B.7 Kelas-kelas apa yang eksis dalam masyarakat modern?

[sc:afaq1]

B.7 Kelas-kelas apa yang eksis dalam masyarakat modern?

[toc]

Bagi kaum anarkis, analisis kelas merupakan alat yang penting untuk memahami dunia dan apa yang sedang terjadi di dalamnya. Meski pengakuan terhadap  kenyataan bahwa kelas-kelas yang benar-benar eksis sekarang ini kurang lazim dibandingkan yang ada dahulu, tidak berarti bahwa kelas-kelas tersebut telah tidak eksis. Benar-benar bertentangan. Karena seperti yang akan kita lihat, artinya bahwa hanya kelas berkuasa yang lebih sukses dari sebelumnya dalam engaburkan eksistensi kelas.

Kelas dapat secara obyektif didefinisikan: hubungan antara individu dan sumber-sumber kekuasaaan di dalam masyarakat menentukan kelasnya. Kita berada dalam masyarakat berkelas dan dalam masyarakat tersebut tak banyak orang yang memiliki kekuasaan politik dan ekonomi yang lebih besar dari yang dimiliki mayoritas, yang umumnya bekerja pada sebagian kecil penduduk yang memiliki kontrol terhadap mereka dan kontrol terhadap keputusan yang mempengaruhi mayoritas. Artinya, kelas didasarkan pada eksploitasi dan penindasan, dengan beberapa orang yang mengontrol pekerjaan orang lain untuk kepentingan pribadi. Alat penindasan telah ditunjukkan pada awal bagian B, sementara bagian C (apakah mitos perekonomian kapitalis?) menunjukkan dengan jelas bagaimana eksploitasi muncul dalam masyarakat yang didasarkan pada pertukaran yang setara dan bebas. Sebagai tambahan, bagian C juga menyoroti efek sisitem perekonoian eksploitasi ini. Pengaruh politik dan sosial dari sistem, beriakut kelas dan hierarkis yang muncul sebagai akibatnya dibicarakan lebih mendalam pada bagian D (bagaimana negaraisme dan kapitalisme mempengaruhi masyarakat?)

Harus kita tekankan dari awal bahwa gagasan “kelas pekerja” yang disusun oleh budak upahan industrial benar-benar keliru. Gagasan tersebut saat ini tidak dapat diterapkan seperti di waktu lampau. Kekuasaan, dalam term mempekerjakan/memecat dan keputusan investasi, merupakan hal yang penting. Kepemilikan modal sebagai alat yang menentukan kelas seseorang tidak lagi berguna seperti dulu, karena saat ini telah banyak kelas pekerja yang memiliki modal (meski tidak cukup untuk hidup atau memberikan hak berpendapat mengenai bagaimana menjalankan perusahaan) dan karena sebagian besar perusahaan besar dimiliki  oleh perusahaan-perusahaan besar lainnya melalui dana pensiun, multinasional, dll. Karena itu saat ini kita menghadapi situasi di mana orang-orang yang memiliki kekuasaan massif, secara teknis menjadi “budak yang digaji” (direktur manajer, dll), meki jelas pada prakteknya mereka merupakan anggota kelas berkuasa.

Bagi sebagian besar kaum anarkis terdapat dua kelas utama:

  1. kelas pekerja— orang-orang yang harus bekerja untuk hidupnya namun tidak memiliki kontrol yang nyata terhadap pekerjaan tersebut atau keputusan-keputusan besar yang memiliki pengaruh dalam hidupnya, yaitu penerima perintah. Kelas ini juga meliputi pengangguran, pensiunan, dll, yang harus bertahan hidup dengan bantuan negara. Mereka miskin dan lemah (dari sudut kekuasaan). Kelas ini meliputi sektor pekerja jasa , sebagian besar (juga bukan mayoritas) pekerja “kerah putih” dan juga pekerja industri “kerah biru” yang tradisional.
  2. Kelas berkuasa— orang-orang yang mengontrol keputusan investasi, meneentukan kebijakan tingkat tinggi, menyiapkan agenda untuk modal dan negara. Mereka adalah kaum elit papan atas, pemilik atau manajer utama perusahaan -perusahaan besar, multinasional dan bank, pemilik lahan yang luas, pejabat teras negara, politisi, aristokrat, dll. Mereka memiliki kekuasaan yang nyata dalam perekonomian dan / atau negara, dan juga mengontrol masyarakat. Kelompok ini terdiri dari orang-orang yang diatas, 5-15% dari penduduk.

Tentu saja terdapat area “abu-abu” dalam masyarakat apapun, individu dan kelompok yang jelas tidak layak untuk masuk ke dalam kelas pekerja utaupun kelas penguasa. Mereka meliputi orang-orang yang bekerja namun juga memiliki kontrol terhadap orang lain, contohnya kekuasaan untuk mempekerjakan atau memecat. Mereka adalah orang-orang yang membuat keputusan-keputusan kecil atau sehari-hari yang terkait dengan operasionalisasi kapital atau negara. Area ini mencakup manajemen yang rendah hinngga menengah, profesional, dan kapitalis kecil.

