B.1 Mengapa kaum anarkis melawan kekuasan dan hierarki?

[sc:afaq1]

B.1 Mengapa kaum anarkis melawan kekuasan dan hierarki?

[toc]

Pertama, penting untuk menunjukkan kekuasaan macam apa yang dientang anarkisme. Seperti yang ditunjukkan Erich Fromm dalam To Have or To Be, “kekuasaan” adalah “suatu term yang luas dengan arti-arti yang sama sekali berbeda: dapat berarti kekuasan “rasional” atau “irasional”. Kekuaasaan rasionl didasarkan pada kompetensi, dan membantu orang yang bersandar  padanya untuk utmbuh. Kekuasaan irasional berdasarkan pada kekuasaan dan pelayanan untuk mengeksploitasi orang-orang yang patuh padanya.” (hal. 44-45) Poin yang sama juga dibuat Bakunin 100 tahun sebelumnya (lihat God and the State, sebagai contoh) ketika ia menunjukkan perbedaan antara kekuasaan dan pengaruh.

Poin penting ini dinyaakan dalam perbedaan memiliki kekuasaan dan menjadi penguasa. Menjadi penguasa memiliki arti bahwa orang tertentu umumnya diakui berkompeten atas tugas yang diberikan, berdasarkan pada keterampilaan dan pengetahuan individunya. Dengan kata lain, secara sosial ada pengakuan atas keahliannya. Sebaliknya, memiliki kekuasaan merupakan hubungan sosial yang didasarkan pada status dan kekuasaan yang diturunkan dari posisi hierarkis, bukan pada kemampuan individu. Jelas hal ini tidak berarti bahwa kompetensi bukanlah elemen untuk mencapai posisi hierarkis; memiliki kekuasaan hanyalah berarti bahwa kompetensi awal yang nyata atau yang bersifat dugaan ditransfer pada gelar atau posisi kekuasaan dan sehingga lepas dari individu, yaitu, terinstitusionalisasikan.

Perbedaan ini penting karena cara orang bertingkahlaku adalah hasil dari institusi yang membesarkan kita, dan lebih dari sifat inheren apapun. Dengan kata lain, hubungan sosial membentuk individu yang terlibat. Artinya bahwa macam-macam kelompok yang dibuat individu memiliki kebiasaan, tingkah laku dan akibat-akibat yang tak dapat dimengerti dengan mereduksinya ke dalam individu yang ada di dalamnya. Yaitu, kelompok-kelompok tidak hanya terdiri dari individu, melainkan juga hubungan di antara individu dan hubungan-hubungan ini akan mempengaruhi mereka yang patuh kepadanya. Contohnya, jelas “penggunaan kekuasaan oleh beberapa orang unuk melemahkan lainnya” dan sehingga melalui suatu “kombinasi intimidasi fisik, dominasi dan ketergantungan ekonomi, serta pembatasan psikologis, institusi dan praktek sosial mempengaruhi cara seseorang memandang dunia dan tempat ia berada.” (Marha A. Ackelsberg, Free Women of Spain, hal. 20)

Hubungan sosial otoriter memiliki arti membagi masyarakat ke dalam (sedikit) pemberi perinath dan (banyak) penerima perintah, memiskinkan individu yang terlibat (secara mental, emosional dan fisik) dan masyarakt secara keseluruhan. Hubungan manusia, dalam semua bagian kehidupan, ditandai oleh kekuasaan, bukan kebebasan. Dan karena kebebasan hanya dapa dicipakan oleh kebebasan, hubungan sosial otoriter (dan kebuuhan yang disyarakan) tidak dan tak dapat mendidik seorang manusia dalam kebebasan- hanya partisipasi (penngelolaan mandiri) dalam setiap bidang kehidupan yang dapat melakukannya.

Tentu saja akan ditunjukkan bahwa dalam pekerjaan kolektif apapun terdapat kebutuhan aakan kooperasi dan koordinasi, dan kebutuhan untuk “mensubordinasikan”individu ke dalam aktivitas kelompok adalah bentuk kekuasaan. Ya, namun ada dua cara berbeda mengkoordinasikan aktivitas individu dalam kelompok–baik dengan cara otoriter mmaupn dengan cara liberal. Proudhon, dalam hubungannya dengan tempat kerja, memberikan pembedaan yang jelas:

“baik pekerja…akan benar-benar menjadi orang yang dipekerjakan oleh pemilik-kapitalsi- promotor: atau ia akan berpartisipasi … (dan) memiliki suara dalam dewan, dalam artian ia akan menjadi seorang rekan.

“Pada kasus pertama pekerja tersubordinasi, tereksploitasi: kondisi permanennya adalah kepatuhan…Dalam kasus kedua ia menyimpulkan martabatnya sebagai manusia dan warga negara…ia merupakan bagian dari organisasi yang menghasilkan, di mana sebelumnya ia hanyalah seorang budak; seperti halnya di kota, ia menjadi bagian dari organisasi kekuasaan, di mana sebelumnya ia adalah sasaran kekuasaan… kita tak perlu ragu karena kita tak punya pilihan… memang perlu membentuk suaatu ASOSIASI … karena tanpa itu mereka akan tetap terhubung sebagai sub ordinat dan superior, dan akan terdapat dua… kasta, yaitu kasta majikan dan buruh upahan, yang merupakan hal menjijikkan bagi masyarakat bebas dan demokrtis.” (Piere-Joseph Proudhon, General Idea of the Revolution, hal.215-216)

Dengan kata lain, asosiasi dapat didasarkan pada bentuk kekuasaan rasional, di dasarkan pada pengaruh natural  dan dengan demikian merefleksikan kebebasan, kemampuan individu untuk berpikir, bertindak, dan merasakan serta mengelola waktu dan aktifitas mereka sendiri. Sebaliknya, kita memasukkan elemen-elemen perbudakan ke dalam hubungan kita dengan orang lain, elemen-elemen yang meracuni keseluruhan dan membentuk kita dalam cara yang negatif (lihat bagian B.1.1). Hanya reorganisasi masyarakat dalam cara yang liberal (dan, bisa kita tambahkan transformasi mental yang dibutuhkan untuk  membuat suatu perubahan) akan membuat individu “mencapai setidaknya mencapai perkembangan yang seutuhnya, sementara terus tumbuh” dan membuang  “jiwa kepatuhan yang secara artifisial menimpanya” (Nestor Makhno, The Struggle Againts the State and Other Essays, hal 62).

Jadi, kaum anarkis “lebih baik tidak meminta apapun daripada mengetahui (orang lain)… menggunakan pengaruh yang sah dan natural, menerima dengan bebas, dan tak pernah memaksa… kami menerima semua kekuasaan natural dan semua pengaruh kenyataan, namun tidak satupun yang benar…” (The Political Philosophy of Bakunin, hal  255). Dukungan kaum anarkis untuk asosiasi bebas dalam kelompok-kelompok demokratis yang di dasarkan pada bentuk-bentuk organisasional semacam itu meningkatkan pengaruh dan mengurangi kekuasaan irasional dalam kehidupan kita. Angota-anggota organisasi semacam itu dapat membuat dan menampilkan gagasan dan pendapat mereka sendiri, mengevaluasi secara kritis usulan dan pendapat dari teman-teman mereka kecuali jika mereka sepakat atau dapat diyakinkan dan memiliki pilihan untuk meninggalkan aosiasi jika mereka tidak senang dengan aturannya. Karena itu pengaruh individu dan interaksi bebas yang terjadi di antara mereka menentukan sifat keputusan yang diambil, dan tak seorangpun yang berhak memaksakan gagasannya pada orang lain. Seperti pendapat Bakunin, dalam organisasi semacam itu “tak ada fungsi yang tetap dan fungsi itu tidak akan permanen serta pelekatannya pada seseorang dapat dibatalkan. Tak ada tatanan hierarkis dan promosi…Dalam sistem seperti itu, kekuasaan sebenarnya, tidak pernah ada. Kekuasaan tersebar dalam kolektivitas dan menjadi pernyataan sejati kebebasan setiap orang.” (Bakunin on Anarchism, hal 415)

Karena itu kaum anarkis melawan kekuasaan irasional (tidak sah), dengan kata lain hierarki– hierarki menjadi institusionalisasi kekuasaan di dalam sebuah masyarakat. Institusi sosial hierarkis meliputi negara (lihat bagian B.2), kepemilikan pribadi (lihat bagian B.3) dan, karenanya, kapitalisme (lihat bagian B.4). Berkaaitan dengan sifat hierarkisnya, kaum anarkis melawan semua institusi tersebut dengan bersemangat. Namun, hierarki berada di luaar institusi-institusi ini. Sebagai contoh, hubungan sosial hierarkis meliputi seksisme, rasisme, dan homo phobia (lihat bagian B.1.4), dan kaum anarkis melawan, serta memperjuangkan, mereka semua.

Seperti yang ditulis pada awal (A.2.8), kaum anarkis menganggap semua hierarkis tak hanya merugikan tetapi juga tak perlu, dan berpikir bahwa ada alternatif, cara-cara yang lebih egaliter untuk mengatur kehidupan sosial. Pada kenyataannya mereka berpendapat bahwa kekuasaan hierarkis menciptakan kondisi yang agaknya dirancang untuk menyerang, sehingga cenderung untuk mengekalkan diri sendiri. Jadi, birokrasi berpura-pura memerangi kemiskinan yang dapat mengakhiri pengekalan tersebut, karena tanpa kemiskinan, gaji besar pegawai tinggi tidak ada artinya. Hal yang sama juga diterapkan pada agen-agen yang bertujuan mengurangi penyalahgunaan obat, kriminalitas dan lain-lain. Dengan kata lain kekuasaan dan hak istimewa yang turun dari puncak posisi hierarkis merupakan insentif yang besar bagi mereka yang menanganinya bukan untuk menyelesaikan masalah yang seharusnya diselesaikan. (untuk pembahasan lebih lanjut lihat Beyond Power: On Women, Men ang Morals, karya Marilyn French, Summit Books, 1985)

B.1.1 Apa saja efek hubungan sosial yang otoriter?

