan mereka. Selama tiga puluh tahun pertama dalam abad otomatisasi tersebut, keuntungan korporat setelah dipotong pajak telah meningkat lebih dari lima kalinya peningkatan upah riil  pekerja.” (Op.Cit., hal.95)

Namun mengapa? Karena pekerja memiliki kemampuan untuk menghasilkan sejumlah produk yang fleksibel (nilai pakai) untuk upah tertentu.Tak seperti baja atau batu bara, seorang pekerja dapat dipaksa bekerja dengan keras selama waktu kerja tertentu dan teknologi juga dapat digunakan untuk memaksimalkan usaha tersebut seperti halnya meningkatkan rencana pemecatan potensial bagi seorang pekerja dengan menurunkan ketrampilan pekerjaan mereka (sehingga mereduksi kekuasaan pekerja hanya untuk mendapatkan upah yang lebih tinggi untuk pekerjaan mereka). Jadi teknologi merupakan cara kunci untuk menambah kekuasaan majikan, yang pada akhirnya dapat meningkatkan produksi setiap pekerja sembari memastikan bahwa pekerja secara relatif menerima imbalan yang lebih kecil dari barang yang ia produksi, dalam bentuk upah–”Mesin”, pendapat Proudhon, “menjanjikan kita suatu peningkatan kekayaan  dan mereka  menepatinya, namun di waktu yang sama juga memberi kita peningkatan kemiskinan. Mereka menjanjikan kita kebebasan…(namun) malah membawa kita ke perbudakan.” (Op.Cit.,  hal.199)

Namun jangan kita salah  mengira, kemajuan teknologi  tidak menunjukkan bahwa kita adalah korban. Bukan demikian, banyak inovasi yang merupakan akibat langsung dari perlawan kita terhadap hierarki dan alat-alatnya. Contohnya, kaum kapitalis beralih menggunakan Taylorisme dan “manajemen  ilmiah” untuk merespon kekuatan pekerja trampil untuk mengkontrol  kerja mereka dan lingkungan kerja (contohnya pemogokan Homestead terkenal 1892 merupakan hasil langsung dari keinginan perusahaan untuk mengakhiri kontrol pekerja trampil dan kekuatan di lantai pabrik). Dalam menanggapinya, pabrik dan pekerja lainnya menciptakan struktur baru kekuatan kelas pekerja secara keseluruhan –jenis serikat baru yang didasarkan pada tingkat industrial. Hal ini dapat dilihat di banyak negara yang berbeda. Contohnya, di Spanyol, CNT (sebuah serikat anarko sindikalis) mengadopsi sindicato unico (satu serikat) di tahun 1918 yang menyatukan seluruh pekerja pada tempat kerja yang sama dalam serikat yang sama (dengan menggabungkan pekerja trampil maupun tidak dalam satu organisasi tungggal, serikat tersebut meningkatkan daya juang mereka. Di Inggris, gerakan para pelayan toko bangkit selama perang dunia pertama yang didasarkan pada organisasi di tempat kerja (gerakan yang diilhami oleh revolusi sindikalis pra perang dan yang meliputi banyak aktivis sindikalis). Gerakan ini sebagian merupakan tanggapan terhadap serikat-serikat reformis TUC  yang bekerja sama dengan negara selama perang untuk menekan perjuangan kelas. Di Jerman, mendekati revolusi 1919 terjadi pembentukan dewan dan serikat-serikat revolusioner di tempat kerja (serta semakin membesarnya serikat sindikalis FAU yang diorganisir oleh industri). Di AS, pada 1930-an terdapat serikat yang militan dan masif yang diorganisir CIO dengan berdasarkan serikat industrial dan kekuatan tawar kolektif (sebagian diinspirasi oleh contoh IWW dan organisasinya yang meluas untuk pekerja tak trampil).