Ada beberapa argumen dalam gerakan kaum anarkis, apakah area “abu-abu” merupakan kelas tersendiri (“menengah”) atau bukan. Sebagian besar kaum anarkis mengatakan tidak, sebagian besar dari area “abu-abu” ini merupakan kelas pekerja, sedang yang lainnya (seperti Federasi Perlawanan Kelas Inggris) berpendapat bahwa area tersebut adalah kelas tersendiri. Satu hal yang pasti, semua anarkis sepakat bahwa area “abu-abu” ini memiliki kepentingan untuk lepas dari sistem ini seperti halnya kelas pekerja (perlu kita jelaskan di sini bahwa apa yang biasa disebut “kelas menengah” di AS dan tempat lain tidak ada, dan biasanya berhubungan dengan kelas pekerja yang memiliki pekerjaan yang layak, rumah, dll. Karena kata kelas dianggap kasar dalam kalangan terhormat di AS, mistifikasi semacam itu diharapkan.

Jadi, terdapat pengecualian pada skema klasifikasi ini. Namun, sebagian besar masyarakat memiliki kepentingan yang sama, karena mereka menghadapi ketidakpastian perekonomian dan kondisi hierarkis dalam kapitalisme.

Kita tidak bermaksud mencocokkan semua realita ke dalam skema kelas ini, namun hanya mengembangkannya seperti yang diindikasikan realita, yang didasarkan pada pengalaman kita sendiri mengenai perubahan pola masyarakat modern. Skema ini tidak bermaksud untuk memberikan pendapat bahwa semu anggota kelas memiliki kepentingn yang identik, begitu juga bahwa kompetisi tidak eksis di antara anggota dari kelas yang sama. Kapitalisme sesuai sifatnya, meruipakan sistem yng kompetitif. Seperti yang dijelaskan Malatesta, “harus diingat bahwa di satu sisi kaum borjuis (pemilik property) selalu saling berperang antara sesama mereka…dan di sisi lain pemerintah, meski berasal dari kaum borjuis dan pelayannya serta pelindungnya, cenderung, seperti halnya semua pelayan dan pelindung, meraih emansipasinya dan mendominasi orang-orang yang mereka lindungi. Sehingga permainan ayunan, manuver, konsesi dan pengunduran diri, usaha menemukan sekutu di antara rakyat dan melawan kaum konservatif, dan di antara kaum konservatif melawan rakyat, yang merupakan ilmu para penguasa, dan yang membutakan orang jujur beserta orang-orang plegmatis yang selalu menunggu datangnya keselamatan dari atas.” (Anarchy, hal. 22)

Namun tak peduli seberapa besar persaingan dalam elit berlangsung, ketika ada ancaman sekecil apapun terhadap sistem yang selama ini menguntungkan mereka, kelas berkuas akaan bersatu membela kepentingan  bersam mereka. Setelah ancaman tersebut berlalu, mereka akan kembali bersaing satu sama lain untuk kekuasaan, pasar dan kekayaan. Sayangnya kelas pekerja jarang bersatu sebagai sebuah kelas, terutama karena kedudukan sosial dan politiknya. Paling banter, bagian-bagian tertentu bersatu dan menggunakan keuntungan serta enaknya kooperasi. Kaum anarkis, melalui gagasan dan tindakan mereka mencoba mengubah situasi ini dan mendorong solidaritas di dalam kelas pekerja untuk melawan, dan pada akhirnya lepas dari, kapitalisme. Namun dmikian, aktivitas mereka dibantu oleh kenyataan yang seringkali disadari orang-orang yang berada dalam perjuanagn bahw “solidaritas adalah kekuatan” sehingga mereka mulai bekerja sama dan menyatukan perejuangan mereka melawan musuh bersama mereka. Tentu saja, sejarah penuh dengan perkembangan-perkembangan semacam itu.

B.7.1 Namun apakah kelas-kelas tersebut benar-benar eksis?

Apakah kelas-kelas tersebut memang benar-benar ada, atau hanya karangan kaum anarkis saja? Kenyataan bahwa kita juga perlu mempertimbangkan pertanyaan ini menunjukkan usaha propaganda yang dapat menembus yang dilakukan kelas berkuas untuk menekan kesadaran kelas, yang akan dibicarkan lebih lanjut nanti. Namun, pertama, mari kita periksa beberapa data statistik, dengan mengambil AS sebagai contoh (sebagian besar karena kelas jarang dibicarakan di sana, meski kelas pengusahanya sangat menyadari kelasnya.) Kita ketahui bahwa pada tahun 1986, pembagian pendapatan total AS adalah seperti berikut:

Sepertiga pendapatan dinikmati masyarakat di bawah yang jumlahnya 60% dari jumlah penduduk keseluruhan, sepertiga dinikmati oleh 30% penduduk di tingkat yang lebih atas, dan sepertiga lagi dinikmati oleh orang-orang yang ada di atas yang jumlahnya hanya 10%. Dalam hubungannya dengan kekayaan total nasional, 90% orang-orang yang ada di dasar memiliki sepertiga, sepertiga lainnya menuju 9% penduduk yang ada di tingkat berikutnya, dan sepertiga dinikmati oleh 1% penduduk yaitu mereka yang ada di atas. Karena itu, orang-orang di atas yang berjumlah 1% telah mengelola untuk mendapatkan pembagiannya sebanyak 40%, yang menunjukkan bahwa batas-batas kelas secara besar-besaran diperkecil selama dekade sebelumnya (lihat di atas).