Kekuasaan hierarkis tak dapat dilepaskan dari hubungannya dengan marginalisasi dan pembodohan orang-orang yang tak memiliki kekuasaan. Kekuasaan ini memiliki efek negatif bagi mereka yang dikuasai, karena “mereka yang memiliki simbol-simbol kekuasaan ini dan yang mendapat untung darinya harus mengnumpulkan pemikiran realistis orang-orang yang dikuasai, yaitu kekritisan, dan membuat mereka percaya pada fiksi (bahwa kekuasaan irasional merupakan sesuatu yang rasional dan perlu), … (sehingga) pikiran dininabobokan dalam kepatuhan dengan kata-kata klise… (dan)rakyat dibuat bodoh karena mereka menjadi tergantung dan kehilangan kapasitas mereka untuk mempercayai mata dan penilaian mereka.” (Erich Fromm, op.cit., hal. 47)

Atau dalam kata-kata Bakunin, “prinsip kekuasaan, yang digunakan oleh orang yang telah berhasil melebihi mayoritas mereka,  menjadi sesuatu yang aneh, sumber perbudakan, serta kebejatan moral dan intelektual. (God and the State, hal 41)

Hal ini digaungkan oleh para buruh tambang sindikalis yang menulis karya klasik The Miners’ Next Step ketika mereka menunjukkan sifat  organisasi otoriter dan efeknya pada mereka yang terlibat. Kepemimpinan (yaitu kekuasaan hierarkis) “menunjukkan kekuasaan yang dimiliki pemimpin. Tanpa kekuasaan, pemimpin tidak layak. Kepemilikan kekuasaan tak dapat dihindari lagi membawa penyalahgunaan… meskipun…dengan maksud baik… (kepemimpinan memiliki arti) kekuasaan untuk berinisiatif, rasa tanggung jawab ini, penghargaan terhadap diri sendiri yang datang dari ekspresi kedewasaan, diambil dari manusia dan dikonsolidasikan ke dalam pemimpin. Semua insiatif, tanggung jawab, penghargaan terhadap diri mereka menjadi … (dan) milik tatanan dan sistem yang ia pertahankan didasarkan pada penindasan terhadap manusia, dari pemikir yang independen menjadi “anak buah”… Singkatnya, ia dipaksa menjadi seorang otokrat dan musuh demokrasi.” Tentu saja, bagi pemimpin”, marginalisasi semacam itu dapat menjadi manfaat,  bagi seorang pemimpin “tidak melihat adanya kebutuhan akan tingginya tingkat kecerdasan rakyat jelata, kecuali untuk menghargai tindakannya. Memang kecerdasan seperti itu dari sudut pandangnya, dengan mendidik kekritisan dan perlawanan, merupakan suatu halangan dan penyebab kekacauan.” (The Miners’ Next Step, hal. 16-17, hal.15)

Kaum anarkis berpendapat bahwa hubungan sosial yang hierarkis akan membawa efek negatif bagi mereka yang patuh kepadanya, yang tak dapat lagi menggunakan kemampuan mental, kreatifitas,dan  kritis mereka dengan bebas. Seperti pendapat Collin Ward  orang-orang “menjalani kehidupan dari rahim sampai kuburan tanpa menyadari potensi kemanusiaan mereka, jelas hal tersebut karena kekuasaan untuk memulai, ikut serta dalam inovasi, memilih, menilai, dan memutuskan, diserahkan pada orang-orang yang berada di puncak” (dan biasanya laki-laki!) (Anarchy in Action, hal 42). Anarkisme di dasarkan pada pandangan bahwa ada keterkaitan antara struktur kekuasaan institusi dan sifat serta tingkah laku individu. Mematuhi perintah sepanjang hari tidak membangun kepribadian yang independen, kuat, dan kreatif. Seperti yang dijelaskan Emma Goldman, jika “inklinasi dan penilaian seseorang tersub-ordinasi pada kehendak tuan” (seperti halnya seorang majikan, sedangkan sebagian besar orang harus menjual tenaga mereka di awah kapitalisme) maka tidak heran hubungan otoriter semacam itu “membuat jutaan orang menjadi sesuatu yang tak berarti.” (Red Emma Speaks, hal 36)

Karena otak manusia merupakan organ tubuh, perlu digunakan secara teratur agar berfungsi maksimal. Kekuasaan mengkonsentrasikan pembuatan keputusan di tangan orang-orang yang berada di atas, yang artinya sebagian besar orang diatur mngikuti perintah orang lain. Jika otot tidak digunakan, maka akan menjadi gemuk; jika otak tidak digunakan, kretifitas, pemikiran kritis dan kemampuan mental menjadi tumpul dan dibelokkan ke dalam hal-hal, seperti olah raga dan fashion.

Karena itu, “institusi hierarkis mengembangkan hubungan yang mengalienasi dan eksploitatif di antara mereka yang berpartisipasi di dalamnya, membodohkan orang dan menjauhkan mereka dari kenyataan yang ada. Hierarki membuat beberapa orang tergantung kepada yang lainnya, menyalahkan orang yang tergantung tersebut atas ketergantungan mereka dan kemudian menggunakan ketergantungan tersebut sebagai pembenaran atas penggunaan kekuasaan lebih lanjut…. Mereka yang berada pada posisi yang relatif dominan, cenderung menegaskan sifat tersebut pada orang-orang yang  tersubordinasi…. Kaum anarkis berpendapat bahwa selalu berada dalam posisi yang dikenai tindakan dan tak pernah diijinkan untuk bertindak, adalah jatuh ke dalam keadaan ketergantungan dan kepasrahan. Mereka yang selalu diperintah dan dicegah untuk memikirkan dirinya, dengan segera meragukan kapasitas yang dimilikinya… (dan memiliki)  kesulitan bertindak sesuai dengan keinginan(nya) dalam melawan norma-noorma, standar dan harapan sosial.” (Martha Ackelsberg, Free Women of Spain, hal. 19-20)

Jadi, dalam kata-kata Colin Ward, “sistem menjadikan orang-orang bodoh, kemudian memandang rendah mereka atas tindakannya yang bodoh, dan memberi ganjaran pada  mereka yang ‘kurang berbakat’ untuk keanehannya.” (op.cit., hal 43)

Sebagai tambahan untuk efek psikologis negatif yang diakibatkan pengingkaran kebebasan, hubungan sosial otoriter juga menghasilkan ketidaksetaraan sosial. Hal ini terjadi karena individu yang patuh pada kekuasaan orang lain harus mematuhi perintah dari orang-orang yang ada di atasnya dalam hierarki sosial. Dalam kapitaalisme, hal ini berarti bahwa pekerja hrus menaati perintah majikaan (lihat bagian berikutnya), perintah yang dirancang utnuk memperkaya majikan (sebgai contoh, dari 1994 hingga 1995 upah untuk seorang  Kepala Eksekutif di Amerika naik 16%, dibandingkan dengan buruh yang hanya 2,8%, sehingga tidak dapat menyesuaikan dengan inflasi, dan mereka yang gajinya tetap tak dapat menyalahkan keuntungan korporat yang naik 14,8% tahun itu). Ketidaksetaraan dalam arti kekuasaan akan menerjemahkan dirinya ke dalam ketidaksetaraan kesejahteraan (dan begitu juga sebaliknya ). Efek ketidaksetaraan sosial seperti itu meluas.

Contohnya, orang miskin lebih mungkin untuk sakit dan meninggal di usia yang lebih muda dibandingkan dengan orang kaya. Terlebih lagi, derajat ketidak setaraan adalah penting (yaitu ukuran gap antara si miskin dan si kaya). Menurut editorial dalam British Medical Journal, “yang menentukan kesehatan dan kematian dalam masyarakat secara adalah keseluruhan kesejahteraan masyarakat tersebut dan terlebih lagi pada bagaimana kesejahteraan tersebut didistribusikan. Semakin setara kesejahteraan didistribusikan semakin baik kesehatan masyarakat tersebut,” (Vol.312, 20 April1996, hal 985)

Penelitian di AS, menemukan bukti yang besar mengenai hal ini. George Kaplan dan rekan-rekannya mengukur ketidaksetaraan di 50 negara bagian AS dan membandingkannya dengan angka kematian berdasarkan usia untuk semua penyebab kematian, dan muncul sebuah pola: semakin tidak metara distribusi pendapatan, semakin besar angka kematian. Dengan kata lain, ga antara si kaya dan si miskin, dan bukan pendapatan rata-rata masing-masing negara, yang memberikan rediksi terbaik mengenai angka kematian di masing-masing negara. (“Inequality in income and mortality in the United States: analysis of mortality and potential pathways, British Medical Journal, Vol. 312, 20 April 1996, hal 999-1003)

Pengukuran ketidaksetaraan pendapatan ini juga diuji terhadap kondisi-kondisi sosial lain di luar kesehatan. Negara dengan ketidaksetaraan terbesar dalam distribusi pendapatan juga memiliki angka pengangguran lebih tinggi, angka penahanan yang lebih tinggi, persentase yang lebih tinggi mengenai orang yang menerima santunan, persentase yang lebih besar mengenai orang yang tidak memiliki asuransi kesehatan, perbandingan yang lebih besar mengenai bayi yang lahir dengan berat badan rendah, angka pembunuhan yang lebih tinggi, angka kekerasan kriminalitas yang lebih tinggi, biaya yang lebih tinggi untuk perawatan kesehatan seseorang, dan biaya yang lebih tibggi untuk perlindungan polisi pada seseorang.

Terlebih lagi negara dengan distribusi pendapatan yang tidak setara juga mengeluarkan ongkos yang lebih kecil pada pendidikan bagi setiap orang, memiliki buku yang lebih sedikit bagi setiap orang di sekolah, dan memiliki penampilan pendidikan yang lebih miskin, termasuk ketrampilan membaca yang lebih buruk, keterampilan matematika yang lebih buruk dan angka kelulusan sekolah tinggi yang lebih rendah.

Seiring pertumbuhan gap antara si kaya dan si miskin  (yang menunjukkan peningkatan pada hierarki sosial di dalam dan tanpa tempat kerja), kesehatan rakyat memburuk dan struktur sosial terurai. Kekerasan psikologis yang diturunkan dari jenjang sosial memiliki efek yang merugikan pada manusia, selain efek -efek yang disebabkan oleh rumah, nutrisi, kualitas udara, kesempatan bersantai, dan perawatan kesehatan yang dinikmati si miskin dibawah standar. (lihat “Income inquality and mortality: why are they related?” karya George Davey Smith, British Medicaal Journal, Vol.312 [20 April 1996], hal. 987-988)

Tumbuhnya gap antara si kaya dan si miskin tidak ditakdirkan oleh Tuhan, alam, atau beberapa kekuatan super lainnya. Pertumbuhan gap tersebut diciptakan oleh sistem sosial tertentu, institusi dan cara kerjanya-sistem yang di dasarkan pada hubungan sosial otoriter yang mempengaruhi kita baik secara fisik maupun mental.

Semua ini bukan untuk menyatakan bahwa mereka yang berada di dasar hierarki adalah korban, atau bahwa mereka yang berada di puncak hierarki hanya mendapatkan keuntungan–bukan itu. Mereka yang berada di bawah terus-menerus melawan efek negatif hierarki dan menciptakan cara hidup non hierarkis serta memperjuangkannya. Proses aktifitas dan pembebasan diri yang terus menerus ini dapat dilihat dari gerakan buruh, wanita, dan lainnya– di mana, pada beberapa tingkat, orang menciptakan alternatifnya sendiri berdasarkan impian dan harapannya. Anarkisme berdasarkan, dan menimbulkan, proses perlawanan ini, harapan dan aksi langsung.