Yang lebih baru lagi, pekerja di tahun 1960-an dan 1970-an dalam menanggapi peningkatan sifat birokratis dan reformisme serikat seperti CIO dan TUC, mengorganisir diri mereka secara langsung di lantai pabrik untuk mengkontrol kerja mereka dan kondisi kerja. Gerakan informal ini mengekspresikan dirinya dalam pemogokan liar melawan serikat dan manajemen, sabotase dan kontrol tak resmi pekerja terhadap produksi (lihat essay John Zerzan “Organized Labour and the Revolt Against Work” dalam Elements of Refusal). Di Inggris, gerakan pelayan toko bangkit kembali, dengan mengorganisir banyak protes dan pemogolan tak  resmi yang terjadi di tahun 1960-an dan 70-an. Kecenderungan yang sama terlihatdi banyak negara pada periode ini.

Jadi dalam menanggapi perkembangan baru dalam teknologi dan organisasi tempat kerja, pekerja mengembangkan bentuk baru perlawanan yang pada akhirnya memancing respon manajemen. Jadi teknologi dan penyalahgunaannya benar-benar merupakan produk dari perjuangan kelas, perjuangan untuk kebebasan di  tempat kerja.

Dengan adanya teknologi tertentu, pekerja dan kaum radikal segera belajar menggunakannya dalam cara yang tak pernah dibayangkan untuk melawan majikan dan negara (di mana kebutuhan akan transformasi dalam teknologi sekali lagi mencoba dan memberi para majikan kekuasaan!) Penggunaan internet, contohnya, untuk mengatur, meluaskan, dan mengkoordinasikan informasi, perlawanan dan perjuangan merupakan contoh klasik dari proses ini (lihat Jason Wehling, “‘Netwars’ and Activist Power on the Internet”, Scottish Anarchist no. 2 untuk keterangan lebih lanjut). Selalu ada “perang gerilya” yang berkaitan dengan teknologi, dengan para pekerja dan kaum radikal yang mengembangkan taktik mereka sendiri utnuk memenangkan kontrol balasan bagi mereka sendiri. Jadi banyak perubahan teknologis merefleksikan kekuatan dan aktivitas kita untuk mengubah hidup kita sendiri dan kondisi kerja. Kita tak boleh melupakannya.

Meski beberapa orang mungkin menganggap analisis kita sebagai “perlawanan terhadap perbaikan dalam bekerja (luddite)”, melakukannya adalah menjadikan “teknologi” lebih sebagai berhala untuk dipuja daripada sekedar sesuatu untuk dianalisa secara kritis. Terlebih lagi, hal seperti itu sama saja dengan melakukan kesalahan dalam memahami gagasan Luddite itu sendiri–mereka tak pernah melawan semua teknologi atau mesin.  Hanya saja mereka melawan “semua mesin yang merugikan komunalitas” (seperti sebuah surat di bulan Maret 1812 untuk seorang pengusaha yang tidak menyukainya). Labih dari sekedar memuja kemajuan teknologi (atau memandangnya tanpa sikap kritis), kaum Luddites menjadikan teknologi sebagai tujuan evaluasi dan analisa kritis. Mereka melawan bentuk-bentuk mesin yang merugikan diri mereka sendiri ataupun masyarakat. Tak seperti orang-orang yang mencap orang lain sebagai “Luddite”, para pekerja yang menghancurkan mesin tidak diintimidasi oleh gagasan-gagasan kemajuan modern. Pemahaman mereka mengenai apa yang benar dan apa yang salah tidak dipengaruhi oleh gagasan bahwa teknologi bagaimanapun merupakan sesuatu yang tak terelakkan ataupun  netral. Mereka tidak berpikir bahwa nilai-nilai kemanusiaan (atau kepentingan mereka sendiri) tidaklah relevan dalam mengevaluasi keuntungan serta kerugian teknologi tertentu dan efek yang ditimbulkannya pada pekerja dan masyarakat secara keseluruhan. Mereka tidak menganggap ketrampilan mereka dan kehidupan mereka sebagai sesuatu  yang tidak sepenting keuntungan dan kekuasaan kaum kapitalis. Dengan kata lain, mereka menyepakati komentar Proudhon bahwa mesin “memainkan peran penting dalam industri, manusia adalah nomor dua” dan mereka bertindak untuk mengubah hubungan ini. (Op.Cit., hal.204) Tentu saja, mengajukan argumen bahwa  pemujaan terhadap  kemajuan teknologi pada akhirnya memperingatkan kita untuk tidak berpikir dan mengorbankan diri kita sendiri untuk abstraksi baru seperti negara atau modal,   merupakan sesuatu yang bersifat sementara. Luddite merupakan contoh para pekerja yang membuat keputusan mengenai kepentingan mereka dan tindakan untuk mempertahankan diri dengan aksi langsung mereka sendiri–dalam hal melawan tekhnologi yang menguntungkan kelas berkuasa dengan memberi mereka tepian dalam perjuangan kelas. Kaum anarkis menggunakan pendekatan kritis ini untuk teknologi, dengan mengakui bahwa pendekatan tersebut tidaklah netral dan bersifat kritis.