Pada tahun 1983 orang terkaya yang jumlahnya hanya 0,5% menguasai lebih dari 45% kekayaan nasional bersih. Kekayaan ini meliputi 47% dari semua saham korporasi, 62% surat obligasi yang tak dikenai pajak, dan 77% dari semua trust. 60% dari semua keluarga AS memiliki aset kurang dari $5000. Setengahnya memiliki aset $2300 atau kurang. Pada tahun 1986 keluarga-keluarga terkaya yang jumlahnya 1% memiliki sekitar 53% dari  total pendapatan penduduk. Hanya sekitar 51 juta penduduk AS yang memiliki saham atau  efek secara bersama-sama, yang mana sekitar 19% dari peenduduk AS dan 5% yang berada di puncak memiliki 95% dari semua efeks. Orang terkaya yang jumlahnya 1% dari seluruh rumah tangga di AS (sekitar 2 juta orang dewasa) memiliki 35% saham yang dimiliki oleh individu pada tahun 1992– dengan 10% orang-orang yang berada di puncak yang memiliki lebih dari 81%. 90% penduduk AS yang berada di bawah memiliki efek yang lebih kecil (23%) dari semua jenis modal yang dapat diinvestasikan  oleh orang-orang kaya yang jumlahnya hanya 0,5% (yang memiliki 29%).

AS membawa dunia yang terindustrialisasi dalam kemiskinan — 17% dari orang-orang yang berusia di atas 18 dan sekitar 15% dari total penduduk. 22% memperoleh kurang dari setengah pendapatan rata-rata. 40% anak-anak afro-amerika hidup dalam kemiskinan pada tahun 1986.

Semua fakta ini membuktikan bahwa pada kenyataannya kelas-kelas tersebut memang benar-benar eksis, dengan kekayaan dan kekuasaan yang terkonsentrasi di puncak masyarakat, di tangan sedikit orang.

Gambar berikut ini berasal dari Biro Sensus AS yang menunjukkan rata-rata polarisasi kekayaan, dan karenanya mengetatkan batas-batas kelas, yang terjadi lebih dari 20 tahun yang lalu:

Persentase Pembagian Pendapatan Rumah Tangga Keseluruhan

dalam Kuintil: 1974-1994

[table colalign=”center|center|center|center|center|center|center”]
,Terbawah,Kedua,Ketiga,Keempat,Tertinggi,5%Teratas
1974,”4,3″,”10,6″,”17,0″,”24,6″,”43,5″,”16,5″
1984,”4,0″,”9,9″,”16,3″,”24,6″,”54,2″,”17,1″
1994,”3,6″,”8,9″,”15,0″,”23,4″,”49,1″,”21,2″
[/table]

Persentase kenaikan/penurunan dari tahun ‘74 sampai ‘94 :

[table colalign=”center|center”]
Kuintil,Persentase
Kuintil Terendah,”-16%”
Kuintil Kedua,”-16%”
Kuintil Ketiga,”-11,7%”
Kuintil Keempat,”-4,9%”
Kuintil Tertiggi,”+12,9%”
5% Tertinggi,”+28,5%”
[/table]

Pada tahun 1994, kesenjangan penghasilan antara kuintil teratas (49,1%) dan kuintil terbawah (3,6%) merupakan kesenjangan terbesar dari yang pernah dilaporkan. Jelas, bukan hanya rumah tangga yang berada di quintil terbawah yang jumlahnya dua perlima yang telah kehilangan pasarannya selama lebih dari 20 tahun yang lalu, melainkan juga mereka yang berada di tingkat menengah. Penghasilan pekerja fulltime turun lebih dari $300 pada tahun 1993. Pada kenyataannya, seperti yang dapat dilihat dari persentase penurunan, 80% penduduk mengalamimnya sementara 20%penduduk yang merupakan warga yang berada di papan atas semakin kaya. Bagaimanapun juga, hal ini lebih tidak adil, karena 9,9% tertinggi dari kuintil kelima– kuintil ini mengalami peningkatan penghasilan sebesar 12,9% –adalah mereka yang menempati posisi 5% yang tertinggi.

Meskipun persentase pembagian kekayaan yang dimiliki individu dan keluarga terkaya di AS mengalami peningkatan terus menerus sejak pertengahan tahun 50-an, angka konsentrasi di puncak lebih terakselerasi selama tahun 80-an dibandingkan dalam tahun-tahun kapanpun. Menurut laporan New York Times jumlah milyuner hampir mengalami penggandaan pada tahun 1986– dari 14 menjadi 26 — hanya dalam satu tahun.

Sejauh ini orang yang memperoleh konsentrasi kekayaan terbesar dari dua dekade terakhir ini telah menjadi super kaya. Tak heran politisi AS saat ini mengemukakan retorika anti kelas mereka!