Jika kita mencermati mereka yang berada di puncak sistem, ya, seringkali mereka memang melakukan hal yang sangat baik dalam artian benda-benda material dan akses kepada pendidikan, kesenangan, kesehatan dan lainnya, namun mereka dapat kehilangan kemanusiaan dan individualitas mereka. Seperti yang ditunjukkan Bakunin, “Kekuatan dan kekuasaan menyalahgunakan mereka yang menggunakannya seperti halnya orang-orang yang dipaksa untuk patuh padanya.” (The Political Philosophy of Bakunin, hal 249) Kekuasaan, bertindak secara destruktif, bahkan terhadap mereka yang memilikinya, mengurangi individualitas mereka karena kekuasaan “membuat mereka bodoh dan brutal, bahkan ketika mereka secara alamiah dianugerahi dengan bakat yang terbaik. Seseorang yang terus menerus berusaha keras memaksa segala sesuatu ke dalam tatanan mekanis pada akhirnya menjadi sebuah mesin dan kehilangan semua rasa kemanusiaanya.” (Rudolf Rocker, Anarcho-Syndicalism, hal 22)

Ketika hierarki dipersingkat, hierarki mengalahkan dirinya sendiri, karena jika kesejahteraan adalah orang lain”, maka dengan memperlakukan orang lain lebih buruk dari dirimu sendiri, menghambat pertumbuhan mereka, kamu kehilangan pengetahuan dan kemampuan potensial yang dimiliki individu-individu ini, sehingga memiskinkan kehidupanmu sendiri dan menghambat pertumbuhanmu. Sayangnya, dalam hari-hari ini kesejahteraan material (bentuk “kepentingan pribadi” yang sempit pada khususnya) telah menggantikan fokus unruk mengembangkan keseluruhan pribadi dan memenuhi hidup dengan kreativitas (kepentinagn pribadi yang luas, menempatkan individu dalam masyarakat, yang mengakui bahwa hubungan denagn orang lain membenuk dan mengembangakn seluruh individu). Dalam hierearki, masyarakat yang berdasarkan kelas setiap orang terbagi menjadi beberapa tingkat, bahkan mereka yang ada di “puncak”.

B.1.2 Apakah kapitalisme bersifat hierarkis?

Ya. Di bwah kapitalisme, pekerja tidak menukarkan hasil kerja mereka, mereka menukarkan kerja itu sendiri denagn uang. Mereka menjual diri mereka sendiri untuk waktu tertentu, dan mendapat gantinya berupa upah, berjanji untuk mematuhi orang yang mengupahnya. Mereka yang membayar dan memberi perintah–pemilik dan pengelola–yang berada di puncak hierarki, mereka yang mematuhi berada di dasar hierarki. Artinya, kapitalisme, sesuai sifatnya, adalah hierarkis.

Sperti pendapat Carole Paterman, ”(k)apasitas atau kekuatan pekerja tak dapat digunakan tanpa menggunakan kemauan, pemahaman dan pengalamannya, untuk mendapatkan hasilnya. Penggunaan kekuatan pekerja membutuhkan kehadiran ‘pemilik”nya, dan tetap menjadi potensi saja hingga ia bersikap dalam cara yang diperlukan, untuk mempergunakannya, atau menyepakatinya atau dipaksa untuk berrtindak; yaitu, pekerja harus bekerja. Mengontrak penggunaan kekuatan pekerja merupakan pemborosan uang kecuali dapat digunakan sesuai kebutuhan si pemilik uang. Fiksi “kekuatan pekerja” tak dapat digunakan; apa yang dibutuhkan adalah bahwa pekerja bekerja seperti yang diminta. Kontrak kerja, karenanya, harus menciptakan hubungan perintah dan kepatuhan antara orang yang mempekerjakan dan pekerja  … Singkatnya, menurut kata orang, kontrak berisi penjualan kerja seorang pekerja. Kontrak tersebut, karena ia tak dapat dipisahkan dari kapasitasnya, ia menjual kesediaan mendapat perintah atas diri dan tubuhnya. Untuk mendapatkan hak menggunakan orang lain sama artinya dengan menjadi tuan (sipil)” (The Sexual Contract, hal. 150-151– bandingkan dengan pendapat Proudhon yang dikutip di atas)

Kontrol hierarki pekerja upahan mengakibatkan pengalienasian pekerja dari pekerjaan itu sendiri, dan juga dari dirinya. Pekerja tidak lagi memerintah dirinya lagi selama jam kerja dan sehingga tak lagi bebas. Kapitalisme, karena memperlakukan pekerja senalog dengan komoditi lainnya mengingkari perbedaan kunci antara pekerja dan “sumber daya” lainnya-singkatnya tidak dapat dipisahkan dari  yang membawanya, pekerja tidak seperti “barang milik” lainnya, dianugerahi dengan kemauan dan kemampuan. Jadi ketka seseorang berbicara mengenai penjualan tenaga kerja terdapat penaklukan kemauan (hierarki) yang diperlukan. Seperti yang dituliskan Karl Polanyi :

“kerja adalah nama lain aktifitas manusia yang berlangsung dalam hidup itu sendiri, yang pada gilirannya bukan untuk dijual melainkan untuk alasan-alasan yang benar-benar berbeda, atau bahwa aktifitas tersebut tidak dapat dipisahkan dari kehidupan itu sendiri, dijual atau dipindahkan.” (The Graet Transformation, hal 72)

Dengan kata lain, tenaga kerja lebih dari sekedar komoditi di mana kapitalisme mencoba untuk mereduksinya. Pekerjaan yang kreatif dan dikelola sendiri merupakan sumber dari harga diri dan kebahagiaan serta bagian dari apa yang disebut manusia seutuhnya. Perengutan kontrol atas kerja dari tangan pekerja jelas merugikan kesehatan fisik dan mentalnya. Proudhon telah sampai di sini ketika berpendapat bahwa perusahaan-perusahaan kapitalis “merampas tubuh dan jiwa pekerja upahan” dan merupakan sebuah “kekejaman terhadap martabat dan kepribadian manusia.” (op.cit. , hal.219)

memisahkan pekerja dari aktifitas hidup yang lain dan membuatnya patuh kepada hukum pasar sama artinya dengan membinasakan sifat dan bentuk organis keberadaannya–suatu bentuk yang menyusun umat manusia melalui ribuan tahun aktifitas ekonomi kooperatif yang di dasarkan pada rasa saling berbagi dan saling membantu– dan menggantinya dengan aktivitas yang individualistis dan atomis serta didasarkan pada kontrak dan kompetisi.

Hubungan sosial pekerja upahan yang merupakan perkembangan terbaru, kemudian di klaim para kapitalis menjadi sumber “kebebasan”, padahal pada kenyataannya hubungan sosial tersebut merupakan bentuk perbudakan yang terjadi tanpa disadari. (lihat bagian B.4 dan A.2.15) Karena itu seorang liberal yang tidak mendukung kebebasan ekonomi (yaitu pengaturan dalam industri yang dilakukan secara mandiri, sosialisme) bukanlah seorang liberal, dan bukan seorang yang mempercayai kebebasan.

Karena itu kapitalisme didasarkan pada hierarki dan pengingkaran kebebasan. Sebaliknya melakukannya merupakan pengingkaran sifat dari pekerja upahan. Namun, para pendukung kapitalisme mencoba beralasan — seperti yang dikatakan Karl Polanyi– bahwa gagasan pekerja upahan berdasarkan pada beberapa macam kebebasan alamiah adalah salah:

“Menggambarkan prinsip ini (buruh upahan) sebagai sesuatu yang bebas campur tangan (kebebasan), seperti yang biasa dilakukan oleh kaum ekonomi liberal, semata-mata merupakan prasangka yang melekat pada suatu jenis gangguan, yang akan menghancurkan hubungan tanpa kontrak antar individu dan mencegah pembentukannya kembali secara spontan.”(Op. Cit., hal. 163)

Penggantian hubungan manusia dengan hubungan ekonomi segera menghasilkan penggantian nilai manusia dengan nilai ekonomi, dengan memberikan kita semacam buku catatan “etika”, yang di dalamnya orang-orang dihargai dengan banyaknya gaji yang ia peroleh. Hal ini juga membawa kemerosotan nilai-nilai manusia, seperti pendapat Murray Bookchin:

“Begitu dalamnya ekonomi pasar berakar dalam pikiran kita sehingga bahasa kotor telah menggatikan sebagian besar kesucian moral dan ekspresi spiritual kita. Sekarang kita “menginvestasikan” anak-anak kita, perkawinan, dan hubungan personal kita, sebuah term yang sama dengan kata-kata seperti “cinta” dan “perhatian”. Kita tinggal dalam dunia ‘jual’ dan kita meminta batasan dasar dari ‘transaksi’ emosional apapun daripada loyalitas dan ketertarika spiritual.” (The Modern Crisis, hal. 79)

Dengan nilai-nilai manusia yang digantikan dengan etika kalkulasi, dan hanya dengan hukum pasar dan negara “yang mengikat” rakyat, kekacauan sosial menjadi hal yang tak terelakan lagi. Seperti pendapat Karl Polanyi,” dalam menentukan kekuatan pekerja upahan, sistem (pasar) akan, secara insidental, menentukan keadaan fisik, psikologis da moral entitas ‘manusia’ yang diberikan pada label.” (Op.Cit., hal. 73)

Tidak mengherankan kapitalisme modern memunculkan peningkatan besar-besaran dalam kriminalitas dan dehumanisasi di bawah pasar yang lebih bebas yang didirikan oleh pemerintah “konservatif”, seperti halnya Tatcher dan Reagan dan majikan-majikan korporta transnasional mereka. Kita sekarang tinggal dalam masyarakat di mana orang tinggal dalam benteng, “bebas” di balik dinding-dindingnya dan bertahan (baik secara emosi maupun fisik).

Tentu saja, beberapa orang menyukai “etika” matematika. Namun, sebagian besar hal ini karena–seperti semua benda lainnya– memberi pemujanya suatu buku petunjuk yang mudah untuk diikuti. “Lima lebih besar dari empat, karena itu lima lebih besar” sangat mudah dimengerti. John Steinbeck memperhatikan hal ini ketika ia menulis:

“Beberapa dari mereka (para pemilik) membenci matematika yang mendorong mereka (untuk menyingkirkan petani dari tanahnya), dan beberapa dari mereka takut, dan beberapa memuja matematika karena memberikan semacam tempat pengungsi dari pemikiran dan perasaan.” (The Grapes of Wrath, hal. 34)

B.1.3 Hierarki nilai macam apa yang dibuat kapitalisme?