Bagi modal, sumber permasalahan industri adalah manusia. Tak seperti mesin, manusia dapat berpikir, merasa, bermimpi, berharap dan berbuat. Karena itu, “evolusi” teknologi akan merefleksikan perjuangan kelas dalam masyarakat dan perjuangan demi kebebasan melawan kekuatan-kekuatan penguasa. Teknologi, yang jelas tidak netral, merefleksikan kepentingan orang-orang dengan kekuasaan. Teknologi hanya akan bersahabat dengan kita jika kita sendiri yang mengkontrolnya serta memodifikasinya untuk merefleksikan nilai-nilai kemanusiaan (artinya, beberapa bentuk teknologi mungkin dihilangkan dan digantikan dengan bentuk-bentuk baru dalam sebuah masyarakat bebas).  Hingga hal itu terjadi, sebagian besar proses teknologis–dengan mengabaikan keuntungan lain yang mungkin didapatkan–akan digunakan untuk mengeksploitasi  dan mengkontrol manusia.

Jadi komentar Proudhon bahwa “dalam kondisi masyarakat saat ini, tempat kerja dengan organisasinya yang hierarkis, serta mesin” hanya dapat melayani “kepentingan sejumlah kecil orang secara ekslusif, sejumlah kecil orang yang tidak banyak bekerja, dan  kelas yang terkaya” bukannya “dipekerjakan untuk menguntungkan semua pihak.” (Op.Ct., hal.205)

Meski membatasi “kemajuan” teknologis (dengan menggunakan alat maupun dengan merusak mesin) merupakan hal yang esensial untuk saat  ini dan juga di sini, masalah teknologi hanya dapat diselesaikan ketika orang-orang yang menggunakannya dapat mengkontrol perkembangannya, pengenalannya, dan penggunaannya. Karena itu, tak heran jika kaum anarkis menganggap pengelolaan kerja yang dilakukan sendiri oleh pekerja sebagai alat kunci dalam menyelesaikan permasalahan yang diciptakan teknologi. Proudhon, contohnya, berpendapat bahwa solusi terhadap permasalahan yang ditimbulkan oleh pembagian kerja dan teknologi hanya dapat diselesaikan oleh “asosiasi” dan “melalui pendidikan  yang luas, melalui kewajiban magang, dan melalui kerjasama dari semua pihak yang turut ambil bagian dalam kerja kolektif.” Hal ini memastikan bahwa “pembagian kerja tak lagi dapat menjadi sebab dari degradasi bagi pekerja pria (atau pekerja wanita).” (The General Idea of the  Revolution, hal.223)

Meski, sejauh teknologi berkembang, untuk sekedar bebas dari majikan mungkin memang tidaklah cukup, hal ini merupakan langkah pertama dalam penciptaan teknologi yang memperkuat kebebasan daripada sekedar mengkontrol dan membentuk pekerja (atau pengguna secara umum) serta menambah kekuasan dan keuntungan para kapitalis (lihat juga bagian I.4.9–Apakah kemajuan teknologi dapat dilihat sebagai anti anarkistis?)

Leave a Reply