Peningkatan polarisasi kekayaan dewasa ini sebagian terkait dengan peningkatan globalisasi modal, yang memperkecil upah pekerja dalam negara-negara industri maju akibat adanya persaingan antara pekerja di negara-negara tersebut dengan pekerja di negara-negara dunia ketiga untuk mendapatkan pekerjaan. Dikombinasikan dengan kebijakan perekonomian “trickle-down” yang memotong pajak bagi si kaya, menaikkan pajak untuk kelas pekerja, mempertahankan hukum alam bagi penganggurang (yang memperlemah kekuatan serikat dan pekerja) serta memotong kembali program-program sosial, hal ini mengurangi standar kehidupan bagi semua pihak selain orang-orang yang berada pada strata yang lebih tinggi–suatu proses yang jelas menggiring masyarakat menuju kehancuran sosial, dengan akibat-akibat yang akan kita bahas nanti (lihat bagian D.9).

Terlebih lagi seperti yang dituliskan Doug Henwood, “penilaian internasional meletakkan AS dalam sorotan yang memalukan…Versi yang sangat mengena dari data LIS (Luxembourg Income Study) adalah sebagai berikut: sebagai negara yang kaya, AS memiliki banyak orang miskin.” Henwood melihat adanya keterkaitan dan penilaian yang absolut mengenai pendapatan dan kemiskinan dengan menggunaakn perbandingan lintas batas dari distribusi pendapatan yang diberikan oleh LIS dan menemukan bahwa “sebagai negara yang menggap dirinya secara universal sebagai kelas menengah (yaitu dengan pendapatan menengah), AS memiliki kelas mengah kedua terkecil dari 19 negara yang didata LIS.” Hanya Rusia, negara yang berada dalam keadaan nyaris kolaps total yang memburuk (40,9% dari penduduk dengan pendapatan menengah dibandingkan dengan AS yang hanya 46,2%. Rumah tangga yang dianggap miskin adalah rumah tangga yang memiliki penghasilan di bawah 50% rata-rata nasional; mendekati miskin, antara 50 hingga 62,5%; menengah, antara 62,5 hingga 150%; dan kaya lebih dari 150%. Di AS, angka untuk miskin (19,1%), mendekati miskin (8,1%) dan menengah (46,2%). Keadaan tersebut lebih buruk dari negara-negara Eropa seperti Jerman (11,1%, 6,5% dan 64%), Prancis (13%, 7,2% dan 60,4%), dan Belgia (5,5%, 8,0% dan 72,4%); juga Kanada (11,6%, 8,2% dan 60%) serta Australia (14,8%, 10% dan 52,5%).

Apa alasan untuk hal ini? Henwood menyatakan bahwa “alasannya telah jelas– lemahnya serikat-serikat yang ada  dan negara kesejahteraan (welfare state). Negara-negara sosial demokratik– yang melakukan banyak intervensi dalam pendapatan pasar– memiliki (kelas menengah) yang paling beesar. Angka kemiskinan AS mendekati dua kali rata-rata angka kemiskinan kesembilanbelas negara lainnya.” Tak perlu dikatakan “kelas menengah” yang disefinisikan berdasarkan pendapatan merupakan term yang sangat jelas (seperti pendapat Henwood). Term tersebut tidak memasukkan aspek pemilikan property atau kekuasaan sosial, sebagai contoh, melainkan hanya pendapatan, yang seringkali digunakan oleh pers kapitalis untuk mendefinisikan “kelas”, sehingga dapat kita gunakan, dalam analisa,  untuk menyangkal klaim bahwa pasar bebas meningkatkan kesejahteraan umum (yaitu “kelas menengah” yang lebih besar). Sebagian besar bangsa dengan pasar bebas memiliki angka kemiskinan yang lebih buruk dan juga “kelas menengah” yang paling kecil. Hal ini menjelaskan dengan tepat klaim kaum anarkis bahwa kapitalisme, dengan muslihatnya, akan lebih menguntungkan si kuat (kelas berkuasa) daripada yang lemah (kela pekerja) melalui “pertukaran bebas” pada “pasar bebas” (seperti argumen kita pada bagian C.7, hanya selama periode tanpa pengangguran– dan/atau solidaritas serta  militansi kelas pekerja dalam skala besar– dicapai keseimbangan kekuatan yang mendukung kelas pekerja. Tak heran, jika kemudian dalam periode ini  juga terjadi kehancuran ketidaksetaraan– lihat Created Unequal, karya James K. Galbraith, untuk keterangan lebih jelas mengenai korelasi pengangguran dengan ketidaksetaraan).

Tentu saja dapat diajukan suatu keberatan bahwa penilaian yang sifatnya relatif mengenai kemiskinan dan pendapatan ini mengabaikan kenyataan bahwa pendapatan AS merupakan salah satu yang tertinggi di dunia, artinya, orang miskin di AS mungkin sedikit agak kaya jika dipandang dari standar negara lain. Henwood menolak pendapat ini dengan menyatakan “dalam penilaian yang sifatnya absolut, prestasi yang diraih AS ini memalukan. Lane Kenworthy seorang peneliti LIS membuat estimasi angka kemiskinan lima belas negara dengan menggunakan batas kemiskinan di AS sebagai patokan…Meskipun AS memiliki pendapatan rata-rata tertinggi, estimasi tersebut jauh dari angka kemiskinan terendah.” Hanya Italia, Inggris dan Australia yang meiliki tingkat kemiskinan absolut yang lebih tinggi (dan Australia melampaui nilai AS dengan 0,2%, 11,9% dibandingkan dengan 11,7%). Jadi, dalam term yang absolut maupun relatif, dibandingkan dengan negara-negara Eropa, AS tetap lebih buruk. (Doug Henwood, “Boomming, Borrowing, and Consuming: The US Economy in 1999”, hal. 120-33, Monthly Review, vol. 51, no.3, hal. 129-31)