Kapitalisme menghasilkan hierarki nilai yang kejam–yang menempatkan kemanusiaan di bawah barang milik. Seperti pendapat Erich Fromm, “penggunaan (yaitu eksploitasi) manusia oleh manusia merupakan ekspresi sistem nilai di bawah sistem kapitalisme. Modal, masa lalu yang sudah mati, mempekerjakan buruh — vitalitas hidup dan kekuasaan saat ini.  Dalam hierarki nilai kapitalistis, modal memiliki posisi lebih tinggi dari tenaga kerja, barang-barang yang dikumpulkan lebih tinggi dari manifestasi kehidupan. Modal mempekerjakan buruh dan bukan buruh sebagai modal kerja. Orang yang memiliki modal mengatur orang yang ‘hanya’ memiliki hidupnya, ketrampilan manusia, vitalitas dan produktivitas kreatif. ‘Barang-barang’ lebih tinggi nilainya dari manusia. Konflik antara modal dan buruh lebih merupakan konflik antara dua kelas, lebih dari perjuangan mereka untuk pembagian produk sosial yang lebih besar. Konflik tersebut merupakan konflik antara dua prinsip nilai:yang berada di antara dunia benda, beserta penumpukannya, dan dunia kehidupan beserta produktivitasnya.” (The Sane Society, hal. 94-95)

Kapitalisme hanya menilai seseorang sebagai gambaran sejumlah komoditi tertentu yang disebut “kekuatan bekerja”, dengan kata lain, sebagai benda. Bukannya di nilai sebaagi seorang individu–manusia yang unik dengan moral intrinsik dan nilai spiritual — manusia hanya dianggap sebagai angka label harga.

Penurunan nilai individu di tempat kerja, di tempat ia menghabiskan banyak waktunya, mempengaruhi image diri seseorang, yang pada akhirnya dibawa ke dalam cara ia bersikap dalam wilayah lain kehidupannya. Jika seseorang dilihat sebagai komoditi kerja, ia akan menganggap dirinya dan orang lain dalam cara itu juga. Jadi, semua hubungan sosial– dan pada akhirnya juga semua individu– mengalami komodifikasi. Dalam kapitalisme, tak ada sesuatu yang disakralkan– “segala sesuatu memiliki harga”– bisa berupa martabat, harga diri, kebanggaan, kehormatan– semua menjadi komoditi yang telah tersedia.

Kemerosotan nilai semacam itu menimbulkan sejumlah patologi sosial. “Konsumerisme” merupakan salah satu contoh yang dapat ditelusuri jejaknya secara langsung menuju kepada komodifikasi individu di bawah kapitalisme. Mengutip kembali kata-kata Fromm, “Benda tidak memiliki dirinya, dan manusia yang telah menjadi benda (yaitu komoditi pada pasar tenaga kerja) akan kehilangan dirinya.” (The Sane Society, hal 143)

Namun, orang-orang masih merasa membutuhkan dirinya, sehingga mencoba mengisi kekosongan dirinya dengan konsumsi. Ilusi kebahagiaan, yaitu kehidupan seseorang akan lengkap jika mendapatkan komoditi yang baru, mendorong orang untuk komsumtif. Sayangnya, karena komoditi langka mereka tidak dapat menyediakan penggantinya, sehingga konsumsi selalu diperbaharui. Proses ini tentu saja, didorong oleh industri periklanan, yang mencoba menyakinkan kita untuk membeli apa yang tidak kita butuhkan, karena barang tersebut akan menmbuat kita terkenal / seksi / bahagia / bebas/ dll. (hapus yang tepat!). Namun, dengan konsumsi tidak dapat sepenuhnya memuaskan kebutuhan yang kita harapkan saat membeli komoditi tersebut. Kebutuhan-kebutuhan tersebut hanya dapat dipuaskan dengan interaksi sosial yang di dasarkan pada nilai-nilai kemanusiaan dan dengan kerja kreatif yang seperti yang kita inginkan.

Tentu saja, hal ini tidak berarti bahwa kaum anarkis melawan standar hidup yang lebih tinggi atau benda-benda material. Sebaliknya, mereka mengakui bahwa kebebasan dan kehidupan yang baik hanya mungkin ketika seseorang tidak perlu merasa cemas untuk makanan yang cukup, rumah yang layak dan sebagainya. Kebebasan dan 16 jam kerja sehari tidak dapat berjalan beriringan, seperti halnya kesetaraan dan kemiskinan atau solidaritas dan kelaparan. Namun, kaum anarkis menganggap konsumerisme sebagai suatu penyimpangan konsumsi yang disebabkan oleh alienasi dan “buku catatan” etika kapitalisme yang tidak manusiawi, yang  menghancurkan individu serta pemahamannya akan identitas, martabat, dan pribadinya.

B.1.4 Mengapa rasisme, seksisme, dan homophobia ada?

Sejak rasisme, seskisme, dan homophobia (rasa benci/takut terhadap kaum homoseksual) diinstitusionalisasikan ke dalam masyarakat, penindasan seksual, penindasan rasial, dan tekanan terhadap gay menjadi hal yang biasa. Penyebab utama sikap jahat tersebut adalah kebutuhan akan ideologi yang membenarkan dominasi dan eksploitasi, yang inhern dalam hierarki– dengan kata lain, “teori” yang “membenarkan” dan “menjelaskan” penindasan dan ketidakadilan. Seperti yang dikatakan Tacitus, “Kita membenci mereka yang kita sakiti.” Mereka yang menindas orang lain selalu menemukan alasan untuk menganggap korban-korbannya sebagai “inferior” dan kerena itu pantas menerima nasibnya. Kaum elit memerlukan beberapa cara untuk membenarkan posisi sosial dan ekonomi mereka yang superior. Karena sistem sosial jelas tidak adil dan bersifat elitis, perhatian harus dialihkan pada “fakta-fakta” lainnya, yang lebih tidak menyenangkan, seperti perasaan superioritas yang didasarkan pada aspek biologi atau “alamiah”. Karena itu doktrin-doktrin superiorits seksual, rasial, dan etnis merupkan hal yang tak dapat dihindari dalam masyarakat hierarkis yang memiliki stratifikasi kelas.

Kita akan membicarakan bentuk-bentuk kefanatikan ini secara bergiliran.

Dari sudut ekonomi, rasisme dihubungkan dengan eksploitasi buruh murah di tempat tinggalnya dan imperialisme di seberang sana. Tentu saja, perkembangan awal kapitalis baik di Amerika maupun Eropa diperkuat oleh perbudakan manusia khususnya penduduk asli Afrika. Di Amerika, Australia dan bagian lain dunia, pembunuhan massal penduduk asli dan pengambilalihan tanah mereka juga merupakan aspek kunci dalam pertumbuhan kapitalisme. Karena subordinasi bangsa asing dilakukan dengan kekerasan, tampak bagi bangsa yang dominan bahwa keberhasilan penguasaan tersebut karena kualitas alamiahnya yang spesial, dengan kata lain karena karakteristik “rasial”. Sehingga kaum imperialis terus menerus menyerukan doktri kaum Darwinian “Survival  of The Fittest” untuk memberikan basis pada rasisme mereka dengan “alamiah”

Di Eropa, salah satu teori pertama mengenai superioritas rasial dikemukakan oleh Gobineau pada tahun 1850 untuk memberi hak alamiah bagi aristokrat untuk menguasai Prancis. Ia berpendapat bahwa aristokrasi Perancis berasal dari ras Jerman, sementar “orang kebanyakan”” adalah Galia atau Celtic, dan karena ras Jerman “superior”, kaum aristokrat memiliki hak untuk menguasai. Meski “oranng kebanyakan” Prancis tidak menemukan teori tertetu yang persuasif, hal tersebut kemudian diterima oleh pendukugn ekspansi Jerman dan menjadi asal  ideologi rasial Jerman, digunakan untuk membenarkan penindasan Nazi terhadap orang-orang Yahudi dan ras-ras “non-arya” lainnya. Pendapat mengenai “beban orang kulit putih’ dan “Nasib yang nyata” berkembang pada waaktu yang sama di Inggris dan ke sebagian kecil Amerika, serta digunakan untuk merasionalkan penakhlukan Anglo-Saxon dan dominasi dunia pada basis “kemanusiaan”.

Gagasan superioritas rasial juga diketahui memiliki kegunaan domestik yang besar. Seperti yang dikatakan Paul Sweezy,”(i)ntensifikasi konflik dalam negara kapitalis yang telaah maju…telah diatur sejauh mungkin menuju saluran-saluran yang tak berbahaya–singkatnya tak berbahaya dari sudut pandang kelas kapitalis yang berkuasa. Hasutan antagonisme sepanjang garis rasial merupakan metode yang sesuai untuk mengalihkaan perhatian dari perjuanagn kelas,” yagn tentu saja berbahaya bagi kepentingan kelas yang berkuasa (Theory of Capitalist Development, hal. 311) Tentu saja, para individu yang mempekerjakan seringkali sengaja mengembangkan divid\si di antra pekerja berdasar garis rasial sebagai bagian strategi “pecah belah dan kuasai”.

Dengan kata lain, rasisme (seperti bentuk kefanatikan yang lain) dapat digunakan untuk memecah bealh kelas pekerja dengan membuat orang mennyalahkan orang lain dari kelas yang sama atas keadaan yang dideritanya. Jadi pekerja kulit putih tanpa menyolok didorong untuk, contohnya, menyalahkan penganggur kulit hitam daripada kapitalisme, kejahatan yang dilakukan kaum hispanik daripada kemiskinan. Sebagai tambahan, diskriminasi melawan ras minoritas dan wanita merupakan konsekuensi dari ekonomi kapitalis, “karena dalam cara ini pekerjaan dan kesempatan investasi dapat ditiadakan bagi kelompok yang dirugikan, upah dan keuntungan mereka dapat diturunkan di bawah tingkat yang wajar, sehingga sekelompok penduduk yang disukai dapat memperoleh imbalan material yang substansial.” (Ibid.)

Jadi kapitalisme terus mendapat manfaat dari warisan rasisnya. Rasisme telah memberi sekelompok buruh murah untuk dipergunakan kaum kapitalis (kaum kulit hitam biasanya mendapat upah yang lebih rendah dari kulit putih untuk pekerjaan yang sama) dan membuat sekelompok penduduk patuh pada perlakuan yang lebih buruk, sehingga menmbah keuntungan dengan mengurang kondisi kerja dan ongkos-ongkos yang tak perlu dibayar.