Meski dihadapkan pada kenyataan ini, masih banyak pendukung kapitalisme yang tetap mengingkarinya. Dalam sistem kasta, orang-orang yang lahir dalam suatu kasta tetap berada di dalam kasta tersebut sepanjang hidupnya. Dalam sistem kelas, anggota suatu kelas dapat berubah setiap saat. Karena itu, ada pernyataan bahwa yang penting bukanlah eksistensi kelas melainkan mobilitas pendapatan. Berdasarkan argumen tersebut, jika ada mobilitas pendapatan dalam tingkat yang tinggi, maka derajat ketidaksetaraan dalam saat-saat tertentu tidaklah penting. Hal ini terjadi karena redistribusi pendapatan pada kehidupan seseorang akan sangat setara. Sayangnya bagi para pendukung kapitalisme, anggapan ini benar-benar cacat.

Pertama, kenyataan adanya mobilitas pendapatan dan pergantian keanggotaan kelas tidak mengubah kenyataan bahwa sistem kelas ditandai oleh perbedaan kekuasaan yang juga seiring dengan perbedaan dalam pendapatan. Dengan kata lain, karena setiap orang dimungkinkan (dalam teori) untuk menjadi seorang majikan, hal ini tidak menjadikan kekuasaan dan kekuatan yang dimiliki majikan terhadap pekerjanya (atau pengaruh kekayaan mereka dalam masyarakat) lebih sah (hanya karena setiap orang–dalam teori–dapat menjadi anggota pemerintah tidak lantas menjadikan pemerintah mengurangi keotoriterannya). Karena keanggotaan kelas majikan dapat berubah, tidak berarti bahwa kenyataan kehadiran kelas semacam itu mengalami pengingkaran.

Keduaa, betapa terbatasnya mobilitas pendapatan yang ada di bawah kapitalisme.

Dengan mengambil AS sebagai contoh (yang biasanya dianggap sebagai salah satu negara yang paling kapitalis di dunia) memang terdapat mobilitas pendapatan, namun tidak cukup untuk menjadikan ketidaksetaraan sebagai sesuatu yang tidak relevan. Data sensus menunjukkan bahwa 81,6% dari keluarga-keluarga yang berada di kuintil dasar distribusi pendapatan masih tetap berada di sana pada tahun 1985, sedangkan untuk kuintil puncak, 76,3%.

Untuk waktu yang lebih lama, lebih tercampur namun tidak cukup banyak dan mereka yang masuk ke dalam kuintil berbeda biasanya berada pada batas kategori memreka (contohnya mereka yang terlempar dari kuintil puncak biasanya menempati dasar kuintil tersebut). Hanya sekitar 5% dari keluarga yang berasal dari kuntil dasar berpindah ke kuintil puncak, atau terlempar dari puncak ke dasar. Dengan kata lain, struktur kelas masyarakat kapitalis modern agak solid dan “banyak perpindahan ke atas dan ke bawah menunjukkan fluktuasi di sekitar distribusi jangka panjang yang ditentukan dengan baik. (Paul Krugman, Peddling Prosperity, hal. 143)

Barangkali di dalam sistem kapitalis yang “murni” semuanya akan berbeeda. Ronald Reagen membantu menjadikan kapitalisme semakin menuju “pasar bebas” di tahun 1980-an, namun tak ada indikasi bahwa mobilitas pendapatan meningkat secara signifikan selama itu. Pada kenyataannya, menurut studi Greg Duncan dari Universitas Michigan, kelas menengah mengalami penyusutan selama 1980-an, dan lebih sedikit lagi  keluarga-keluarga miskin yang mengalami mobilitas ke atas, atau keluarga kaya yang terlempar ke bawah. Duncan melakukan perbandingan pada dua periode. Selama periode pertama (1975-1980) pendapatan lebih setara dibandingkan saat ini. Pada periode kedua (1981-1985) ketidaksetaraan pendapatan lah yang mulai menonjol. Dalam periode ini terjadi reduksi pada mobilitas penghasilan ke atas dari penghasilan rendah menuju penghasilan menengah lebih dari 10%.

Di bawah ini adalah gambaran sesungguhnya (disebutkan oleh Paul Krugman, “The Rich, the Right, and the Facts”,  The American Prospect no.11, tahun 1992, hal 19-31) :

Persentase keluarga yang mengalami transisi menuju dan dari kelas menengah (periode lima tahun sebelum dan sesudah tahun 1980)

[table]
Transisi,Sebelum 1980,Sesudah 1980
Pendapatan menengah menuju pendapat rendah,”8,5″,”9,8″
Pendapatan menengah menuju pendapatan tinggi,”5,8″,”6,8″
Pendapatan rendah menuju pendapatan menengah,”35,1″,”24,6″
Pendapatan tinggi menuju pendpatan menengah,”30,8″,”27,6″
[/table]

Tak heran kemudian jika Doug Henwood berpendapat bahwa “seruan akhir orang-orang yang membela cara-cara yang dilakukan Amerika yang merupakan seruan terhadap mobilitas legendaris kita” mengalami kegagalan. Dalam  kenyataannya, “orang pada umumnya tidak beranjak jauh dari asal kelas pendapatan mereka, dan terdapat sedikit perbedaan antara pola mobilitas di AS dan Eropa. Dalam kenyataan, AS memiliki bagian terbesar dari apa yang disebut OECD dengan pekerja ‘berupah rendah’, dan prestasi terburuk dalam hal  upah yang rendah  dari  negara lainnya yang diteliti.” (Op. Cit., hal.130)

Karena itu, mobilitas pendapatan tidak memperbaiki sistem kelas dan akibat yang ditimbulkan sistem tersebut seperti hubungan sosial yang otoriter dan ketidaksetaraan dalam term kebebasan, kesehatan dan pengaruh sosial. Dan fakta menunjukan bahwa dogma kaum kapitalis mengenai “meritokrasi” yang berusaha membenarkan sistem ini tidak terlalu berdasar dalam kenyatannya.

B.7.2 Mengapa eksistensi kelas diingkari?

Kemudian, jelas bahwa kelas memang benar-benar eksis. Sama jelasnya dengan kenyataan bahwa individu dapat jatuh bangun dalam struktur kelas–meski, tentu saja, lebih mudah menjadi kaya jika kita dilahirkan dalam keluarga kaya bila dibandingkan lahir dalam keluarga yang miskin. Sehingga James W. Loewen melaporkan bahwa “95% dari para eksekutif dan pemodal di Amerika pada sekitar peralihan abad memiliki latar belakang dari kelas atas atau kelas menengah atas. Kurang dari 3% yang berasal dari kaum imigran miskin atau anak-anak petani. Sepanjang abad ke-19, hanya 2% dari industriawan Amerika yang berasal dari kelas pekerja.” (dalam “Lies My Teacher Told Me” disebutkan oleh William Miller, “American Historians and the Business Elite,” dalam Men in Bussiness, hal. 326-28; cf. David Montgomery, Beyond Equality, hal.15) Dan hal ini terjadi di puncak kapitalisme “pasar bebas” AS saat itu. Menurut survai yang dilakukan C. Wright Mills dan ditulis dalam bukunya The Power Elite, sekitar 65% dari penghasilan tertinggi CEO dalam korporasi-korporasi di Amerika berasal dari keluarga kaya. Bagaimanapun juga, meritokrasi, tidak menampilkan masyarakat “tanpa kelas”, hanya karena beberapa mobilitas eksis di antara kelas. Bahkan kita terus menerus mendengar bahwa kelas merupakan suatu model yang ketinggalan zaman; bahwa kelas tidak lagi eksis, hanya memisahkan individu yang sama-sama menikmati “persamaan kesempatan”, “kesetaraan di muka hukum”, dan lain-lain. Jadi apa yang sedang terjadi?

Keenyataan bahwa media kapitalis merupakan promotor terbesar gagasan “berakhirnya kelas menimbulkan pertanyaan dalam diri kita mengapa mereka melakukannya. Kepentingan pihak mana yang diwakili dengan adanya pengingkaran eksistensi kelas? Sudah jelas kepentingan kelas yang menjalankan sistem kelas, yng mendapatkan keuntungan darinya, yang ingin setiap orang berpikir bahwa kita semua “setara”. Orang-orang yang mengkontrol media utama tidak menginginkan meluasnya gagasan kelas karena mereka sendiri merupakan anggota kelas berkuasa, dengan semua hak istimewa yang didapatkannya. Karena itu mereka menggunakan media sebagai alat propaganda untuk membentik opini publik dan mengalihkan perhatian kelas menengah dan kelas pekerja dari isu-isu yang krusial. Inilah sebabnya mengapa sumber-sumber berita utama tidak memberikan apa-apa selain analisa superfisial, laporan yang bias dan selektif, kebohongan, dan serangan kata-kata tanpa akhir mengenai jurnalisme kuning, perangsang, dan “hiburan” daripada membahas sifat kelas dari masyarakat kapitalis (lihat D.3, “Bagaimana kekayaan mempengaruhi mass media?”)

Universitas, think tank, dan lembaga-lembaga penelitian pribadi juga merupakan alat propaganda yang penting bagi kelas berkuasa. Hal ini menjelaskan mengapa mainstream dalam lingkup akademis tabu untuk menyatakan pendapat bahwa apapun yang menyerupai kelas berkuasa memang eksis di AS. Para pelajar malah terindoktrinasi dengan mitos masyarakat “pluralis” dan “demokratis”–sebuah imaginasi di mana semua hukum dan kebijakan publik deitentukan hanya oleh sejumlah “dukungan publik” yang dimiliki–tentu saja bukan oleh faksi kecil apapun yang memegang kekuasaan dalam takaran yang tidak proporsional.