Semua ini memiliki arti bahwa kaum kulit hitam “mematuhi penindasan dan eksploitasi pada dua dasar, ras dan kelas, sehingga harus berkelahi dalam pertempuran ekstra melawan rasisme daan diskriminasi.” (Lorenzo Kom’boa Ervin, Anarcho Syndicalist of the World Unite)

Seksisme hanya membutuhkan “pembenaran” setelah wanita mulai beraksi untuk diri mereka sendiri dan menuntut persamaan hak. Sebelum mencapai titik tersebut, penindasan seksual tak perlu “dibenarkan”–hal tersebut adalah hal yang wajar”(Tentu saja dengan mengatakan bahwa kesetaraan antara jenis kelamin jauh lebih kuat pada masa sebelum kebangkitan kristen sebagai agama negara dan kapitalisme sehinggaa “tempat” wanita dalam masyarakat telah jatuh selama beberapa ratus tahun terakhir sebalum muncul kembali, terima kasih pada gerakan wanita).

Penindasan seksual dapat dilihat dari perkawainan. Emma Goldman menunjukkan bahwa perkawinan “membangun kekuasaan pria terhadap peempuan,” dengan “kepatuhan mutlak”nya kepada “tingkah laku dan perintah sang suami. (Red Emma Speaks, hal. 139) Seperti yang ditunjukkan Carole Paterman, hinga “akhir abad ke-19 posisi dan status hukum istri menyerupai seorang budak…Seorang budak tidak memiliki eksistensi yang sah terpisah dari majikannya, dan suami beserta istri menjadi “satu diri”, diri sang suami.” (The Sexual Contract, hal. 119) Memang, hukum “didasarkan pada asumsi bahwa istri merupakan (seperti) barang milik” dan hanya kontrak perkawinan “yang memasukkan komitmen eksplisit untuk dipatuhi.” (Ibid., hal. 122, hal. 181)

Namun demikian, ketika perempuan mulai mempertanyakan asumsidominasi pria, sejumlah teori dikembangkan untuk menerangkan mengapa penindasan wanita dan dominasi pria adalah hal yang “biasa”. Karena pria memaksakan kekuasaannya kepada perempuan dengan kekuatan, “superioritas” pria diargumentasikaan sebagai hasil “alam” gender mereka, yang dihubungkan dengan kekuatan fisik yagn lebih besar (pada premis “yang mungkin benar”. Pada abad ke-17, ada pendapat bahwa perempuan lebih mirip hewan daripada pria, sehingga hak perempuan untuk setara dengan pria sama dengan domba. Lebih baru lagi, kaum elite telah memasukkan sosiobiologis dalam menanggapi pertumbuhan gerakan perempuan. Dengan “menerangkan” penindasan perempuan pada dasar biologis, sistem sosial diijalankan oleh pria dan bagi pria hal tersebut dapat diabaikan.

Peran kepatuhan wanita juga memiliki nilai ekonomis bagi kapitalisme [kita harus mencatat bahwa Goldman menganggap kapitalisme sebagai  “susunan paternal” yang lain seperti halnya perkawinan, yang sama-sama merampas orang dari “hak melahirkan”, “menghalangi” pertumbuhan mereka, “meracuni” tubuh mereka dan membuat orang terus berada dalam “kebodohan, kemiskinan, dan ketergantungan” (op.cit., hal 164)]. Seringkali wanita menyediakan tenaga mereka (dan tak dibayar) untuk membuat (biasanya) pekerja pria tetap berada dalam kondisi yang baik; dan terutama wanita lah yang memelihara generas selanjutnya dari budak upahan (sekali lagi tanpa dibayar) untuk dieksploitasi para pemilik modal. Terlebih lagi sub ordinasi perempuan memberikan pria kelas pekerja seseorang untuk dipandang rendah dan kadang-kadang, sebagai sasaran yang tepat untuk melampiaskan frustasi mereka (untuk melepaskan diri dari masalah pekerjaan). Seperti yang ditunjukkan Lucy Parsons, perempuan kelas pekerja merupakan “budaknya budak”.

Penindasan kaum lesbian, gay, dan biseksual tak dapat lepas dari lingkaran seksisme. Masyarakat kapitalis yang patriarkal tak dapat melihat praktek homo seksual sebagai variasi manusia yang normal karena mereka mengaburkan peran gender yang kaku dan stereotip seksis. Sebagian besar kaum gay muda menyimpan seksualitas mereka diam-diam karena takut diusir dari rumah dan semua kaum gay memiliki ketakutan bahwa beberapa orang yang “benar” akan mengusir mereka jika menunjukkan seksualitas mereka dengan bebas.

Kaum gay ditindas bukan karena tingkah laku, melainkan karena kebutuhan tertentu kapitalisme akan keluarga inti. Keluarga inti, sebagai pencetak utama — dan murah– orang-orang yang patuh (tumbuh dalam keluarga otoriter membuat anak-anak terbiasa, dan “menghargai”, hierarki dan sub ordinasi– lihat bagian B.15) seperti halnya penyedia dan pembawa tenaga kerja dapat memenuhi kebutuhan kapitalisme yang penting. Seksualitas alternatif menunjukkan adanya ancaman pada model keluarga karena mereka memberikan model peran berbeda bagi orang-orang. Ini berarti bahwa kaum gay akan berada di garis depan yang mudah diserang ketika kapitalisme ingin memperkuan “nilai-nilai keluarga” (yaitu kepatuhan pada kekuasaan, “tradisi”, “moralitas” dan lain-lain). Introduksi Klausa 28 di Inggris adalah contoh yang bagus mengenai hal ini. Pemerintah Inggris tidak mensahkannya pada badan-badan publik karena membahas seksualitas gay (yaitu untuk menunjukkan bahwa tindakan tersebut merupakan hal yang tidak wajar). Karena itu, penindasan terhadap orang-orang berdasarkan seksualitas mereka tak akan berakhir hingga seksisme dihapuskan.

Sebelum membicarakan bagimana kaum anarkis berpikir untuk melepaskan bentuk-bentuk penindasan ini, adalah berguna menyoroti mengapa bentuk-bentuk penindasan tersebut merugikan orang-orang yang mempraktekkannya (dan dalam beberapa hal mendapatkan keuntungan) seperti halnya kaum tertindas.

Seksisme, rasisme, dan homophobia membagi kelas pekerja, yang artinya bahwa kulit putih, pria, dan heteroseksual dirinya dirugikan dengan dipertahankannya kelompok pekerja berupah rendah yang bersaing, sehingga memastikan upah yang rendah untuk istri, anak perempuan, ibu, saudara, dan teman-teman mereka. Pembagian seperti itu menciptakan keadaan dan upah yang inferior bagi semua pekerja karena kaum kapitalis memperoleh keuntungan kompetitif dengan menggunakan kelompok buruh murah ini, serta memaksa semua kapitalis untuk memotong upah dan kesejahteraan buruh agar tetap survive dalam pasar (sebagai tambahan, hierarki sosial semacam ini, karena merusak solidaritas terhadap majikan dalam pekerjaan dan negara, bisa jadi menciptakan kelompok yang akan mengantisipasi masuknya buruh yang mungkin berkhianat selama pemogokan). Juga, kelompok dari kelas pekerja yang memiliki hak “istimewa” kalah karena kesejahteraan dan upah mereka lebih rendah dari yang bisa didapatkan jika mereka bersatu.Hanya para maajikan yang benar-benar menang.

Hal ini dapat dilihat dari penelitian terhadap yhal ini. Seorang peneliti bernama Al Szymanski berusaha menguji secara sistematis dan ilmiah proposisi bahwa pekerja kulit putih mendapat keuntungan dari rasisme (“Rasial Discrimination and White Gain”, dalam American Sociologycal Review, vol.41, no.3, juni 1976, hal 403-414). Ia membandingkan situasi pekerja “kulit putih” dan “non kulit putih” (yaitu hitam, suku asli Amerika, Asia, dan Hispanik) di AS dan menemukan beberapa hal kunci:

(1). Terjadi gap yang semakin dalam antara upah kulit putih dan kulit hitam di negara bagian Amerika, upah kulit putih yang lebih tinggi bersifat relatif dengan upah kulit putih di tempat lainnya. Hal ini memiliki arti bahwa “secara ekonomi warga kulit putih tidak mendapat keuntungan dari diskriminasi ekonomi. Pekerja kulit putih terutama tampak mendapat keuntungan secara ekonomi dari ketiadaan diskriminasi ekonomi…baik di tingkat absolut pendapatan mereka maupun dalam kesetaraan yang relatif di antara kulit putih.” (hal. 413) Denghan kata lain, semakin kecil diskrimainasi upah terhadap pekerja kulit hitam, semakin baik upah yang diterima pekerja kulit putih.

(2). Semakin banyak orang -orang “non kulit putih” dalam populasi negara bagian, di antara orang kulit putih, semakin terjadi ketidaksetaraan. Dengan kata lain, kehadiran kelompok pekerja yang tertindas dan miskin mengurangi upah pekerja kulit putih, meski tidak mempengaruhi penghasilan kaum kulit putih yang bukan pekerja [“semakin besar diskriminasi terhadap orang-orang (bukan kulit putih), semakin besar ketidaksetaraan yang terjadi di antara kulit putih” (hal 410)]. Sehingga, pekerja kulit putih secara ekonomi jelas kalah karena diskriminasi ini.

(3). Ia juga menemukan bahwa “semakin sering terjadi diskriminasi rasial, semakin rendah penghasilan kulit putih karena … (efeknya pada) solidaritas kelas pekerja.” (hal 412) Dengan kata lain, secara ekonomi rasisme merugikan ekerja kulit putih karena mengurangi solidaritas antara pekerja kulit hitam dan putih serta memperlemah organisasi serikat dagang.

Jadi, secara keseluruhan pekerja kulit putih mendapat beberapa hak istimewa yang nyata dari adanya rasisme, namun pada kenyataannya mereka dirugikan. Jadi, rasisme dan bentuk hierarki lainnya secara aktual bekerja melawan kepentingan orang-orang kelas pekerja yang mempraktekkannya– dan, dengan melemahkan persatuan sosial dan tempat kerja, rasisme menguntungkan kelas penguasa.

Sebagai tambahan, kekayaan akan sudut pandang alternatif, pengetahuan, pengalaman,  budaya, pemikiran, dan lain-lain, ditiadakan oleh kehadiran rasis, seksis atau homophobi. Pikiran mereka terperangkap dalam sebuah sangkar, stagnan di dalam suatu monokultur– dan stagnasi berarti kematian bagi kepribadian. Bentuk-bentuk penindasan seperti itu mendehumanisasikan mereka yang mempraktekkannya, karena penindas hidup sebagai sebuah peran, bukan sebagai sebuah pribadi, sehingga terhambat dan tak dapat mengekspresikan individualitas mereka dengan bebas (dan demikian juga yang terjadi dalam cara-cara yang sangat terbatas). Hal ini membelokkan kepribadian penindas dan memiskinkan hidup serta kepribadian mereka sendiri. Homophobia dan seksisme juga membatasi fleksibilitas semua orang, baik gay atau yang heteroseksual, untuk memilih hubungan dan ekspresi seksual yang tepat baginya. Penindasan seksual kaum seksis dan homopobhia tidak baik bagi kesehatan mental mereka, hubungan atau perkembangan umumnya.