Pengingkaran eksistensi kelas merupakan alat yang berdaya guna di tangan penguasa. Alexander Berkman mengatakan, “institusi sosial kita dibangun pada pemikiran tertentu; sehingga pada akhirnya muncul suatu kepercayaan bahwa institusi yang didirikan tidak membahayakan masyarakat tersebut… melemahnya gagasan yang mendukung kondisi opresif yang kejam ini sama artinya dengan jatuhnya pemerintah dan kapitalisme” (ABC of Anarchism, hal.xv)

Para konsumen yang terisolasi tidak memiliki kesempatan untuk melakukan sesuatu bagi dirinya sendiri. Individu yang sendirian dapat dengan mudahnya dikalahkan, sedangkan serikat individu yang saling mendukung satu sama lain engalami kebalikannya. Sepanjang sejarah kapitalisme kelas berkuasa berusaha–dan seringkali berhasil–menghancurkan organisasi kelas pekerja. Mengapa? Karena dalam serikat terdapat kekuatan–kekuatan yang dapat menghancurkan sistem kelas seperti juga  negara dan menciptakan sebuah dunia baru.

Itulah sebabnya mengapa kaum elit mengingkari eksistensi kelas yang semacam itu. Pengingkaran tersebut merupakan bagian dari strategi meeka untuk memenangkan pertempuan gagasan dan emastikan bahwa orang tetap merupakan individu yang teratomisasi. Melalui “kesepakatan manufaktur” (menggunakan istilah Walter Lipman untuk fungsi media), kekuatan tak perlu digunakan. Dengan membatasi sumber-sumbeer informsai publik menjadi aalat propaganda yang dikontrol negara dan elit korporat, semua perdebatan dapat dibatasi dalam kerangka konseptual terminologi dan asumsi kaum kapitalis, dan segala sesuatu yang didasarkan pada kerangka konseptual lainnya dapat dimarginalkan. Jadi rata-rata manusia dikondisikan untuk menerima keadaan masyarakat sekarang ini sebagai sesuatu yang “baik” dan “adil” atau setidaknya “terbaik yang ada saat ini”, karena tak ada alternatif lain yang boleh dibicarakan.

B.7.3 Apa yang dimaksudkan kaum anarkis dengan “kesadaran kelas”?

Karena eksistensi kelas seringkali diabaikan atau dianggap tidak penting (“majikan dan pekerja memiliki kepentingn yang sama”) oleh media utama, memang penting untuk terus menunjukkan fakta-fakta dalam situasi: bahwa seorang elit kaya mengendalikan  dunia dan mayoritas penduduk patuh kepada hierarki serta bekerja untuk memperkaya orang lain.

Hal ini menjadi penyebab mengapa kaum anarkis menekankan kebutuhan akan “kesdaran kelas”, karena dengan mengenali keberadan kelas dan bahwa kepentingan mereka mengalami konflik. Sadar kelas memiliki arti bahwa kita menyadari fakta-fakta obyektif dan bertindaak dengan tepat untuk mengubahnya. Meski mungkin analisa kelas muncul pertama kali sebagai sebuah pemikiran baru, konflik kepentingan kelas dikenal baik di sisi lain pemisahan kelas. Contohnya, James Madison dalam Federalist Paper #10 menytakn bahwa “orang-orang yang memiliki dan yang tidka memiliki telah membentuk perbedaan kepentingan dalam masyarakat.” Bagi kaum anarkis, kesadaran kelas memiliki arti mengenali apa yang telah diketahui sang majikan: pentingnya solidaritas dengan orang lain yang berada dalam kedudukan kelas yang sama seperti dirinya dan bertindak sebagai pihak yang setara dalam mencapai tujuan bersama. Namun, kaum anrkis berpikir bahwa kesadaran kelas juga harus berarti sadar akan semua bentuk kekuasaan hierrakis, bukan hanya sekedar penindasan ekonomi.

Karenaa itu muncul sebuah argumen bahwa kaum anarkis sesungguhnya menginginkan kesadaran “anti kelas”–yaitu, agar orang mengakui keberadaan kelas, memahami mengapa mereka ada, dan bertindak untuk menghapuskan akar penyebab kelangsungan eksistensi kelas [“kesadaran kelas”, menurut Vernon Richard. “bukan hanya berarti keinginan untuk mengekalkan kelas, melainkan kesadaran akan eksistensi kelas, suatu pemahaman mengapa mereka ada, dan suatu determinasi, yang di dapatkan dari pengetahuan dan militansi, untuk menghapuskannya.” (The Impossibilities of Social Democracy, hal 133)]. Singkatnya, kaum anarkis ingin menghapus keberadaan kelas, bukan menguniversalisasikan kelas “pekerja” (yang mensyaratkan adanya tahap eksistensi kapitalisme)

Lebih penting lagi, kesadaran kelas tidak memasukkan  “pemujaan terhadap pekerja”. Sebaliknya, seperti pendapat Murray Bookchin, “pekerja mulai menjadi seorang yang revolusioner ketika ia melepaskan ‘sifat pekerjanya’, ketika ia mulai membenci status kelasnya, disini dan pada saat ini, ketika ia mulai melepaskan … etika kerjanya, karakter strukturnya yang berasal dari disiplin industrial, penghargaannya terhadap hierarki, kepatuhan kepada pemimpin, konsumerisme, dan sisa-sisa puritanisme.” (Post-Scarcity Anarchism, hal. 189) Karena, pada akhirnya, kaum anarkis “tak dapat berbuat apa-apa hingga kelas pekerja melepaskan diri dari ilusinya, penerimaan terhadap majikan dan kesetiaan kepada pemimpin”.(Marie-Louise Berneri, Neither East Nor West, hal 19)