Dari sudut pandang kaum anarkis, penindasan yang di dasarkan pada ras, jenis kelamin atau seksualitas akan tetap ada selamanya di bawah kapitalisme atau, sistem ekonomi apapun yang didasarkan pada dominasi dan eksploitasi. Meski individu anggota kelompok “minoritas” makmur, rasisme sebagai suatu pembenaran bagi ketidaksetaraan merupakan alat yang terlalu berguna bagi kaum elit untuk dibuang. Dengan menggunakan akibat rasisme (kemiskinan) sebagai pembenaran bagi ideologi-ideologi rasis, kekritisan terhadap status quo sekali lagi dapat digantikan dengan omong kosong mengenai “sifat” dan “biologis”. Hal yang sama juga terjadi dengan seksisme atau diskriminasi terhadap gay.

Tak pelak lagi, solusi jangka panjang adalah: pembongkaran kapitalisme dan hierarki, juga masyarakat yang terjalin di dalamnya. Dengan melepaskan diri dari penindasan dan eksploitasi kapitalis serta konsekuensinya yang berupa imperialisme dan kemiskinan, kita sekaligus akan menghapus kebutuhan akan ideolgi superioritas, rasial, dan seksual yang digunakan untuk membenarkan penindasan dari satu kelompok terhadap yang lainnya atau untuk memecah belah dan melemahkan kelas pekerja.

Sebagai bagian dari proses tersebut, kaum anarkis mendorong dan mendukung semua bagian populasi untuk meraih rasa kemanusiaan dan individualitas mereka dengan melawan rasis, seksis dan anti gay serta mengubah pandangan-pandangan seperti itu dalam kehidupan sehari-hari, di mana saja [seperti kata Carole Pateman, “dominasi sosial menyusun tempat kerja seperti halnya sebuah rumah tangga” (op.cit., hal.142)]. Artinya tedapat perjuangan semua warga kelas pekerja melawan tirani eksternal dan internal — kita harus berjuang melawan prasangka yang kita miliki semabari mendukung mereka yang sedang berjuang melawan musuh kita bersama, tanpa memperdulikan jenis kelamin, warna kulit dan seksualitas. Pernyataan Lorenzo Kom’boa Ervin dalam perjuangan melawan rasisme dapat diterapkan terhadap semua bentuk penindasan:

“Rasisme harus dilawan dengan penuh semangat di manapun juga, bahkan jika ia ada dalam kelompokku, ataupun dalam diri seseorang. Karena itu kita harus mengakhjiri sistem hak istimewa kaum kulit putih yang digunakan para majikan untuk memcah belah kelas. dan menundukkan pekerja yang tertindas secara rasial kepada super-eksploitasi. Pekerja kulit putih, khususnya mereka yang berada dalam dunia barat, harus melawan usaha pemanfaatan satu bagian dalam kelas pekerja dengan alasan menolong mereka untuk maju, sementara menahan segmen lain yang didasarkan pada ras atau bangsa. Jenis oportunisme atau kapitulasionisme kelas bagi pihak pekerja kulit putih harus dilawan dan dikalahkan secara langsung. Tak akan ada persatuan para pekerja hingga diakhirinya sistem super-eksploitasi dan supremasi dunia kulit putih.” (Op. Cit.)

Kemajuan menuju kesetaraan dapat dan telah dibuat. Meski memang benar bahwa (dalam kata-kata Emma Goldman) “(d)i mana-mana perempuan diperlakukan bukan karena hasil kerjanya, melainkan lebih karena jenis kelaminnya” (op. Cit., hal. 145) dan bahwa pendidikan masih bersifat patriakal, dengan perempuan muda yang seringkali dijauhkan dari hal-hal yang secara tradisional berbau laki-laki seperti belajar dan bekerja (di mana guru mengajari anak-anak bahwa perempuan dan pria memiliki peran yang berbeda sebagai tugasnya dan menyiapkan mereka untuk menerima batasan tersebut ketika mereka dewasa), juga benar bahwa posisi perempuan, seperti halnya kaum kulit hitam dan gay, telah meningkat. Hal ini terkait dengan munculnya bermacam-macam gerakan yang dikelola secara mandiri dan bertujuan membebaskan diri sendiri yang terus menerus berkembang sepanjang sejarah dan hal ini merupakan kunci melawan penindasan dalam jangka pendek (dan menciptakan potensi bagi solusi yang bersifat jangka panjang yaitu pembongkaran kapitalisme dan negara).

Emma Goldman berpendapat bahwa emansipasi bermula “dalam jiwa (seorang) perempuan.” Dalam proses emansipasi internal, tertindas dapat mengetahui nilai mereka, menghargai diri dan budaya yang mereka miliki. Hanya dengan proses ini, mereka dapat berada dalam posisi yang efektif untuk melawan (dan mengatasi) penindasan dan tingkah laku eksternal. Hanya ketika kamu menghargai dirimu sendiri, kamu akan dapat meminta orang lain untuk menghargaimu juga. Para pria kulit putih dan heteroseksual, yang melawan kefanatikan, ketidaksetaraan, dan ketidakadilan harus mendukung orang-orang tertindas dan menolak untuk memaklumi sikap dan tindakan yang berbau rasis, seksis, atau homophobia baik yang dilakukan orang lain maupun dirinya sendiri. Bagi kaum anarkis, “tak seorangpun anggota gerakan pekerja yang dapat diamaafkan karena mendiskriminasikan, kaum tertindas atau yang diabaikan … Organisasi buruh (dan lainnya) harus didirikan diatas prinsip kebebasan yang setara pada semua anggotanya. Kesetaraan ini memiliki arti hanya jika masing-masing pekerja berperan sebagai unit yang independen dan bebas, yang bekerja sama dengan orang lain untuk kepentingan bersama, sehingga organisasi buruh secara keseluruhan dapat bekerja dengan baik dan menjadi kuat.” (Lorenzo Kom’boa Ervin, op.cit.)

Kita harus memperlakukan semua orang dengan setara, sekaligus menghargai perbedaan mereka. Keanekaragaman merupakan kekuatan dan sumber kebahagiaan, dan kaum anarkis menolak gagasan bahwa kesetaraan memiiki arti keseragaman. Dengan metode-metode ini, yaitu mengenai pembebasan diri secara internal dan solidaritas melawan penindasan eksternal, maka kita dapat berjuang melawan kefanatikan. Rasisme, seksisme, dan homophobia dapat dikurangi dan mungkin dihapuskan, sebelum terjadinya revolusi sosial yang dilaksanakan oleh mereka  yang pada mulanya patuh dengan hal tersebut, yang kemudian mengorganisir diri, berjuang secara otonom dan menolak kepatuhan terhadap penyalahgunaan rasial, jenis kelamin, atau anti gay dan kemudian juga mengajak orang lain untuk menghindari rasis, seksis, dan anti gay. (hal yang disebut terakhir memiliki peran yang penting dalam menyadarkan orang lain akan sikap dan tingkah laku mereka, sikap dan tingkah laku yang mungkin mereka sadari!). Bagian esensial dari proses ini adalah dukungan yang aktif dari kelompok-kelompok otonomi semacam itu terhadap mereka yang sedang berjuang (termasuk anggota dari ras / jenis kelamin / seksualitas / yang dominan). Ketika dikombinasikan dengan radikalisasi efek perjuangan pada mereka yang terlibat, solidaritas dan komunikasi semacam itu dapat membantu menghancurkan prasangka dan kefanatikan, di bawah hierarki sosial yang menindas kita semua. Contohnya, kelompok gay dan lesbian mendukung pemogokan yang dilakukan oleh penambang Inggris pada tahun 1984/5. Dukungan semacam itu menyebabkan keompok-kelompo semacam itu memiliki posisi penting di banyak gerakan penambang.

Bagi pria kulit putih heteroseksual, satu-satunya pendekatan yang bersifat anarkis adalah mendukung mereka yang sedang berjuang, menolak toleransi terhadap kefanatikan yang dimiliki orang lain dan mencabut akar ketakutan dan prasangka yang mereka miliki (serta menolak ketidakkritisan dalam perjuangan membebaskan diri — solidaritas tidak menunjukkan tejadinya kematian otak Anda!). Hal ini jelas melibatkan pemakaian isu-isu penindasan sosial ke dalam organisasi dan aktivitas kelas pekerja, dengan memastikan bahwa tak kaum tertindas yang dimarginalkan di dalamnya.

Hanya dalam cara ini penyakit-penyakit sosial yang ada ini dapat dilemahkan dan sistem tanpa hierarki yang lebih baik dapat diciptakan. Luka pada yang satu berartii luka pada semua.

Contoh Mujures Libres (Perempuan bebas) di Spanyol selama tahun 1930-an menunjukkan sesuatu yang mungkin. Keterlibatan kaum perempuan anarkis dalam C.N.T dan F.A.I yang mengorganisir dirinya secara otonom memunculkan isu seksisme dalam gerakan liberal, untuk meningkatkan keterlibatan kaum perempuan dalam organisasi liberal dan membantu proses pembebasan diri para perempuan melawan penindasan kaum pria. Seiring dengan itu, mereka juga harus melawan (yang juga umum terjadi)  sikap seksis dari rekan-rekan pria mereka sesama anarkis yang “revolusioner”. Buku Free Women of Spain karya Martha Ackelsberg merupakan catatan yang bagus mengenai gerakan ini dan isu-isu yang dikeluarkannya untuk semua orang mengenai kebebasan.

Tak perlu dikatakan, kaum anarkis benar-benar menolak jenis “kesetaraan” yang menerima macam-macam hierarki, yang menerima prioritas dominan kapitalisme dan negara serta ikut menyepakati menurunnya hubungan dan individulaitas atas nama kekuasaan dan kesejahteraan. Ada jenis “kesetaraan” yang artinya memiliki “kesempatan yang setara”, yang artinya memiliki majikan atau politisi kulit hitam, gay atau perempuan, hanya saja kesetaraan semacam ini melupakan sesuatu. Mengucapkan “Aku juga” tidak mencerminkan kebebasan yang sesungguhnya dibandingkan dengan mengucapkan “Beragam sekali!”. Hal tersebut  hanyalah pembentukan majikan-majikan dan penindasan-penindasan yang baru. Kita perlu memperhatikan bagaimana masyarakat di organisir, bukan pada jenis kelamin, warna kulit, bangsa atau seksualitas orang yang memberi perintah!

B.1.5 Bagaimana basis psikologi massa untuk menciptakan peradaban otoriter?

Telah kita tuliskan pada bagian A.3.6 bahwa institusi hierarki dan otoriter cenderung untuk mengekalkan dirinya. Tumbuh di bawah pengaruh institusi tersebut menciptakan kepribadian yang patuh /otoriter–orang-orang yang “menghargai” kekuasaan (karena takut) sekaligus ingin menggunakannya pada bawahannya. Individu-individu dengan struktur karakter semacam itu tidak benar-benar ingin membongkar hierarki, karena takut pada tanggung jawab yang diminta oleh kebebasan sejati. Mereka menganggap sebagai hal yang “wajar” dan “tepat”, jika institusi masyarakat, dari pabrik otoriter hingga keluarga yang patriakal, memang berbentuk piramid, dengan seorang elit di puncak dan memberi perintah-perintah, sementara mereka yang berada di bawahnya mematuhinya. Jadi kita melihat pertunjukkan yang disajikan oleh mereka yang disebut kapitalis ”liberal” dan kapitalis “anarko” yang di dalamnya mereka meneriakkan “kebebasan” sementara di waktu yang sama mereka membela fasisme pebrik dan negara-negara yang diprivatisasi. Singkatnya, peradaban otoriter mereproduksi dirinya ke dalam masing-masing generasi karena, melalui sistem pengkondisian yang berbelit-belit yang telah meresap ke dalam setiap aspek masyarakat, dapat menciptakan orang-orang yang mendukung status quo.

Wilhelm Reich telah memberikan suatu analisa yang paling cermat mengenai proses psikologis yang terlibat dalam reproduksi peradaban otoriter. Reich mendasarkan analisanya ini pada empat penemuan Freud yang memiliki dasar paling solid, yaitu, (1) bahwa terdapat alam bawah sadar dari pikiran yang memiliki menguasai tingkah laku melalui pengaruh irasional; (2) bahwa ternyata anak kecil mengembangkan seksualitas “genital”nya yang aktif, yaitu, keinginan akan kenikmatan seksual yang tak ada hubungannya dengan reproduksi seksual; (3) bahwa seksualitas pada masa kanak-kanak, seiring dengan konflik Oedipus yang muncul dalam hubungan orangtua-anak di bawah monogami dan patriarki, biasanya ditekan melalui ketakutan akan hukuman atau penyangkalan terhadap pikiran dan tindakan seksual; (4) bahwa menghambat aktivitas seksual yang wajar dari anak-anak ini dan mematikannya dalam ingatan tidak melemahkan kekuatannya dalam alam bawah sadar, namun secara aktual mengintensifkan dan memanifestasikannya dalam bermacam-macam gangguan patologis serta dorongan anti-sosial; dan (5) bahwa, jauh dari sifat yang diberikan Tuhan, tingkah laku moral manusia diturunkan dari ukuran pendidikan yang digunakan orangtuanya dan yang menjadi pengganti orang tua pada masa kanak-kanak yang paling awal, pihak yang berperan paling efektif akan melawan seksualitas kanak-kanak.

Dengan mempelajari penelitian Bronislaw Malinowsli mengenai penduduk pulau Trobiand, masyarakat yang menjadikan perempuan sebagai pusat (matrisentris), yang di dalamnya tingkah laku seksual anak-anak tidak ditekan dan di dalamnya penyakit syaraf serta penyimpangan tingkah laku, seperti halnya institusi dan nilai-nilai otoriter, hampit tak ada, Reich mengambil kesimpulan bahwa patriarki dan otoritarianisme berkembang ketika kepala suku mulai mengambil keuntungan ekonomi dari jenis perkawinan tertentu (“pernikahan silang antar sepupu”) yang didatangkan dari putra-putra mereka. Dalam perkawinan semacam itu, saudara laki-laki dari istri sang anak harus membayar mas kawin dalam bentuk upeti terus menerus, sehingga memperkaya klan suaminya (yaitu keluarga kepala suku). Dengan membuat perkawinan semacam itu bagi putranya (yang seringkali juga terkait dengan hak istimewa kepala suku untuk melakukan poligami), klan kepala suku dapat mengumpulkan kekayaan. Jadi masyarakat mulai distratifikasikan ke dalam klan yang berkuasa dan subordinat berdasarkan kekayaan.

Untuk menyelamatkan keabadian perkawinan-perkawinan yang “bagus” ini, monogami ketat diperlukan. Namun demikian, diketahui bahwa monogami tak mungkin dipertahankan tanpa represi seksualitas pada masa kanak-kanak, karena seperti yang diperlihatkan statistik, anak-anak yang diijinkan mengekspresikan seksualitasnya dengan bebas seringkali tak dapat menyesuaikan diri dengan kehidupan monogami. Karena itu, seiring dengan stratifikasi kelas dan kepemilikan pribadi, metode pengasuhan anak secara otoriter dikembangkan. Nantinya hak tersebut berguna untuk menanamkan moralitas seksual yang represif dan sistem patriakal yang baru bergantung kepadanya sebagai sarana mereproduksi. Jadi ada korelasi historis antara, di satu pihak, masyarakat pra-patriakal, komunisme liberal primitif (atau “demokrasi kerja”, menggunakan istilah Reich), kesetaraan ekonomi, dan kebebasan seksual, dan di pihak lain, masyarakat patriakal, ekonomi kepemilikan pribadi, stratifikasi kelas ekonomi, dan represi seksual. Seperti yang dikatakan Reich:

“Setiap suku yang berkembang dari organisasi (matrisentris) ke patriakal harus mengubah struktur seksual masing-masing anggotanya untuk menghasilkan suatu seksualitas demi menjaga bentuk kehidupan yang baru. Hal ini merupakan perubahan yang diperlukan karena perpindahan kekuasaan dan kekayaan dari bentuk demokratis (klan maternal) menuju keluarga otoriter sang kepala suku, sebagian diimplementasikan dengan bantuan penekanan keinginan seksual pada orang-orang. Karena itulah, penindasan seksual menjadi faktor esensial dalam pembagian masyarakat ke dalam kelas-kelas.

“Perkawinan, dan peraturan mengenai mas kawin yang menyertainya, menjadi pusat transformasi suatu bentuk pengaturan ke bentuk lainnya. Mengingat kenyataan bahwa upeti perkawinan dari pihak istri ke keluarga pria memperkuat posisi kekuasaan pria, terutama kepala keluarga, sehingga anak lekaki tertua dari pihak istri mengembangkan kepentingan yang tajam untuk membuat ikatan perkawinan menjadi permanen. Dengan kata lain, dalam tahap ini hanya pria yang berkepentingan dengan adanya perkawinan. Dengan cara ini, aliansi sederhana dari demokrasi kerja yang natural dapat dengan mudahnya di hilangkan kapan saja, ditransformasikan dalam hubungan perkawinan patriarki yang permanen dan monogami. Perkawinan monogami permanen menjadi institusi dasar bagi masyarakat patriarkal–yang masih tetap ada sampai saat ini. Namun demikian, untuk menyelamatkan perkawinan-perkawinan ini, perlu memaksakan pembatasan yang semakin besar dan memperkecil keinginan genital alami.” (The Mass Psychology of Fascism, hal 90)

Penekanan seksualitas alami yang tercakup dalam transformasi dari masyarakat yang matrisentris menuju patriakal, membuat bermacam-macam dorongan anti sosial (sadisme, dorongan destruktif, fantasi untuk memperkosa, dll). Dorongan-dorongan anti sosial tersebut kemudian juga harus ditekan melalui pembebanan moralitas yang kompulsif, sehingga menggantikan regulasi terhadap diri sendiri seperti yang bisa ditemukan pada masyarakat pra-patriakal. Karena itu, seks mulai dianggap sebagai hal yang “kotor”, “kejam”, “jahat”, dll– yang telah terjadi melalui penciptaan dorongan-dorongan tanbahan. Jadi:

“Tatanan seksual otoriter patriakal yang dihasilkan dari saat-saat terakhir proses revolusioner (matrisentrisme) (independensi ekonomi keluarga kepala suku dari pihak maternal, pertukaran barang antar suku, perkembangan sarana produksi, dll) menjadi basis utama ideologi otoriter dengan menghilangkan kebebasan seksual perempuan, anak-anak, dan remaja, menjadikan seks sebagai komoditas dan menempatkan kepentingan seksual untuk menaklukkan ekonomi. Sejak saat itu, seksualitas mengalami distorsi; seksualitas menjadi sesuatu yang kejam dan jahat serta harus dikekang” (ibid, hal 88).

Setelah permulaan patriarki diletakkan, penciptaan masyarakat yang sangat otoriter yang didasarkan pada ketimpangan psikologis anggotanya melalui penekanan seksual yang mengikutinya:

“Hambatan moral bagi seksualitas alamiah anak, tahap terakhir yang merupakan perusakan genital anak,  membuatnya merasa takut, malu, takut kepada penguasa, patuh, ‘baik’, dan jinak dalam pemahaman kata otoriter. Hal tersebut memiliki efek yang melumpuhkan kekuatan seseorang untuk memberontak karena setiap dorongan hidup yang vital sekarang dibebani dengan beberapa ketakutan; dan karena seks merupakan hal yang dilarang, berpikir secara umum dan kekritisan seseorang juga menjadi terhambat. Singkatnya, tujuan moralitas adalah menghasilkan orang-orang patuh yang, meski menyusahkan dan hina, disesuaikan dengan tatanan otoriter. Jadi keluarga merupakan miniatur keluarga otoriter. Di dalamnya nak-anak harus belajar menyesuaikan diri sebagai sebuah persiapan bagi penyesuaian sosial yang dibutuhkannya. Struktur otoriter manusia — hal ini jelas harus ditegakkan — secara mendasar dihasilkan oleh penanaman pembatasan dan ketakutan seksual“ dalam struktur bioenergetik seseorang. (ibid. hal 30)

Dengan cara ini, yaitu merusak kekuatan individu untuk memberontak dan memikirkan dirinya sendiri, mengakibatkan pembatasan seksualitas masa kanak-kanak– dan juga bentuk-bentuk lain ekspresi alami yang bebas dari bioenergi (contoh berteriak, menangis, berlari, melompat, dll) –menjadi senjata yang paling penting dalam menciptakan kepribadian reaksioner. Inilah yang menjadi sebab mengapa setiap politisi reaksioner memberi penekanan pada “penguatan keluarga” dan meningkatkan “niali-nilai keluarga” (yaitu patriarki, monogami kompulsif, kesucian sebelum menikah, hukuman badaniah, dll)