Mungkin dapat diajukan suatu keberatan bahwa hanya terdapat individu-individu dan kaum anarkis berusaha menempatkan banyak orang ke dalam suatu kotak dan menempelkan sebuah tanda, seperti “kelas pekerja”, di atasnya. Dalam tanggapannya, kaum anarkis sepakat, ya, memang “hanya” ada individu-individu namun beberapa dari mereka adalah majikan, dan sebagian besar adalah kelas pekerja. Tanggapan ini merupakan pemisahan yang obyektif dalam masyarakat yang selalu disembunyikan oleh kelas berkuasa dengan segala macam cara, namun muncul selama pertentangan sosial. Dan pertentangan seperti itu adalah bagian dari proses yang semakin menindas subyektifitas orang untuk mengenali obyektifitas fakta.  Dan dengan semakin banyak orang yang mengetahui fakta-fakta dalam realita kapitalis, akan semakin banyak orang yang ingin mengubahnya.

Sekarang ini, terdapat orang-orang dari kelas pekerja yang menginginkan sebuah masyarakat anarkis dan ada yang hanya ingin mendaki hierarki untuk mendapatkan posisi di mana mereka dapat memaksakan kehendak mereka pada orang lain. Namun demikian hal tersebut tidak mengubah fakta bahwa posisi mereka saat ini berada dalam kepatuhan terhadap penguasa hierarki sehingga sehingga dapat menimbulkan suatu konflik dengannya. Dengan demikian, mereka harus melatih aktivitas diri sendiri dan pertentangan ini dapat mengubah pikiran mereka, apa yang mereka pikirkan, sehingga kemudian mereka teradikalisasi. Semua ini, efek-efek radikalisasi dari aktivitas diri dan pertentangan sosial, merupakan faktor kunci mengapa kaum anarkis terlibat di dalamnya. Efek-efek tersebut juga merupakan sarana yang penting untuk menciptakan lebih banyak lagi kaum anarkis dan juga meningkatnya jumlah orang yang menyadari akan anarkisme sebagai sebuah alternatif lain yang menarik dalam kapitalisme.

Pada akhirnya, bukan kelas asalmu yang dipermasalahkan, melainkan apa yang kamu yakini. Dan apa yang kamu lakukan. Karena itu, kita ketahui kaum anarkis seperti Bakunin dan Kropotkin, mantan-mantan anggota kelas berkuasa Rusia, atau seperti Malatesta, lahir dalam keluarga kelas menengah Italia, menolak latar belakang mereka dan hak istimewa yang dimilikinya kemudian menjadi pendukung kebebasan kelas pekerja. Namun kaum anarkis mendasarkan aktivitasnya terutama pada kelas pekerja (termasuk petani penggarap, pengrajin yang bekerja sendiri, dll) karena adanya kepatuhan kelas pekerja terhadap hierarki sehingga muncul kebutuhan nyata untuk melawan kelangsungannya. Proses melawan kekuatan ini dapat menimbulkan dan memiliki efek-efek yang meradikalisasi bagi mereka yang terlibat sehingga terjadi perubahan mengenai apa yang mereka percaya dan lakukan.

Karena itu kita akui bahwa hanya orang-orang yang berada di tingkat dasar masyarakat lah yaang memiliki kepentingan dalam dirinya untuk membebaskan diri dari beban orang-orang yang ada di puncak, sehingga kita melihat pentingnya kesadaran kelas dalam perjuangan kaum tertindas untuk pembebasan diri. Jadi, “berbeda dalam kepercayaan peran mesianik kelas pekerja, tujuan kaum anarkis adalah untuk menghapus kelas pekerja karena term ini terkait dengan mayoritas penduduk yang serba kekurangan dalam semua msyarakat yang ada…Apa yang kita katakan adalah bahwa tak ada revolusi yang berhasil tanpa partisipasi aktif dari kaum pekerja, produsen, bagian-bagian penduduk…Kekuatan negara, nilai-nilai masyarakat otoriter hanya dapat diubah dan dihancurkan oleh kekuatan yang lebih besar dan nilai-nilai baru.” (Vernon Richards, The Raven, no. 14, hal. 183-4) Kaum anarkis juga mengemukakan pendapat bahwa salah satu efek dari aksi langsung melawan penindasan dan eksploitasi terhadap kelas pekerja akan menjadi ciptaan kekuatan dan nilai-nilai baru, nilai-nilai yang didasarkan pada penghargaan terhadap kebebasan individu dan solidaritas (lihat bagian J.2 dan J.4 mengenai aksi langsung dan potensi yang membebaskan).

Bagi kaum anarkis, “perjuangan kelas tidak terpusat di sekitar eksploitasi material saja namun juga pada eksploitasi spiritual…(juga) penindasan lingkungan dan psikologis.” (Bookchin, Op. Cit., hal. 229-230) Artinya bahwa kita tidak menganggap penindasan ekonomi sebagai satu-satunya hal yang penting serta mengabaikan pertentangan dan bentuk-bentuk penindasan di luar tempat kerja. Sebaliknya, para pekerja adalah manusia, bukan robot yang dikendalikan secara ekonomi oleh kaum kapitalis dan mitologi leninis. Mereka memperhatikan segala sesuatu yang berpengaruh –orangtua, anak-anak, teman-teman, tetangga, planet dan, yang paling sering, orang-orang yang benar-benar asing.

Leave a Reply