“Karena masyarakat otoriter mereproduksi dirinya dalam struktur individual dari massa dengan bantuan keluarga otoriter, reaksi politik yang mengikutinya harus menghargai dan mempertahankan keluarga otoriter sebagai basis ‘negara, budaya, dan peradaban….’ pusat terpenting bagi produksi pria dan wanita yang reaksioner adalah sel basil reaksi politik. Karena berawal dan berkembang dari proses sosial tertentu, keluarga menjadi institusi yang paling esensial bagi perlindungan sistem otoriter yang membentuknya.” (Op. cit., hal. 104-105)

Keluarga merupakan institusi yang paling esensial untuk maksud ini karena anak-anak sangat rentan terhadap cacat psikologis dalam beberapa tahun pertama, dari sejak kelahirannya hinga sekitar usia enam tahun, dan pada saat-saat itu mereka lebih sering berada dalam kekuasaan orang tua. Kemudian sekolah dan gereja melanjutkan proses pengkondisian ini setelah anak-anak telah cukup besar untuk berpisah dengan orang tuanya. Namun seringkali gereja dan sekolah gagal melaksanakannya, jika sang orang tua tidak meletakkan dasar yang tepat di awal kehidupan si anak. Sehingga a.S Neill mencermati bahwa “melatih di kamar anak-anak sangat mirip dengan melatih di kandang anjing. Anak-anak yang didera, seperti halnya anak anjing yang didera, tumbuh di dalam kepatuhan, orang dewasa yang inferior. Kita melatih anjing kita agar sesuai dengan maksud kita, dan begitu juga yang terjadi ketika kita melatih anakanak kita. Dalam kandang anjing, kamar anak-anak, anjing-anjing manusia inni harus bersih; mereka harus diberi makan ketika kita merasa mereka layak diberi makan. Saya melihat ratusan ribu kepatuhan, anjing-anjing yang menjilat sambil mengibas-ngibaskan ekornya di Templehof, Berlin, pada tahun 1935, ketika pelatih terebsar Hittler meniupkan peluit perintahnya.” (Summehill: a Radical Approach to Child Rearing, hal. 100)

Keluarga juga merupakan agen utama penindasan selama masa remaja, ketika energi seksual mencapai puncaknya. Hal ini terjadi karena mayoritas orang tua tidak menyediakan wilayah pribadi bagi kaum remaja untuk memenuhi hubungan seksualnya dengan partner mereka tanpa diganggu, namun pada kenyataannya orang tua secara aktif menyalahkan tingkah laku seperti itu, seringkali (seperti yang terjadi pada keluarga Kristen fundamentalis) menuntut dipenuhinya pantangan — padahal pada saat itu  pantangan tersebut merupakan hal yang tidak mungkin untuk dipenuhi. Terlebih lagi, karena seacara ekonomi remaja tergantung pada orang tua mereka di bawah kapitalisme, tanpa peraturan sosial baik dalam rumah maupun asrama mahasiswa yang mengijinkan kebebasan seksual, kaum muda tidak memiliki alternatif  selain mematuhi tuntutan oarng tua yang irasional, akan pantangan melakukan hubungan seks pra nikah. Pada gilirannya hal ini memaksa mereka untuk memenuhinya dalam seks yang dilakukan sembunyi-sembunyi di jok belakang mobil, atau tempat-tempat lain yang tidak semestinya, sehingga mereka tidak dapat rileks atau mencapai kepuasan seksual secara penuh. Seperti yang ditemukan Reich, ketika seksualitas ditekan dan diisi dengan kecemasan, hasilnya selalu beberapa hal yang ia istilahkan dengan “impotensi orgastis”: ketidakmampuan memaksimalkan pelepasan aliran energi yang dikeluarkan selama orgasme. Karenanya terdapat suatu pelepasan ketegangan seksual yang tak selesai, yang mengakibatkan keadaan statis bioenergetis kronis. Reich mendapati, kondisi seperti ini merupakan dasar yang menimbulkan penyakit syaraf  dan tingkah laku reaksioner (untuk keterangan lebih lanjuut lihat bagian J.6).

Dalam kaitannya dengan hal ini, menarik untuk dicatat bahwa masyarakat “primitif”, seperti penduduk pulau Trobriand, sebelum mengembangkan institusi otoriter patriarkal, menyediakan rumah-rumah komunitas khusus tempat para remaja menikmati hubungan seksualnya dengan partner mereka tanpa diganggu– dan masyarakat memberi persetujuan penuh terhadap hal tersebut. Institusi semacam itu ada di dalam masyarakat anarkis, seperti yang ditunjukkan dengan konsep kebebasan. (untuk mengetahui lebih lanjut mengenai kebebasan seksual kaum remaja, lihat bagian J.6.8)

Rasa nasionalis juga dapat ditelusuri pada keluarga otoriter. Kasih sayang seorang anak kepada ibunya tentu saja merupakan hal yang wajar dan dasar dari semua ikatan keluarga. Secara subyektif, inti konsep emosional terhadap tanah air dan bangsa adalah ibu dan keluarga, karena ibu merupakan tanah air bagi seorang anak, seperti halnya keluarga sebagai  “miniatur bangsa”. Menurut Reich, yang mempelajari dengan seksama seruan massa “sosialisme nasional” Hitler, sentimen-sentimen nasionalistis merupakan kelanjutan langsung dari ikatan keluarga dan berakar dalam ikatan perasaan yang mendalam terhadap sang ibu. Seperti yang ditunjukkan Reich, meski kasih sayang kanak-kanak terhadap ibu merupakan hal yang wajar, kasih sayang dari perasaan yang mendalam bukanlah hal yang alami, melainkan suatu produk sosial. Pada masa pubertas, jika batasan seksual yang tak wajar dipaksakan pada remaja dan tidak diabadikan, maka ikatan terhadap sang ibu akan membuat ruang untuk kasih sayang yang lain, yaitu hubungan seksual alami. Perasaan yang mendalam bagi ibu menjadi dasar bagi rasa nasionalis setelah dewasa yang terjadi dalam bentuk eksternalisasi yang dikondisikan secara sosial; dan hanya dalam tahap ini perasaan tersebut menjadi kekuatan sosial reaksioner.

Penulis berikutnya yang telah mengikuti Reich dalam menganalisa proses penciptaan struktur karakter reaksioner memperluas skup analisanya meliputi pembatasan lain yang penting, di samping seksual, yang dipaksakan pada anak-anak dan remaja. Rianne Eisler, sebagai contoh, dalam bukunya Sacred Pleasure, menekankan bahwa bukan hanya sikap negatif seks melainkan juga sikap negatif kesenangan yang menciptakan jenis kepribadian seperti itu. Pengingkaran nilai-nilai sensasi yang dapat memberi kesenangan meresap ke dalam alam bawah sadar kita, seperti yang terefleksi, contohnya, dalam gagasan umum bahwa untuk menikmati kesenangan badaniah merupakan sisi “hewani” (dan karenanya jelek) dari sifat manusia, yang dikontraskan dengan kesenangan yang “lebih tinggi” dari pikiran dan “jiwa”. Dengan dualisme semacam itu, yang mengingkari aspek spiritual dari badan, orang dibuat merasa bersalah karena menikmati sensasi-sensasi apapun yang dapat memberi kenikmatan– suatu pengkondisian yang menyiapkan mereka untuk hidup dengan dasar pengorbanan kenikmatan (atau malah, bahkan kehidupan itu sendiri) di bawah kapitalisme dan negaraisme, dengan kebutuhannya akan kepatuhan massa bagi buruh-buruh yang teralienasi, pelayanan militer dan eksploitasi untuk melindungi kepentingan kelas berkuasa, dll. Dan pada saat yang sama, ideologi otoriter menekankan nilai penderitaan, sebagai contoh melalui pemujaan pahlawan perang yang kasar dan tak memiliki kepekaan, yang menderita (dan menimbulkan penderitaan “yang perlu” pada orang lain) demi cita-cita yang kejam.

Eisler juga menunjukkan bahwa terdapat “banyak bukti bahwa orang yang tumbuh dalam keluarga dengan hierarki kaku dan hukuman yang menyakitkan akan mempelajari norma untuk menekan kemarahan terhadap orang tua mereka. Juga terdapat contoh yang besar bahwa kemarahan ini seringkali dibelokkan pada kelompok-kelompok yang secara tradisional dilemahkan (seperti minoritas, anak-anak, dan perempuan)” (ibid. hal 187). Penekanan kemarahan ini kemudian menjadi lahan yang subur bagi politisi reaksioner, dengan seruan massa pendukungnya yang seringkali menyalahkan minoritas akan masalah masyarakat yang ada. Seperti catatan ahli psikologi Else Frenkel-Brunswick dalam The Authoritarian Personality, orang-orang yang dikondisikan melalui siksaan pada masa kanak-kanak untuk menyerahkan kehendak mereka karena takut pada orang tua yang otoriter, juga cenderung sangat rentan sebagai orang dewasa untuk memberikan kehendak dan  pikirannya pada pemimpin otoriter. “Dengan kata lain., di saat yang sama ketika mereka belajar melampiaskan amarah mereka yang ditekan kepada mereka yang dirasa lemah, mereka juga belajar patuh kepada peraturan ‘orang yang kuat’ atau otokratik. Terlebih lagi, setelah mereka dihukum beberapa kali untuk sikap pemberontakan apapun (bahkan ‘membantah’ karena diperlakukan tidak adil), mereka secara bertahap belajar menyangkal dirinya bahwa tak ada perlakuan salah yang ditimpakan padanya pada waktu kecil–dan pada gilirannya anak-anak mereka akan mengalami hal yang sama” (ibid. hal 187).

Semua ini hanyalah beberapa mekanisme yang mengekalkan status quo dengan menciptakan kepribadian yang memuja kekuasaan dan takut akan kebebasan. Akibatnya, kaum anarkis secara umum melawan praktek pengasuhan anak tradisional, keluarga otoriter patriarkal (dan “nilai-nilai”nya), penindasan seksualitas remaja, dan pengingkaran kenikmatan, sikap yang menegaskan penderitaan yang diajarkan oleh gereja dan di sebagian besar sekolah. Di sini, kaum anarkis mendukung metode pendidikan dan praktek asuh anak yang bersifat non represif dan non otoriter (lihat bagian J.6 dan J.5.13, secara berturut-turut) yang tujuannya adalah mencegah, atau setidaknya meminimalkan, ketimpangan psikologis individu, dengan mengijinkan mereka mengembangkan regulasi diri yang alamiah dan belajar atas motivasi diri. Kami percaya, hal ini merupakan satu-satunya cara bagi orang-orang untuk tumbuh menjadi individu-individu yang bahagia, kreatif dan benar-benar cinta kebebasan, serta dapat memberikan landasan psikologis untuk membangun institusi politik, ekonomi anarkis.

[printfriendly]

Leave a Reply